Jumat, 11 Desember 2015

SEBUAH JALAN YANG SALAH


Oleh : Ajeng Maharani
 


 

Apa yang bisa dilakukan seorang mahasiswa miskin sepertiku saat sedang butuh sedikit hiburan, selain jalan kaki seorang diri di malam hari tanpa tujuan? Tidak ada. Ya, begitulah, kukira tidak ada.

Sigmund Freud terlalu gila. Dan lelaki itu berhasil membuat orang lain ikut gila karena teori-teorinya yang rumit, bahkan setelah ia mati. Menakutkan. Mungkin otaknya yang terlalu besar dan kecepatan koneksi neuronnya seratus tingkat lebih tinggi dari manusia normal hingga ia bisa secerdas itu. Atau bisa jadi otakkulah yang terlalu kecil hingga tidak mampu memahami psikoanalisisnya. Entahlah. Otakku sudah terlalu banyak dijejali dengan kebutuhan keuangan yang sedang memprihatinkan. Aku sedang tidak ingin berpikir tentang apa-apa lagi sekarang.

Kurasakan kegelapan telah menyergapku dari segala arah. Kegelapan yang benar-benar pekat. Langkahku sudah terlampau jauh dari tempat seharusnya aku berada. Ya, ini bukan jalanan yang biasa kulalui ketika berangkat ke kampus. Ini sesuatu yang beda. Sesuatu yang pernah diucapkan ibu ketika aku masih kecil dulu, “Jangan pergi terlalu jauh dari rumahmu, atau hantu-hantu yang keji akan memakanmu!” Dan ibu berhasil membuatku menjadi lelaki yang pengecut karenanya.

Ibuku hanyalah seorang penjahit rumahan yang bercita-cita ingin menjadikanku manusia yang lebih sukses dari dirinya. Ia perempuan tangguh. Sejak ayahku pergi melupakan kami, ibu menjadi satu-satunya orang yang menghidupi keempat anaknya. Ia menanamkan harapan besar di kedua bahuku. Sebuah benih yang tidak mungkin bisa begitu saja kucabut akar-akarnya dari sana. Ibu sudah terlalu tua dan lelah.

Dulu, setiap malam ibu selalu bercerita tentang segala hal. Hal-hal yang bagi anak-anak seusiaku adalah sesuatu yang mengerikan, walaupun aku tahu tujuan ibu hanyalah menakut-nakuti agar aku tidak pergi jauh darinya. Tidak jadi lelaki seperti ayah. Cerita kesukaan ibu adalah tentang wanita berambut panjang dengan mata merah dan mulut yang memanjang hingga ke telinga. Wanita yang akan menculik anak-anak jika mereka bermain terlalu jauh. Mereka akan dibawa ke dunianya, diasuh sebagai anaknya, dan diberi makan belatung atau nanah busuk. Membayangkannya saja aku sudah ingin muntah.

Dengan rasa was-was, mataku sasar mengelilingi kegelapan. Aku sendirian. Aku baru sadar kalau aku benar-benar sedang sendiri. Seketika tubuhku menggigil. Seperti ada sesuatu yang meniup tengkukku. Sesuatu yang dingin, yang menjalar pelan dari tengkuk hingga ke punggung.

Baru seminggu aku pindah tempat kos, mencari yang lebih murah walaupun jaraknya lebih jauh dari kampus. Walaupun baunya lebih buruk dari tempat kos sebelumnya—bau seperti bangkai tikus berusia lima hari. Aku belum hafal benar tentang lingkungan ini. Tapi ada satu hal yang akan selalu kuingat. Ya, hanya satu hal itu saja. Dan itu semakin membuat nyaliku menciut.

Pohon beringin itu tepat berdiri tiga meter dari tempatku mematung. Aku menelan ludah. Menatap pohon besar itu dari bawah hingga ke atas. Pelan dan pelan. Gelap. Begitu kokoh dan besar. Ranting-rantingnya bergerak-gerak tertiup angin, mengeluarkan suara derik yang menyayat-nyayat telinga.

Ingatanku mundur ke belakang, pada hari pertama aku menempati kamar kos. Ali, teman sekamarku berkata tentang pohon angker yang dekat dengan tempat kami. Pohon beringin yang katanya sudah banyak membuat orang ketakutan. Pohon itu tidak bisa ditebang, tidak bisa dibakar, tidak bisa dihancurkan oleh apapun. Kabarnya, ada hantu perempuan yang gentayangan di sana.

Aku kira cerita Ali hanyalah sebuah sambutan selamat datang dan sebuah peringatan yang dilebih-lebihkan. Satu sisi aku menganggap ucapannya terlalu konyol untuk dipercaya. Hei, aku bukan anak-anak lagi. Tapi di sisi lain, Ali berhasil membuatku menanamkan sebuah peringatan di otakku; jangan pernah melewati jalan yang mengarah pada pohon itu. Dan sialnya, karena memikirkan teori-teori Sigmund Freud, aku akhirnya berdiri di sini. Freud benar-benar membuatku sial!

Aku harus segera kembali. Aku harus memutar kaki dan pulang. Harus. Aku terlalu takut untuk meneruskan perjalananku dan melewati pohon itu. Ini adalah jalan yang salah!

Kaki-kakiku terasa gemetaran ketika aku hendak memutarnya. Saat seperti ini, di film-film horor aku yakin ada sesuatu yang tiba-tiba menyergapku dari belakang. Ia akan melolong terlebih dahulu, lalu menerkam bahu atau kepalaku dengan moncongnya yang kokoh, kemudian mencabik-cabiknya hingga daging-dagingku berhamburan. Atau mungkin akan ada seorang psikopat dengan topeng badut dan sebilah pisau dapur yang baru saja ia beli di toko peralatan rumah tangga. Menerjang sekuat tenaga, menghantam kepalaku hingga segalanya di mataku nampak berputar-putar, lalu ia akan menusukkan pisaunya ke dada atau perut. Berkali-kali. Satu. Dua. Tiga. Menikam lagi. Empat. Lima. Enam. Ususku akan berhamburan ke tanah dan darah akan menciprati wajahnya yang tertawa kesetanan.

Aku menelan ludah. Kucoba menepis pikiran bodohku, tapi terasa ada sesuatu yang menjalar lagi di tengkukku. Angin? Entahlah. Sesuatu yang sangat dingin tapi lunak. Seperti ujung jari yang direndam di dalam air es selama berjam-jam.

Tunggu! Aku bilang apa barusan? Uj—ujung ja—ri?

Aliran darahku terasa seperti berhenti seketika, sepersekian detik, lalu jantungku berdegup kencang. Sangat kencang. Tubuhku gemetaran. Bayangan ibu melintas, tersenyum, lalu pecah. Aku ingin berlari, tetapi kaki-kakiku seperti melekat dengan tanah. Berat. Bahkan suaraku tidak keluar. Oh, tidak. Kata-kataku tercekat!

“Mmaasss ....”

Tiba-tiba terdengar bisikan seorang perempuan di telingaku. Napasnya terasa dingin.

“Mmmaaass ....”

Ia memanggilku sekali lagi.

Mulutku menganggah. Menggigil. Mataku mendelik. Aku ketakutan! Tak ada suara yang berhasil keluar untuk meminta tolong atau hanya sekedar berteriak.

Tidak! Tolong! Ibu! Ibu!

Sebuah tangan berwarna pucat merayap pelan-pelan di atas bahuku. Aku hanya bisa meliriknya sambil menelan ludah. Tangan itu terus menjalar pelan-pelan ke arah dada. Begitu pucat dan biru.

“Mmmaaaaasss ....”

Tangan itu kemudian mencengkeram erat kain baju di dadaku, lalu membalikkan tubuhku pelan-pelan. Sangat pelan.

Pertama-tama yang kulihat adalah kain jubahnya yang putih kumal, memanjang hingga menutupi kakinya. Jubah putihnya bercampur dengan kotoran berwarna cokelat, semacam tanah. Sepertinya jubah itu sudah dipendam lama di dalam sebuah liang yang sangat dalam. Lalu mataku menangkap rambutnya yang panjang, kusut. Matanya merah mengkilat-kilat. Dan seringainya ... seringainya lebar hingga ke telinga.

“Kuk—kuk—kuntilanak ....”

Suaraku akhirnya berhasil keluar, tapi mendesah dan bergetar.

Perempuan itu tertawa cekikikan. Lantang. Suaranya memantul-mantul di udara. Ia terus tertawa dan tertawa. Setelah puas, ia berhenti. Memandangku dengan bola mata yang membulat dan kepala yang dimiringkan ke kiri. Tangan kanannya masih mencengkeram kain baju di dadaku kuat-kuat. Lalu tangan satunya diangkat, ia menyodorkan sebuah kartu nama berwarna hitam. Dengan perasaan takut kuraih kartu nama itu. Jari-jariku kaku. Kartu nama itu hampir saja jatuh, tetapi cepat kugenggam erat-erat.

Kutatap wajah perempuan menyeramkan itu, ia menyeringai. Lamat-lamat, dengan bantuan sinar bulan seadanya, kubaca tulisan bertinta emas yang ada di atas kartu nama.

 

MARKONA KUNTILANAK – PETERNAK TUYUL

Jual harga grosir. Hubungi di bawah pohon beringin

Tidak terima kartu kredit

 

 

 

 

 

-oOo-

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar