Renjana
"Darahku berdesir. Renjana itu datang, dan aku tak mampu menahannya ...."
Saat aku sedang mengaduk campuran madu dengan air hangat di cangkir coklat kesayanganku—pemberian dari Alia, Rany bergumam sendiri di hadapan laptop yang sedang menyala. Jemarinya didiamkan sesaat.
“Mengapa lelaki selalu mencari perempuan lain yang memiliki kelebihan yang tak dimiliki oleh istrinya?”
Hening. Adukanku terhenti, memilih mengalah untuk berputar.
“Lalu ... mengapa lelaki tak pernah merasa bersalah kepada istrinya, setiap kali ia ber-chat mesra dengan perempuan lain? Seolah itu hal biasa yang nggak pantas buat diributkan.”
Aku menelan ludah. Kalimat-kalimat yang dia racaukan itu seakan melecuti rongga hati ini. Kulirik diri Rany. Kini, ujung-ujung jari itu sudah asyik lagi menari di atas tuts. Tatapnya yang mendarat di layar laptop tampak dingin. Gurat-gurat menakutkan yang menyembul di mata itu hampir setajam lidahnya. Dua-tiga menit korneaku masih melekat pada wajah Rany.
“Ada apa?” tanyanya tiba-tiba. Tubuhku tergeragap. Mencoba mengalihkan gemetarku dengan mengaduk kembali sendok putih di cangkir coklat tadi.
“Ada yang salah dengan ucapanku?”
Diam. Tak kujawab pertanyaan Rany. Aku yakin benar, istriku itu sedang mencoba menjebak dengan kalimatnya. Dia pandai sekali bermain olah kata jika hatinya sudah benar-benar sakit. Juga, ketika dia telah menemukan bukti kenakalanku.
Tapi ... bukti apa lagi yang sudah dia temukan, ya? Tanya batinku, mencoba berpikir namun tak juga kutemukan jawabannya. Kulirik lagi wajah Rany. Aku menelan ludah sekali.
“A-Ayah Sabtu-Minggu besok ada kerjaan di Yogya,” kataku memecah canggung, namun Rany tetap bergeming dengan wajahnya yang dingin.
Ah, sudahlah.
Hari yang ditentukan pun tiba. Ketika aku berpamit, Rany memeluk tubuh ini begitu erat. Kurasakan debaran dadanya melantam. Matanya berkaca-kaca.
“Ada apa?” tanyaku. Dia hanya menggeleng, sambil terus membenamkan kepalanya di pelukanku.
Aneh. Tapi setelah itu, tak kupikirkan lagi tentang dirinya. Hatiku terlanjur berbunga-bunga membayangkan perjalanan bersama Alia.
***
Sabtu, pukul sepuluh malam. Hotel Laras Hati, Malioboro – Yogyakarta
“Aahh ... leganya sudah bisa berbaring di atas kasur!”
Aku terduduk di sebuah kursi rotan, memandang Alia keluar dari kamar mandi, lalu merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Ia menggeliat sebentar. Kualihkan kornea ini menatap jendela kamar. Sebuah rokok yang baru saja menyala, kuhisap dalam-dalam. Di luar, gerimis menyapa dedaunan. Bau harumnya menggeliat, menyapa cuping hidung yang baru saja menghisap asap rokok.
“Kau tak mandi?” tanya Alia.
“Nanti saja.”
Kulirik perempuan itu. Rambut panjangnya tergerai basah, terurai lemah begitu saja di atas seprei hijau bermotif abstrak. Aroma tubuhnya yang wangi, bercampur dengan kepulan asap yang kuhembuskan.
Ruangan kamar hotel ini tak terlalu besar. Hanya ada sebuah ranjang berukuran single, sebuah televisi, dua buah kursi rotan berwarna cokelat gelap, meja rias yang biasa, dan sebuah lemari berukuran kecil. Kami tak sengaja memilih yang sekecil ini. Setiap weekend, hotel yang terletak di Jalan Malioboro selalu saja penuh. Banyak pelancong yang singgah untuk menikmati kota indah ini. Kamar ini adalah yang terakhir.
Walaupun murah, Hotel Laras Hati tidak terkesan murahan. Tempatnya bersih, pelayanannya ramah. Membuat kami merasa nyaman. Kamar-kamarnya berderet membentuk persegi empat. Mengelilingi sebuah taman yang rindang. Bau harum suasana di luar kamar membuatku kembali rileks. Setelah perjalanan jauh kami dari Surabaya, tubuh terasa kaku. Ditambah kedua kaki yang di lelahkan oleh penjelajahan mengelilingi Jalan Malioboro.
“Bagaimana keadaanmu?”
Alia diam sejenak. Kedua kakinya tengah mengamit sebuah guling.
“Lumayan. Sekarang hatiku mulai tenang.”
Kusungging sebuah senyum.
“Syukurlah.”
“Terima kasih. Aku memang butuh liburan untuk melupakannya.”
Kami terdiam. Mataku masih menyapu dedaunan basah di taman depan kamar, melalui jendela kecil ini. Rokok di tangan sudah separuh jalan. Pikiranku teringat kembali pada tangisan Alia beberapa hari lalu, ketika ia mengatakan tentang keadaannya yang menyedihkan.
Itu adalah malam yang menyakitkan bagiku.
Haah ... Untuk beberapa saat, hening menguasai kamar kami. Kulihat Alia bangkit. Ia berjalan dengan gemulai, menghampiriku. Lekuk-lekuk tubuhnya terlihat jelas ketika lampu meja berwarna putih itu menjamahnya dari belakang. Aku menelan ludah. Gaun kembang bakung yang membuatnya lebih cantik Minggu malam lalu itu sekarang menjadikannya wanita terseksi di mataku.
“Apa yang kau lihat?” tanyanya. Badannya membungkuk. Mengintipkan matanya dekat pada jendela. Tubuh kami bersentuhan tanpa sengaja. Aku sungguh dibuatnya gugup. Debaranku berlarian tak tentu arah. Melaju bagaikan deru kereta api yang menebas udara.
Di saat aku tengah diserang ketidakberdayaanku sebagai lelaki, wajah Alia kulihat teramat biasa dengan keadaan ini. Polos.
“Ti-tidak ada,” jawabku terbata, “ha-hanya tanaman.”
“Apa bagusnya lihat tanaman.”
Senyum Alia menyungging nakal. Matanya masih mengintip.
Lama kami bertahan dalam posisi seperti ini. Lalu tiba-tiba, Alia berdesis pelan, “Aku ini benar-benar pendosa, ya, Phoe?”
Aku terhenyak.
“Aku hanya berharap, suatu saat nanti aku bisa melahirkan anak dari rahimku sendiri. Itu saja ... apa aku salah memiliki keinginan seperti itu? Apa pendosa ini tak pantas menjadi seorang ibu?”
Hatiku melarat-larat. Tetesan air mata Alia sudah berjatuhan di bahuku. Kemudian, semuanya terjadi begitu cepat.
Awalnya, kubenamkan puntung rokok di asbak kayu yang berukir daun-daun tak jelas. Lalu kutarik lengan Alia dengan lembut. Melesatkan tubuh hangatnya di pangkuanku. Jari-jemari yang tengah dilekati bau tembakau ini menyeka air matanya. Ia masih terisak. Bahkan lebih sesak lagi. Kedua mata kami bertemu. Miliknya jauh lebih redup dari biasanya. Kemudian, bibirku menyentuh lembut bibirnya yang telah basah oleh air mata.
Gelap semakin memekat. Lenguh-lenguh dosa itu terbuncah. Desahan demi desahan menyatu. Renjana kami melesat, membumbung menguasai kamar. Malam itu, kunikmati tubuh perempuanku, hingga dua kali.
~ 0 ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar