Oleh : Ajeng Maharani
Apa yang bisa dilakukan seorang mahasiswa miskin
sepertiku saat sedang butuh sedikit hiburan, selain jalan kaki seorang diri di
malam hari tanpa tujuan? Tidak ada. Ya, begitulah, kukira tidak ada.
Sigmund Freud terlalu gila.
Dan lelaki itu berhasil membuat orang lain ikut gila karena teori-teorinya yang
rumit, bahkan setelah ia mati. Menakutkan. Mungkin otaknya yang terlalu besar
dan kecepatan koneksi neuronnya seratus tingkat lebih tinggi dari manusia normal
hingga ia bisa secerdas itu. Atau bisa jadi otakkulah yang terlalu kecil hingga
tidak mampu memahami psikoanalisisnya. Entahlah. Otakku sudah terlalu banyak
dijejali dengan kebutuhan keuangan yang sedang memprihatinkan. Aku sedang tidak
ingin berpikir tentang apa-apa lagi sekarang.
Kurasakan kegelapan telah
menyergapku dari segala arah. Kegelapan yang benar-benar pekat. Langkahku sudah
terlampau jauh dari tempat seharusnya aku berada. Ya, ini bukan jalanan yang
biasa kulalui ketika berangkat ke kampus. Ini sesuatu yang beda. Sesuatu yang
pernah diucapkan ibu ketika aku masih kecil dulu, “Jangan pergi terlalu jauh
dari rumahmu, atau hantu-hantu yang keji akan memakanmu!” Dan ibu berhasil
membuatku menjadi lelaki yang pengecut karenanya.
Ibuku hanyalah seorang
penjahit rumahan yang bercita-cita ingin menjadikanku manusia yang lebih sukses
dari dirinya. Ia perempuan tangguh. Sejak ayahku pergi melupakan kami, ibu
menjadi satu-satunya orang yang menghidupi keempat anaknya. Ia menanamkan
harapan besar di kedua bahuku. Sebuah benih yang tidak mungkin bisa begitu saja
kucabut akar-akarnya dari sana. Ibu sudah terlalu tua dan lelah.
Dulu, setiap malam ibu selalu
bercerita tentang segala hal. Hal-hal yang bagi anak-anak seusiaku adalah
sesuatu yang mengerikan, walaupun aku tahu tujuan ibu hanyalah menakut-nakuti
agar aku tidak pergi jauh darinya. Tidak jadi lelaki seperti ayah. Cerita
kesukaan ibu adalah tentang wanita berambut panjang dengan mata merah dan mulut
yang memanjang hingga ke telinga. Wanita yang akan menculik anak-anak jika
mereka bermain terlalu jauh. Mereka akan dibawa ke dunianya, diasuh sebagai anaknya,
dan diberi makan belatung atau nanah busuk. Membayangkannya saja aku sudah
ingin muntah.
Dengan rasa was-was, mataku
sasar mengelilingi kegelapan. Aku sendirian. Aku baru sadar kalau aku benar-benar
sedang sendiri. Seketika tubuhku menggigil. Seperti ada sesuatu yang meniup
tengkukku. Sesuatu yang dingin, yang menjalar pelan dari tengkuk hingga ke
punggung.
Baru seminggu aku pindah
tempat kos, mencari yang lebih murah walaupun jaraknya lebih jauh dari kampus.
Walaupun baunya lebih buruk dari tempat kos sebelumnya—bau seperti bangkai
tikus berusia lima hari. Aku belum hafal benar tentang lingkungan ini. Tapi ada
satu hal yang akan selalu kuingat. Ya, hanya satu hal itu saja. Dan itu semakin
membuat nyaliku menciut.
Pohon beringin itu tepat berdiri
tiga meter dari tempatku mematung. Aku menelan ludah. Menatap pohon besar itu
dari bawah hingga ke atas. Pelan dan pelan. Gelap. Begitu kokoh dan besar.
Ranting-rantingnya bergerak-gerak tertiup angin, mengeluarkan suara derik yang
menyayat-nyayat telinga.
Ingatanku mundur ke belakang,
pada hari pertama aku menempati kamar kos. Ali, teman sekamarku berkata tentang
pohon angker yang dekat dengan tempat kami. Pohon beringin yang katanya sudah
banyak membuat orang ketakutan. Pohon itu tidak bisa ditebang, tidak bisa
dibakar, tidak bisa dihancurkan oleh apapun. Kabarnya, ada hantu perempuan yang
gentayangan di sana.
Aku kira cerita Ali hanyalah
sebuah sambutan selamat datang dan sebuah peringatan yang dilebih-lebihkan.
