Wanita itu datang ke rumah, dengan wajah yang tersirat benar akan
kesedihan. Ada guratan keputusasaan yang besar. Lalu dua buah mata yang sembab
karena lelah menguras air mata.
Namanya Kasih, kalian cukup hanya kuijinkan tahu sebuah nama itu. Duduk
tenang dalam senyum ceria yang dipaksakan, mengucap basa-basi tentang kabarku,
lalu berkata penuh harap, “Bund, bolehkah aku bercerita sedikit?”
Kubalas senyumnya seraya berkata, “silahkan, siapa tahu saat aku memberi advice padamu nanti, aku juga bisa menampar
diriku.”
Kasih membalas senyumku, seraya berkata perlahan, “aku sedang merasakan
perasaan yang kita sebut dengan lelah, Bund.”
“Ada apa?”
Dia menghela nafasnya sepenggal. Senyum yang dipaksakan tadi raib. Beberapa
detik kemudian dia bercerita panjang, tentang suaminya yang pemarah, bermulut
kasar padanya, dan hampir senang bermain tangan.
Air mata mulai hilir mudik di pipi tembemnya. Mengiringi kalimat tiap
kalimat. Aku terenyuh. Seperti sedang mereguk pahitnya tuah cinta pada kisahku
sendiri. Iya, sebenarnya pun aku sedang gundah. Hati tidak bisa tenang beberapa
hari ini. Semua hal negatif, lalu andai-andai yang dihubung-hubungkan,
menggerogoti pikiranku. Baru saja aku dibentak oleh sepi. Dia menegurku,
“Bunda, ayo sholat dhuha! Jangan banyak-banyak, dua rokha’at saja cukup asal kau
rutin. Itu jauh lebih baik daripada kau bermuram lalu berandai hal yang belum
pasti.”
Lalu sekarang, dalam hiruk pikuk kesedihan, Kasih datang membawa kisahnya.
Seakan memberi terang pada hatiku.
“Bund, bagaimana jika seorang suami berkata, bahwa dia tidak bisa
berbahagia dengan dirimu? Engkau adalah beban baginya. Sudah banyak hal yang
dia korbankan untuk hidup bersamamu. Tetapi karena sudah kepalang basah,
suamimu hanya berkata bertahan pada hal yang dia benci.”
Subhanalloh, sungguh malang hai engkau Kasih. Bisa-bisanya seorang suami
menganggap istrinya adalah sebuah beban hidup. Tak henti-hentinya aku
beristighfar dalam hati. Pantaslah jika kau terbenam sedih seperti saat ini.
“Pertama, kuatkan dahulu hatimu, Kasih. Lalu belajarlah menerima dengan
ikhlas. Kemudian kau tanyakan, apa kemauan dia sebenarnya? Jika bertahan dalam
kepedihan, bukankah itu akan semakin menambah lukanya, kamu dan bisa juga buah
hatimu Iyan suatu saat kelak.”
“Sudah, Bund. Aku katakan agar kami berpisah saja, tetapi dia berkata berat
melepaskan aku dan Iyan. Kutahu sekali, Bund, suami sudah sangat berkorban demi
kami. Dia bekerja banting tulang, ke sana sini. Tetapi aku lelah dengan
sikapnya, sebentar-sebentar mudah marah. Ngomong kasar, ngambek dan
berkali-kali sudah bilang ingin bercerai. Bayangkan, Bund, sudah lebih duapuluh
kali dia berucap cerai. Tapi setelah itu, dia kembali baik, terlihat amat
mencintai kami. Selalu saja begitu. Terkadang aku merasa sebagai wanita paling jahat
di dunia karena tidak bisa membahagiakan suami.”
Kugelengkan kepalaku, sebagai
ungkapan tidak setuju dengan ucapan Kasih yang merasa dirinya jahat. “Tidak Kasih,
itu bukan kesalahanmu. Berhentilah memiliki pemikiran seperti itu.”
Iya, jika mencari nafkah untuk anak dan istri dianggap suatu beban dan
pengorbanan yang dibesar-besarkan, maka, melayani suamipun bisa saja kami para
istri menganggapnya juga sebagai beban, bukan kewajiban. Bukankah dalam suatu
ikatan pernikahan pasti akan memunculkan berbagai kewajiban bagi suami dan
istri. Masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab. Dalam perjalanannya,
pasti ada sesuatu yang akan dikorbankan. Salah satunya adalah kebebasan.
Banyak kaum adam dan juga hawa, menganggap pernikahan itu sangat mengikat kebebasan
mereka. Merasa tidak bisa lagi melakukan hal yang disukai semasa bujang dahulu.
Misalnya, berkumpul dengan teman, nongkrong hingga malam pulang pagi, tidur
seenaknya makan juga seenaknya. Kemana-mana tidak ada yang melarang. Tidak
pulangpun tidak akan ada yang marah. Hidup itu menyenangkan.
Padahal, bukankah justru pernikahan itu membahagiakan? Di mana sisi yang
dianggap sebagai suatu beban yang memberatkan? Sungguh aku tidak bisa paham
dengan pemikiran suami Kasih.
“Perbanyaklah sholat tahajud. Berdoalah untuk suamimu agar Alloh membuka
pintu hatinya. Susah jika kita harus memaksa seseorang untuk berubah, di saat
orang itu tidak memiliki keinginan untuk berubah, Kasih. Hanya kekuatan doa
istrilah yang mampu menyelamatkannya.”
Kasih menangis lagi. Terbenam dalam seguknya.
“Suamimu hanya merasa stres dan melimpahkannya padamu. Dia masih sangat
labil dalam pemikirannya tentang arti sebuah pernikahan. Butuh seseorang yang
menuntunnya. Tuntunlah dengan cinta. Gunakan kasih sayang untuk menyentuh lagi
hati yang dulu pernah mencintaimu. Aku yakin, engkau pasti bisa.”
Ah, Kasih. Mendengar ceritamu membuat aku sadar. Bahwa permasalahan yang
kuhadapi saat ini masih jauh lebih ringan dari apa yang engkau hadapi.
Seharusnya aku bisa lebih menghadapi hal kecil seperti ini. Bukannya hanya bisa
menumpuk perasaan ingin lari. Itu hanya pekerjaan para pecundang bukan? Dan aku
bukanlah serendah itu!
Ingatlah Kasih, pun juga diriku, bahwa kita masih memiliki Tuhan yang
selalu bersama hambanya yang mau bersujud meminta pertolongan padaNya.
Nda, 030114
Tidak ada komentar:
Posting Komentar