Jumat, 12 Desember 2014

PEREMPUAN PERINDU BENIH part 6 (sebuah mininovel)




Kerinduan yang Pekat



"Aku hidup, tapi mati ... Alia."




Seharusnya kami bahagia setelah hari itu. Bisa menikmati dua hari di kota terindah di Yogya. Hanya berdua. Seperti mimpi yang selama ini kami dekap.

Namun kenyataannya tidak.

Setelah kejadian di kamar hotel, Alia jadi pendiam. Sepanjang perjalanan pulang, ia membisu. Aku hampir dibuatnya gila. Perasaan bersalah menghujam. Setiap kata yang ia keluarkan hanya sepatah-dua patah. Bahkan hingga kami perpisah di bawah pohon akasia, ia hanya berkata, “Terima kasih.” dengan mata menatapku yang hanya sesaat, sebelum ia melangkahkan kakinya keluar mobil. Tanpa pikir panjang, kurengkuh lengannya.

“Tunggu,” kataku pelan, “maaf ....”

Dia tersenyum, lalu menggeleng perlahan.

“Tidak, Ndu. Kegilaan yang telah kita lakukan malam itu karena memang kitalah yang menginginkannya. Jangan mengucap maaf padaku.”

“Ta-tapi, Lia, kita ....”

“Sstt ... Kita masih tetap menjadi kita setelah malam itu.”

Itulah kata-kata terakhir dari Alia. Setelah itu tak sedikit pun kutemui sosoknya. Tidak di bawah pohon akasia yang sebesar pelukan dua manusia dewasa di tepi Jalan Diponegoro. Tidak di Cafe Orenz Blue. Juga tidak di semua sudut-sudut kota Surabaya. Bahkan, semua pesanku tak dibalas satu pun. Facebook miliknya juga sudah non-aktif.

Alia benar-benar raib. Bumi seakan-akan telah menelan tubuhnya, sengaja menjauhkan dari diriku yang tak becus menjaga hati seorang perempuan ini.

***

Kepulanganku dari Yogya kembali disambut dengan pelukan erat dari Rany. Bahkan teramat erat! Dia bagaikan akar-akar rotan yang kokoh melilitku. Mendekap seolah tak ingin kehilangan. Sebuah lelehan jatuh dari pelupuk matanya. Haru. Kemudian dia berdesis, “Selamat pulang, Sayangku. Selamat datang kembali.”

Sekali lagi, aku dibuatnya bertanya-tanya akan sikap anehnya itu.

Setelah dekapan erat yang tak kuketahui artinya itu, sikap Rany berubah. Lambat laun, sinar keceriaan muncul di wajahnya. Senyumnya kembali mematahari hati. Membuat sukmaku lunglai. Kemolekannya, kesabarannya, kepatuhannya, sekarang ... senyumnya.

Petualangan ini berakhir sudah. Kegilaanku pupus. Namun tak sekali pun aku ingin menghilangkan kerinduan pada Alia. Tak ingin.

Ah, perempuanku ... katakan, di manakah dirimu sekarang? Ijinkan aku melihatmu mengatakan, bahwa kau baik-baik saja. Katakan ....




~ 0 ~





Kejutan yang Mencekik



"Ia ada di sana, tepat di depanku ...."




“Ayah!”

Jenna melambai sambil berseru ke arahku. Dia masih asyik mengayuh sepedanya dengan riang, mengelilingi Taman Bungkul yang tengah ramai dikunjungi Minggu sore ini. Aku duduk di salah satu bangku semen yang hampir rompal sisi kirinya.  Sementara Rany menikmati semangkok bakso bersama kedua putraku di warung langganannya.

Keceriaan yang lumrah. Tapi hatiku tetap kesepian.

Empat tahun sudah berlalu. Rumah tangga yang kami bangun masih berdiri kokoh atas kesabaran Rany yang gigih. Aku bangga padanya. Sangat. Entah apa yang bisa kubalaskan untuk hati yang sekokoh karang itu. Aku hanya lelaki egois, bukan? Seharusnya, aku tak layak mendapatkan ‘maaf’ darinya.

Ah, Rany ....

“Ayah!”

Teriakan Jenna kembali terdengar. Kusungging senyum ke arahnya, sambil melambai pelan. Senja mulai memerah. Aku memilih beranjak dari tempat ini dan berjalan menuju arah gadis kecilku yang di sana.

Langkahku melambat. Lamat-lamat, jala mata ini menangkap sosok perempuan berkerudung kuning yang tengah berdiri, tepat sekitar sepuluh meter di depanku. Di sela-sela kerumunan orang-orang itu, kulihat ia tertawa lebar. Binar wajahnya sangat bahagia.

Renyut dadaku mulai berkelojotan. Tangan-tanganku bergetar. Wajah itu ... kini tampak lebih dewasa dan anggun dengan jilbab panjang yang menutupi dada hingga pergelangan tangannya. Cantik!

“A-Alia ...?”

Kuangkat kaki, hendak menghampiri perempuan itu. Ia kekasih yang kurindukan. Kekasih yang menempati bilik-bilik kenangan. Namun, seketika kakiku terasa kaku. Berat. Seolah bumi melesakkannya ke dalam. Mataku membelalang, bulat dan melebar. Aku limbung. Jantungku berhenti berdetak!

Mata ini melihatnya, sangat jelas sekali.

Alia menghampiri seorang gadis kecil yang cantik. Ia mengangkatnya, menggendong penuh kasih, lalu berlalu menjauh. Hilang. Mereka berdua ... tak terkejar lagi.

Segalanya lesap. Semuanya tiba-tiba menghilang. Kenanganku, sukmaku, dan juga penyesalan itu. Urat-urat kecil yang menjalar di seluruh tubuh ini lunglai. Wajah gadis kecil itu, adalah wajah Jenna! Itu wajahku!

Ta-tapi ... ba-bagaimana bisa?!



~ 0 ~

 (bersambung)

1 komentar: