“Pokoknya Abyl harus segera dinikahkan, Pa!” Mama ketus. Bahkan teramat
ketus bagi Papaku yang berperangai pendiam.
“Halah Mama ini keburu amat sih.” Papa menjawab santai sambil mata tetap
tertuju pada buku kerjanya. Otak Papa masih bercengkrama dengan angka-angka
puluhan juta rupiah, sudah tdak ada ruang untuk memasukan keinginan sang istri
di sana.
Mama cemberut. Bibirnya manyun hampir sepanjang tali sepatu Nike warna
hitam bersemu ungu milikku. Cocok. Aku menyungging senyum melihat rajuk Mama.
“Abyl itu gadis matang, Pa. Sudah ranum, sudah waktunya dicarikan jodoh.
Mama sudah rindu menimang cucu.”
“Iya deh, terserah Mama.”
Bagus! Mata Mama berbinar cerah. Berkelip-kelip bak lampu disko mini di
rumah Helen, pacarku. Pasti dia sudah menyiapkan rencana besar buat jodoh Abyl
si gadis manja itu. Hmm, ya ya, apa peduliku. Abyl memang kesayangan Mama sejak
kehadirannya di rumah ini. Putus hubungan. Kalian benar mampu menarik
kecemburuanku.
***
Pulang sekolah, kutemukan Mama asik di ruang tengah, sambil membolak balik
lembaran foto. Apa lagi itu? Pasti tentang Abyl lagi.
“Apaan itu, Mam?” tanyaku sekenanya.
Ditanya begitu, Mama malah
tersenyum bahagia. Sekali lagi, ba-ha-gi-a. Ah, tahu begini aku tidak bertanya
padanya.
“Ini foto calon suami Abyl,” Mama nyengir lebar, menunjukan deretan gigi
yang tidak lengkap di sisi kanan. Nah, benarkan dugaanku. “lihatlah, mereka ini
bibit bobot bebetnya sudah teruji. Ganteng, berkelas dan gagah. Mereka keluarga
kaya raya.”
Fyuuhh, iyalah. Anak kesayangan. “Lalu mana sekarang Abyl, Mam?”
“Tidur di kamarnya.”
Gadis pemalas benar kau Abyl. Di sini Mama sibuk pilih-pilih pasanganmu, eh
kamunya malah keasikan molor. Apa kamu tidak punya pilihan sendiri? Inikan
tentang masa depanmu, Byl. Eh, tapi, apa makhluk seperti dia itu juga punya
rasa cinta ya? Bisanya makan tidur saja begitu,
apa juga memikirkan masa depan ya? Entahlah, pusing amat mikirin Abyl.
***
Malam sudah menunjukan pukul delapan lebih, baru saja aku kembali dari
menjemput Helen. Hari ini Mama akan mengadakan pertunangan Abyl dengan
calonnya. Entah siapa namanya pun aku tidak paham benar. Belum pernah kami
bertemu apalagi berkenalan.
“Roy, ajak Helen juga ya, kita adakan makan-makan sederhana buat
pertunangan Abyl besok malam. Ingat, jangan lupa, sudah kusebar undangan ke
tetangga kanan kiri sebagai saksi.” Kata Mama kemaren sore.
Sederhana apanya? Tetangga kanan kiri yang mana?
Bukankah itu tenda sebesar rumah berwarna biru dengan bunga hidup di sana
sini? Lalu yang di situ, apakah aku tidak salah lihat? Deretan mobil dari
berbagai sisi arah tetangga, ya utara, selatan, timur, bahkan barat pun ikut
nampang rapi. Mama..Mama.. ya beginilah kalau seorang wanita kaya sedang
terobsesi dengan derajatnya.
Aku menggeleng. Helen tertawa renyah.
***
Acara bubar. Hancur total. Dokter mengatakan kalau Abyl sedang hamil muda.
Dua bulan usianya. Pantas saja, itulah alasannya mengapa akhir-akhir ini gadis
manja itu lebih banyak bermalas-malasan.
Mama malu, menangis meraung. Sesenggukan dalam pelukan Papa. Katanya dia
shock. Sudah tidak punya muka lagi di hadapan keluarga calon suami Abyl.
Sudah kesepakatan mereka, sebelum pertunangan dilanjutkan, Abyl harus
diperiksa dokter keluarga dahulu. Begitulah adat kaum yang menjunjung tinggi
nominasi bibit, bebet dan bobot. Harus bersertifikat jelas.
“Mama tidak rela, Pa. Mama tidak rela.” Katanya dalam tangis yang berhasil
membuat gema di ruang keluarga kami.
Aku dan Helen saling memandang geli. Pun demikian dengan Papa,
senyum-senyum sendiri.
“Sebenarnya Papa sudah tahu kalau Abyl itu sudah punya gandengan. Tiap
malam dia dan kekasihnya itu memadu kasih di bawah pohon kamboja kita. Mama aja
yang tidak tahu.”
“Mengapa dibiarkan sih, Pa? Kekasihnya itukan kucing kampung. Abyl
keturunan asli kucing persia tercantik dari juara tahun lalu. Kok Papa tidak
bilang sama Mama.”
“Ah, Mama ini, seperti tidak pernah muda saja.” sahut Papa. Kontan membuat
aku dan Helen semakin tertawa lebar melihat cerita lucu di keluarga kecil
dengan Mama yang sok-sokan punya kucing ningrat ini.
Lalu Abyl?
Tentu saja malam ini memadu kasih lagi dengan si kucing kampung di bawah
pohon kamboja. Dia mah, mana peduli dengan embel-embel ningrat di jidatnya.
Sekali cinta ya cinta. Tidak ada urusan dengan manusia yang sibuk mempertahankan
gelar seperti majikannya. Ya ya ya, manusia itu lucu bukan? Terlalu memuja kayanya, keningratan, apa lagi gelar. Toh bukan itu yang
dibawa mati nanti.
Ah, Mama ini, seperti tidak pernah belajar agama saja.
Des 15, 2013
7:15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar