Sabtu, 06 Desember 2014
PEREMPUAN PERINDU BENIH part 2 (sebuah mininovel)
Dusta Yang Terdedah
"Aku tak mengenalnya. Ia datang begitu saja, lalu meluluhlantakkan kebahagiaan di rumahku."
Kedua kakinya kudekap erat. Aku bersujud tanpa melihat wajah yang sudah pasti tengah terbakar amarah itu. Setiap kalimat yang dia keluarkan dari bibirnya terdengar mengigil. Aku mafhum sekali. Mulut ini tak henti mengiba, memohon limpahan maaf padanya, namun dia bergeming. Hingga akhirnya bibir itu mendekap kebisuan, yang mencekik leherku.
***
Semua berawal ketika suatu pagi aku dikejutkan oleh sosok perempuan yang bertamu ke rumah, Alia. Langit seakan runtuh menimpa kepalaku. Entah apa yang ada di pikiran perempuan itu. Sudah pernah kubilang dengan jelas, bahwa jangan bersinggungan dengan rumah tanggaku. Tetapi tanpa memberi kabar terlebih dahulu, ia berani datang bersama suaminya, sambil membawa buah tangan untuk anak ketigaku yang baru lahir sebulan lalu.
“Siapa dia?” tanya Rany penuh keheranan. Dengan gugup kukatakan kalau Alia adalah teman sekolah kami dulu.
“Benarkah? Aku tak ingat punya teman bernama Alia.”
“D-dia adik kelas kita. Bunda pasti sudah lupa, dia juga pernah ikut PMR, tapi hanya sebentar.”
Walau dengan wajah yang masih terlihat bingung, Rany hanya mengangguk pasrah. Sejalan dengan itu, di antara debaran hati yang tak menentu, kulihat wajah Rany yang terus saja menyimpan rasa keanehan. Seolah ada yang terbesit di benaknya. Aku pun menjadi takut, bagaimana jika wanita cerdas itu mampu mengendus wajah Alia yang bersemu merah tatkala berbicara? Bagaimana jika wanita itu pun mampu membaca rona kekhawatiran di setiap sudut lakuku?
Ah, aku ingin menghilang saja. Segera!
Apa yang kutakutkan itu akhirnya terjadi juga. Malam ini, aku dikejutkan oleh tangisan yang lamat-lamat terdengar hingga ke alam mimpi. Mataku terbuka, mencoba membangun kembali kesadaran dari lelap, lalu bangkit dari ranjang dan mengikuti arah tangisannya.
Rany ada di sana. Terduduk di sudut ruang kamar yang tak kami pakai. Kulihat layar televisi masih menyala, namun tanpa suara. Lalu mata ini menangkap sebuah benda di atas meja jahit yang sudah lama tak terpakai. Blackberry-ku menyala.
Kuraih ponsel hitam kesayangan itu. Seketika mata sayu ini terbelalak lebar. Sebuah chat pribadi antara aku dan Alia terpampang. Kini aku tahu, mengapa istri tercintaku itu melambungkan isakan tangis yang begitu menyesakkan. Rinai matanya terus berurai deras. Hatiku rasanya ngilu, ikut tertusuk kesedihan yang dia buncah tengah malam ini.
Kudekati Rany. Dia berdiri, mencoba menghindar. Tubuhnya menggigil, bisa jadi karena amarahnya padaku. Tanpa pikir panjang aku pun bersujud, menciumi kaki-kakinya yang terletak aroma wangi surga dari ketiga anakku itu.
“Aku minta, ceraikan aku!” Rany berucap dengan tegas namun tetap dengan nada yang gemetaran, membuat hatiku semakin hancur berkeping.
***
Berhari-hari Rany membisu, tak sekali pun dia mau kusentuh. Matanya bengkak. Setiap saat dia bisa tiba-tiba saja menangis atau sekedar menahan sengguk. Hati kecil ini jadi semakin kacau balau. Duniaku, kebahagiaanku, semuanya raib. Seolah tumpuan yang selama ini aku pijak, rapuh. Membuatku jatuh tenggelam di dalam lautan penyesalan, tanpa tahu kapan akan kembali ke darat.
“Dia sudah tahu hubungan kita?” Sebuah pesan singkat dari Alia kubaca.
“Iya.”
“Lalu bagaimana, apa kau baik-baik saja?”
Aku diam. Tak kubalas pesan berikutnya.
“Phoe, katakan padanya, tak ada apa-apa antara kita. Tak terjadi apa-apa.”
Aku masih diam.
“Phoe?”
....
“Phoe!”
Aku diam.
***
“Bawa perempuanmu kemari. Suruh suaminya juga ikut! Jika tidak, aku akan benar-benar meminta cerai darimu. Titik!”
Suara Rany menggema di setiap sudut hati. Dia benar-benar marah kali ini. Aku sudah tak tahu musti berbicara apalagi di hadapannya. Semua salahku, berkelit dengan cara apa pun aku sudah jatuh tersungkur. Takkan lagi didengarkan.
Akhirnya, kuhubungi lagi Alia. Kali ini lewat chat di e-mail, karena nomor teleponnya sudah dihapus oleh Rany.
“Rany memintamu dan Sony ke rumah.”
“Buat apa?! Mengapa harus pakai Sony?”
“Dia ingin bicara.”
“Tidak mau!”
“You must!”
“I would not!”
“Berarti, kau ingin aku kehilangan istriku?”
Alia tak membalas. Pembicaraan itu pun berakhir.
Hampir seminggu sejak percakapanku dengan Alia terputus. Tak ada lagi kabar darinya, sementara Rany masih membungkam. Siang ini ponselku sudah berdering berkali-kali, namun tak kuhiraukan. Aku yakin nomor tak dikenal itu adalah milik Alia, yang telah kuhapal empat digit terakhirnya. Hatiku ragu, haruskah kujawab panggilan itu? Bukankah aku sudah berjanji pada Rany agar tak lagi berhubungan dengan Alia?
Entahlah. Pikiranku semakin berat. Tugas kantor hari ini masih menumpuk. Ditambah dengan ancaman cerai dari Rany, yang sepertinya akan benar-benar terjadi jika aku masih tak mampu menghilangkan sosok Alia di kehidupanku. Haruskah, kami benar-benar berpisah setelah tujuh tahun lebih pernikahan ini, hanya demi seorang perempuan seperti Alia? Hanya demi kenangan konyol yang kukejar beberapa minggu lalu? Ahk!
Sebuah deringan memecah kembali. Bising. Otakku hampir gila dibuatnya. Akhirnya kuputuskan juga untuk menjawab panggilan itu.
“Kau pengecut, ya, Ndu!” Nada Alia marah. Ia bahkan tak lagi menyebutku dengan nama kesayangannya.
“Maksudmu?”
“Kau ngomong apa sama istrimu? Hah! Lihat dia, memaki-maki aku sebagai perempuan murahan di akunnya!”
Memaki Alia? Benarkah? Ohya, aku lupa. Setelah kejadian itu, aku menonaktifkan akun Facebook. Jadi sudah tak mungkin lagi aku bisa tahu, hal-hal apa saja yang tengah mereka berdua ributkan di sana. Tetapi aku yakin, wanita-wanita yang sedang sakit hati seperti Alia dan Rany, pasti mengumbar kemarahannya di media sosial. Mereka berdua pasti sedang perang status saat ini.
“Aku tak mengatakan apa-apa. Dia yang membaca semua chat kita. Semuanya, Alia. Kau tahu, kan, apa maksudnya itu. Semuanya!”
“Cih!”
Setelah mengumpat kemarahannya, Alia menutup telepon. Kuhela napas. Karena rasa penasaran, aku pun mengaktifkan kembali akunku.
Nama itu kucari. Rany Puspasari, istriku. Aku membacanya, melahap satu demi satu status yang dia tulis di wall-nya. Kemudian aku beralih mencari nama kekasihku, Alia Hanna. Pelan-pelan aku menjelajah kalimat-kalimatnya. Lalu ..., perasaan itu mencuat. Sedih, malu, dan sedikit rasa marah.
Ah, wanita-wanitaku ....
***
Sesampainya di rumah, pukul sembilan malam, aku langsung menghampiri Rany yang sudah terpejam di ranjang kami. Kutatap wajahnya. Sisa-sisa air mata yang mengering terlihat sangat jelas. Ini sudah seminggu sejak dia menemukan ketidaksetiaanku.
Trauma yang tengah dia kecap itu begitu menyakitkan, aku tahu sekali perasaannya. Baru kali ini Rany sangat terpukul dengan kenakalanku. Walaupun sudah sering aku berhubungan dengan perempuan lain, Rany masih bisa memaafkan. Dia tahu, saat itu aku hanya main-main. Tapi tidak untuk kali ini. Hati sudah ikut terpaut di dalamnya.
Ah, lelaki macam apa aku ini. Sungguh, aku telah gagal menjadi pelindung hati istriku sendiri. Bahkan aku berani meninggalkannya seorang diri dan bersenang-senang dengan Alia, tatkala dia baru saja seminggu melahirkan bayi kami. Jika sudah begitu, akulah yang lebih pantas disebut jalang. Bukan Alia. Seharusnya kata murahan itu untukku. Karena, jika seandainya lelaki ini mampu menahan nafsunya sendiri, sudah barang tentu Alia takkan berani lebih mendekat di kehidupan pribadiku.
Benar begitu, bukan ... Rany? Ah, tanpa senyummu, jiwa ini lelah, Sayang.
Kuembus lenguh sejenak, lalu merebahkan tubuh di samping wanita yang baru sebulan lalu melahirkan anak ketiga kami itu. Memeluk punggungnya yang sedang membelakangi. Rambut panjangnya kuelus lembut. Tak terasa, air mata meleleh. Sesuatu yang haram kulakukan, namun kali ini benar-benar tak kuasa untuk membendungnya.
“Maaf,” desisku.
“Maaf untuk apa?”
Aku terkejut. Tiba-tiba saja Rany yang kukira tengah lelap itu bersuara.
“Bunda belum tidur?” tanyaku. Rany membalikkan badannya. Dia menatapku. Lindap.
“Ayah meminta maaf untuk apa? Bunda tanya.”
Malu, aku yakin wajah ini pasti tengah memerah.
“Karena selama ini Ayah selalu menyakiti hati Bunda. Ayah tak pernah memberikan kebahagiaan pada Bunda. Bisanya hanya membuat Bunda nangis.”
“Bunda masih belum mengerti, mengapa Ayah suka mempermainkan perasaan Bunda. Selalu saja ber-SMS mesra dengan perempuan lain. Mengapa?”
Mulutku tertutup rapat. Tatapan mata ini kulempar pada dinding di belakang tubuh Rany. “Jujur, Yah. Bunda ingin tahu, di mana letak kekeliruan kita selama ini. Apakah Ayah sudah bosan dengan Bunda?” tanya Rany kembali.
Dengan wajah melusuh, akhirnya aku menjawab pertanyaannya, “Mungkin ..., bisa dibilang itu naluri lelaki. Iya, Ayah tahu itu salah, tapi Ayah tak bisa menghilangkan kesenangan konyol ini. Ayah bodoh dan murahan, bukan? Selalu menyia-nyiakan Bunda. Padahal, selama ini Bunda selalu memaafkan kenakalan Ayah.”
Istriku melempar napasnya keras-keras. Dia pasti merasa jengkel dengan jawabanku.
“Lalu, bagaimana dengan perempuan itu? Mengapa dia marah-marah ketika aku mengatainya murahan? Bukankah itu kenyataannya. Dia bersuami, tetapi masih saja mau dibawa pergi oleh suami orang lain. Sebutan apalagi yang pantas buat dia selain murahan?”
“Bunda, sudahlah. Aku pun sudah sangat menyakiti hatinya.”
Mata istriku melotot tajam. Ah, aku baru saja salah memilih kalimat. Maksudku, agar dia mau menghentikan status-status konyol yang terus menyerang Alia, kemudian Alia membalasnya dengan lebih konyol lagi. Hal yang menggelikan seperti itu, takkan pernah ada habisnya jika salah satu dari mereka tak ada yang mengalah dan berusaha berdamai dengan kesakitannya sendiri. Tapi, wanita takkan mau disuruh diam, bukan? Walaupun itu pada akunnya sendiri.
“Oh, jadi begitu. Ya, sudahlah.”
Rany kembali membelakangiku. Dia marah.
“Bunda ....”
“Aku bilang sudah. Setidaknya, biarkan Bunda sendiri agar bisa menjernihkan hati. Bunda sudah lelah. Capek makan hati terus!”
“Maaf, ya, Bun ....”
Rany terdiam. Aku tahu saat ini dia pasti sedang membenamkan seguknya di sela-sela bantal.
***
Alia berteriak-teriak tak keruan di akunnya. Jiwanya benar-benar tengah terluka. Aku membaca status-statusnya siang ini, sambil menelan ludah. Iba. Rasa bersalahku padanya menjadi semakin besar.
‘Kau pengecut, Ndu. Pengecut! Menghilang begitu saja setelah apa yang terjadi!’
‘Seharusnya, jangan kau yang menghilang. Aku-lah yang lebih dahulu menghilang. Agar aku tak seluka ini, Ndu.’
Ah, iya ..., aku sudah sangat melukainya. Melecuti hati kekasihku dengan begitu angkuh.
‘Aku bukan murahan! Kau tahu itu, Ndu. Kau tahu itu! Bungkam mulut wanitamu, sekarang juga!’
Alia ..., jika saja aku mampu hadir di sana dan memelukmu. Meminta maaf atas semua luka yang kuberikan padamu. Ah, iya ... Hanya maaf, kata itu yang aku punya untuk kalian berdua.
~ 0 ~
(bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar