“Nduk, kalau kamu sudah
memilih sebuah jalan buat dilalui, jangan pernah mundur. Hadapilah resiko dari
pilihanmu. Jangan menyerah.”
Kata-kata Ibu terus mengiang di telingaku. Perih rasanya.
Bagaimana tidak, di saat aku sudah putus asa, pun demikian dengan Mas Jarwo,
perasaanku hampa. Bukan jalanku untuk lari, bukan!
“Kenapa kau kembali?”
“Aku kembali demi kita, Mas.”
“Apalagi yang hendak kau dekap? Kita bahkan sudah tidak
memiliki apa-apa lagi, Win.”
“Cinta. Kita masing-masing masih menggenggam cinta, dan
Winda yakin itulah kekuatan terbesar kita buat kembali melanjutkan mimpi.”
Mas Jarwo terdiam. Sebentar dia menatapku, sebentar
membuang muka.
“Aku ini miskin, mantan preman. Tubuhku penuh tato, tidak
banyak orang yang mau percaya memberikan pekerjaaan yang baik padaku, Win. Kau
tahu itu. Tidak ada perubahan yang baik pada pernikahan kita, bahkan jika
sekarang kau kembali setelah pelarianmu, besok-besok pasti akan lari lagi.”
Kuhela nafasku sepenggal, mencoba menguasai gejolak
kesedihan saat mendengar perkataan Mas Jarwo. Memang benar, aku ini lemah dan
rapuh. Ini salahku. Sudah membuat dirinya semakin tenggelam dalam penyesalan
atas ketidakmampuannya memberikan yang terbaik buat rumah tangga kami.
Tidak seharusnya dua hari lalu aku pergi begitu saja,
menyisakan luka pada hati kami berdua. Bukankah seharusnya cinta bisa bertahan
pada setiap kondisi apapun? Dan aku telah lupa akan satu hal itu. Juga kepada
tujuan awalku ketika mau dipinang oleh Mas Jarwo dua tahun lalu.
***
Nafas Bapak kembang kempis, emosinya meluap. Aku tahu dia
sangat marah ketika mendengar niatku untuk menerima pinangan Mas Jarwo, lelaki dari
Dusun Panekan yang terkenal akan tabiat buruknya.
“Apa kamu sudah gila, Win? Masa depan seperti apa yang
akan kamu bangun dengan lelaki urakan seperti dia!” teriak Bapak.
Benar apa kata Bapak. Mungkin. Tetapi dia tidak mengerti.
Semenjak pertemuan enam bulan lalu, saat aku menjadi sukarelawan sebagai tenaga
pengajar anak-anak putus sekolah di kampung itu, Mas Jarwo sudah banyak
berubah. Perlahan, dia mau belajar mengaji. Mau belajar sholat. Sudah banyak
membantu kegiatan amal kami.
Begitulah, ketika cinta telah memanggil, bahkan pada hati
seorang preman sekalipun, pasti memberikan kebaikan.
“Pak, Winda ingin menjadi penyempurna agama Mas Jarwo.
Winda ingin menggapai ridho Allah.” jawabku dengan penuh senyum lembut pada
Bapak. Dan sejak kalimat itu kulontarkan, Bapak memilih terdiam.
***
“Mas,” kuraih tangan kokoh Mas Jarwo yang penuh carut
marut kasar. Kugenggam tangan itu lembut, “maafkan aku. Istrimu ini terlalu
cepat menyerah pada tujuan pernikahan kita. Winda janji akan lebih berjuang
menghadapi apapun berdua denganmu. Maafkan Winda ya, Mas.”
Bulir bening mengalir dari mata suami tercintaku.
Dipeluknya aku erat. Hangat sekali kasihnya.
“Jika kita menyerah sekarang, maka di antara kita bukan
cinta, tetapi hanya sebuah persinggahan belaka, Win. Dan kamu bukanlah
persinggahan, kamu adalah masa depanku.”
Aku menangis terisak. Membuncahlah semua perasaan kami pada
dinding-dinding rumah sepetak, yang telah rapuh karena lembab.
Nda, 280214
Tidak ada komentar:
Posting Komentar