Satu sisi aku menganggap ucapannya terlalu konyol untuk dipercaya. Hei, aku
bukan anak-anak lagi. Tapi di sisi lain, Ali berhasil membuatku menanamkan
sebuah peringatan di otakku; jangan pernah melewati jalan yang mengarah pada
pohon itu. Dan sialnya, karena memikirkan teori-teori Sigmund Freud, aku
akhirnya berdiri di sini. Freud benar-benar membuatku sial!
Aku harus segera kembali. Aku
harus memutar kaki dan pulang. Harus. Aku terlalu takut untuk meneruskan
perjalananku dan melewati pohon itu. Ini adalah jalan yang salah!
Kaki-kakiku terasa gemetaran
ketika aku hendak memutarnya. Saat seperti ini, di film-film horor aku yakin
ada sesuatu yang tiba-tiba menyergapku dari belakang. Ia akan melolong terlebih
dahulu, lalu menerkam bahu atau kepalaku dengan moncongnya yang kokoh, kemudian
mencabik-cabiknya hingga daging-dagingku berhamburan. Atau mungkin akan ada
seorang psikopat dengan topeng badut dan sebilah pisau dapur yang baru saja ia
beli di toko peralatan rumah tangga. Menerjang sekuat tenaga, menghantam
kepalaku hingga segalanya di mataku nampak berputar-putar, lalu ia akan menusukkan
pisaunya ke dada atau perut. Berkali-kali. Satu. Dua. Tiga. Menikam lagi.
Empat. Lima. Enam. Ususku akan berhamburan ke tanah dan darah akan menciprati
wajahnya yang tertawa kesetanan.
Aku menelan ludah. Kucoba
menepis pikiran bodohku, tapi terasa ada sesuatu yang menjalar lagi di
tengkukku. Angin? Entahlah. Sesuatu yang sangat dingin tapi lunak. Seperti
ujung jari yang direndam di dalam air es selama berjam-jam.
Tunggu! Aku bilang apa barusan?
Uj—ujung ja—ri?
Aliran darahku terasa seperti
berhenti seketika, sepersekian detik, lalu jantungku berdegup kencang. Sangat
kencang. Tubuhku gemetaran. Bayangan ibu melintas, tersenyum, lalu pecah. Aku
ingin berlari, tetapi kaki-kakiku seperti melekat dengan tanah. Berat. Bahkan
suaraku tidak keluar. Oh, tidak. Kata-kataku tercekat!
“Mmaasss ....”
Tiba-tiba terdengar bisikan
seorang perempuan di telingaku. Napasnya terasa dingin.
“Mmmaaass ....”
Ia memanggilku sekali lagi.
Mulutku menganggah. Menggigil.
Mataku mendelik. Aku ketakutan! Tak ada suara yang berhasil keluar untuk
meminta tolong atau hanya sekedar berteriak.
Tidak! Tolong! Ibu! Ibu!
Sebuah tangan berwarna pucat
merayap pelan-pelan di atas bahuku. Aku hanya bisa meliriknya sambil menelan
ludah. Tangan itu terus menjalar pelan-pelan ke arah dada. Begitu pucat dan
biru.
“Mmmaaaaasss ....”
Tangan itu kemudian
mencengkeram erat kain baju di dadaku, lalu membalikkan tubuhku pelan-pelan.
Sangat pelan.
Pertama-tama yang kulihat
adalah kain jubahnya yang putih kumal, memanjang hingga menutupi kakinya. Jubah
putihnya bercampur dengan kotoran berwarna cokelat, semacam tanah. Sepertinya
jubah itu sudah dipendam lama di dalam sebuah liang yang sangat dalam. Lalu
mataku menangkap rambutnya yang panjang, kusut. Matanya merah mengkilat-kilat.
Dan seringainya ... seringainya lebar hingga ke telinga.
“Kuk—kuk—kuntilanak ....”
Suaraku akhirnya berhasil
keluar, tapi mendesah dan bergetar.
Perempuan itu tertawa
cekikikan. Lantang. Suaranya memantul-mantul di udara. Ia terus tertawa dan
tertawa. Setelah puas, ia berhenti. Memandangku dengan bola mata yang membulat
dan kepala yang dimiringkan ke kiri. Tangan kanannya masih mencengkeram kain baju
di dadaku kuat-kuat. Lalu tangan satunya diangkat, ia menyodorkan sebuah kartu
nama berwarna hitam. Dengan perasaan takut kuraih kartu nama itu. Jari-jariku
kaku. Kartu nama itu hampir saja jatuh, tetapi cepat kugenggam erat-erat.
Kutatap wajah perempuan
menyeramkan itu, ia menyeringai. Lamat-lamat, dengan bantuan sinar bulan
seadanya, kubaca tulisan bertinta emas yang ada di atas kartu nama.
MARKONA KUNTILANAK – PETERNAK TUYUL
Jual harga grosir. Hubungi di bawah pohon
beringin
Tidak terima kartu kredit
-oOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar