Kerinduan yang Pekat
"Aku hidup, tapi mati ... Alia."
Seharusnya
kami bahagia setelah hari itu. Bisa menikmati dua hari di kota terindah di
Yogya. Hanya berdua. Seperti mimpi yang selama ini kami dekap.
Namun
kenyataannya tidak.
Setelah
kejadian di kamar hotel, Alia jadi pendiam. Sepanjang perjalanan pulang, ia
membisu. Aku hampir dibuatnya gila. Perasaan bersalah menghujam. Setiap kata
yang ia keluarkan hanya sepatah-dua patah. Bahkan hingga kami perpisah di bawah
pohon akasia, ia hanya berkata, “Terima kasih.” dengan mata menatapku yang
hanya sesaat, sebelum ia melangkahkan kakinya keluar mobil. Tanpa pikir
panjang, kurengkuh lengannya.
“Tunggu,”
kataku pelan, “maaf ....”
Dia
tersenyum, lalu menggeleng perlahan.
“Tidak,
Ndu. Kegilaan yang telah kita lakukan malam itu karena memang kitalah yang
menginginkannya. Jangan mengucap maaf padaku.”
“Ta-tapi,
Lia, kita ....”
“Sstt
... Kita masih tetap menjadi kita setelah malam itu.”
Itulah
kata-kata terakhir dari Alia. Setelah itu tak sedikit pun kutemui sosoknya.
Tidak di bawah pohon akasia yang sebesar pelukan dua manusia dewasa di tepi
Jalan Diponegoro. Tidak di Cafe Orenz Blue. Juga tidak di semua sudut-sudut
kota Surabaya. Bahkan, semua pesanku tak dibalas satu pun. Facebook miliknya
juga sudah non-aktif.
Alia
benar-benar raib. Bumi seakan-akan telah menelan tubuhnya, sengaja menjauhkan
dari diriku yang tak becus menjaga hati seorang perempuan ini.
***
Kepulanganku
dari Yogya kembali disambut dengan pelukan erat dari Rany. Bahkan teramat erat!
Dia bagaikan akar-akar rotan yang kokoh melilitku. Mendekap seolah tak ingin
kehilangan. Sebuah lelehan jatuh dari pelupuk matanya. Haru. Kemudian dia
berdesis, “Selamat pulang, Sayangku. Selamat datang kembali.”
Sekali
lagi, aku dibuatnya bertanya-tanya akan sikap anehnya itu.
Setelah
dekapan erat yang tak kuketahui artinya itu, sikap Rany berubah. Lambat laun,
sinar keceriaan muncul di wajahnya. Senyumnya kembali mematahari hati. Membuat
sukmaku lunglai. Kemolekannya, kesabarannya, kepatuhannya, sekarang ...
senyumnya.
Petualangan
ini berakhir sudah. Kegilaanku pupus. Namun tak sekali pun aku ingin
menghilangkan kerinduan pada Alia. Tak ingin.
Ah,
perempuanku ... katakan, di manakah dirimu sekarang? Ijinkan aku melihatmu
mengatakan, bahwa kau baik-baik saja. Katakan ....
~ 0 ~
Kejutan yang Mencekik
"Ia ada di sana, tepat di depanku ...."
“Ayah!”
Jenna
melambai sambil berseru ke arahku. Dia masih asyik mengayuh sepedanya dengan
riang, mengelilingi Taman Bungkul yang tengah ramai dikunjungi Minggu sore ini.
Aku duduk di salah satu bangku semen yang hampir rompal sisi kirinya. Sementara Rany menikmati semangkok bakso
bersama kedua putraku di warung langganannya.
Keceriaan
yang lumrah. Tapi hatiku tetap kesepian.
Empat
tahun sudah berlalu. Rumah tangga yang kami bangun masih berdiri kokoh atas
kesabaran Rany yang gigih. Aku bangga padanya. Sangat. Entah apa yang bisa
kubalaskan untuk hati yang sekokoh karang itu. Aku hanya lelaki egois, bukan?
Seharusnya, aku tak layak mendapatkan ‘maaf’ darinya.
Ah,
Rany ....
“Ayah!”
Teriakan
Jenna kembali terdengar. Kusungging senyum ke arahnya, sambil melambai pelan.
Senja mulai memerah. Aku memilih beranjak dari tempat ini dan berjalan menuju
arah gadis kecilku yang di sana.
Langkahku
melambat. Lamat-lamat, jala mata ini menangkap sosok perempuan berkerudung
kuning yang tengah berdiri, tepat sekitar sepuluh meter di depanku. Di
sela-sela kerumunan orang-orang itu, kulihat ia tertawa lebar. Binar wajahnya
sangat bahagia.
Renyut
dadaku mulai berkelojotan. Tangan-tanganku bergetar. Wajah itu ... kini tampak
lebih dewasa dan anggun dengan jilbab panjang yang menutupi dada hingga
pergelangan tangannya. Cantik!
“A-Alia
...?”
Kuangkat
kaki, hendak menghampiri perempuan itu. Ia kekasih yang kurindukan. Kekasih
yang menempati bilik-bilik kenangan. Namun, seketika kakiku terasa kaku. Berat.
Seolah bumi melesakkannya ke dalam. Mataku membelalang, bulat dan melebar. Aku
limbung. Jantungku berhenti berdetak!
Mata
ini melihatnya, sangat jelas sekali.
Alia
menghampiri seorang gadis kecil yang cantik. Ia mengangkatnya, menggendong penuh
kasih, lalu berlalu menjauh. Hilang. Mereka berdua ... tak terkejar lagi.
Segalanya
lesap. Semuanya tiba-tiba menghilang. Kenanganku, sukmaku, dan juga penyesalan
itu. Urat-urat kecil yang menjalar di seluruh tubuh ini lunglai. Wajah gadis
kecil itu, adalah wajah Jenna! Itu wajahku!
Ta-tapi ... ba-bagaimana bisa?!
~ 0 ~
(bersambung)
terima kasih Bundo, sudi mampir ke blog ^^/
BalasHapus