Jumat, 05 Desember 2014

PEREMPUAN PERINDU BENIH part 1 (sebuah mini novel)




Perempuan Yang Kusebut Ia Kekasih 



"Ini pasti sebuah hukuman dari Tuhan, karena aku seorang yang jalang."



Malam ini, ketika bulan merah pucat tengah bersinar, kulihat perempuan kesayanganku duduk bersanding dengan kesedihan. Wajahnya layu. Lenguh napasnya sepenggal demi sepenggal. Meninggalkan aroma kopi vanila latte yang membaur dengan udara di wajahnya. Beberapa detik lalu, mata itu terlihat hampir meleleh.

Kemudian, hatiku terenyuh.

“Ada apa, Phie?” tanyaku dengan menyebut nama kesayangan untuknya.

Perempuanku tetap bergeming. Bibirnya masih terbungkam rapat. Ia hanya menatap dalam diam. Berkedip sebentar, lalu melempar kembali pupil matanya ke arah sudut-sudut cafe.

“Phie ...?”

“Phoe,” ia berdesis. Tangan kirinya tetap setia menopang dagu. Korneanya masih sasar, melahap tiap jengkal suasana di sekelilingnya. Seorang pramusaji pria baru saja melewati tempat duduk kami. Kulihat perempuanku berkedip sekali. “Apa kau percaya dengan karma?” tanyanya kemudian.

“Kok kamu tiba-tiba ngomong seperti itu sih, Phie?”

Ia tak menjawab.

Hening.

Pramusaji pria itu kembali melintas. Kali ini tangannya membawa nampan bulat berwarna hitam, penuh dengan cangkir kopi yang sudah kosong. Sejenak, mataku beradu dengan mata pemuda itu. Dia melemparkan senyum. Ramah.

Cafe Orenz Blue tempatku melepas rindu bersama perempuan yang sedang duduk di hadapanku itu, selalu ramai pengunjung. Di sini nyaman. Teramat malah. Kami bisa melihat lalu lalang kendaraan yang menerobosi kegelapan dengan jelas. Lampu-lampu mobil dan motor itu bagaikan kunang-kunang raksasa yang melesat. Indah.

Di pojok dekat pohon pinang setinggi bahuku inilah tempat kami memeluk kebersamaan. Selalu di sini. Bersembunyi dari pandangan pengunjung lain yang mungkin mengenali salah satu dari kami. Ini adalah pertemuan terlarang, tak mungkin bagi kami menunjukkan diri terang-terangan.

Dua tahun lalu, aku bertemu kembali dengannya melalui salah satu sosial media. Facebook. Sebuah perjumpaan tanpa unsur kesengajaan. Lagu lama, bukan? Namun memang seperti itulah takdir kami. Setelah lebih dari dua belas tahun berpisah, kisah masa kanak-kanak itu pun tersambung kembali. Hingga saat ini.

Aku, dan juga dirinya, tak pernah menginginkan semua ini terjadi. Bukan kehendak kami. Bukan. Namun lebih karena ketidakberdayaan yang tak mampu melawan hati kecil. Logikaku, logikanya, melebur. Raib diterbangkan oleh benih-benih cinta yang kembali tersemai.

Salahkah? Iya, karena sebenarnya, aku dan dirinya, sudah berkeluarga.

Tetapi kami hanyalah manusia biasa, yang begitu angkuh menghalalkan sebuah kesalahan. Pembenaran kami berkacak pinggang dengan sombong, lalu dengan bangga menerobosi hati nurani masing-masing.

“Aku sudah sangat bersalah sama istrimu, Phoe, dan inilah balasanku.” Kali ini, matanya benar-benar meleleh. Kuraih jemarinya. Meremas dengan lembut.

“Phie, kamu itu ngomong apaan sih? Jangan bikin aku takut, dong.”

Ia tersenyum. Di balik luka yang masih belum kuketahui apa itu, ia masih saja tersenyum. Aku mencintainya karena ia perempuan yang lincah, ceria, dan penuh semangat. Namun kali ini, iya ..., baru kali ini kulihat sisi kelemahannya.

“A-aku ....”

“Apa?”

Isaknya makin deras. Berurai-urai membasahi semua rona wajahnya.

“Selamanya, a-aku ... Aku takkan mempunyai anak dari rahimku sendiri, Phoe.”

Terhenyak. Malam itu, aku merasakan sebuah tombak mencabik-cabik jiwa kelelakianku.

***

“Apa kau baik-baik saja, Phie?”

“Mana mungkin aku bisa baik-baik saja.”

“Setidaknya, setelah kau bercerita padaku, apakah kau sudah lebih baikan?”

“Apa itu merubah sesuatu?”

“Tidak.”

Kuhentikan ketikan jari di atas tombol Blackberry. Bodohnya aku. Sudah tentu ia takkan bisa baik-baik saja dengan keadaan yang mengerikan bagi semua kaum hawa itu.

“Apa kau mau mendengarkan sesuatu? Sebuah lagu, mungkin.”

“Kau belum tidur, Phoe? Bagaimana dengan istrimu?”

“Dia sudah tidur. Tenang saja.”

“Ini sudah hampir pagi. Apa kau tak lelah?”

“Aku masih mengkhawatirkanmu, Phie. Mana mungkin hatiku tenang saat kau sedang terluka seperti itu.”

“Ini bukan luka, Phoe. Ini hukuman. Ini karmaku.”

“Jangan berkata begitu.”

“Memang keadaannya seperti ini!”

Ah, perempuanku sungguh sedang terluka. Apa benar ini hukumannya? Jika benar begitu, bagaimana denganku? Apa hukumanku? Bukankah diri ini juga seorang pendosa, sama seperti dirinya?

Kutekan tombol kembali. Kali ini mengirimkan sebuah lagu untuknya. Perjalanan file masih melambat. Lalu setelah semua kotak berisi warna biru itu penuh, aku bernapas lega.

“Kukirimkan lagu untukmu, Phie. Semoga hatimu bisa lebih tenang.”

“Tengkyu, Phoe.”

Aku tersenyum. Sejenak, rasa ingin mendengarkan lagu itu datang. Jauh di sana, ia pasti juga tengah mendengarkannya. Lalu kuputar lagu itu. Meresapinya. Tak terasa, air mataku jatuh.

When you try your best but you don’t succeed
When you get what you want but not what you need
When you feel so tired but you can’t sleep
Stuck in reverse

And the tears come streaming down your face
When you lose something you can’t replace
When you lose someone but it goes to waste
Could it be worse?

Lights will guid you home
And ignite your bones
And i will try to fix you

...

Malam hampir meninggalkan waktunya. Lagu itu semakin lamat terdengar. Sejenak kemudian, lelap datang menjemput. Dalam mimpi, aku bertemu dengan seorang malaikat betina dengan sayap yang patah berkecai. Datang menghampiri, sambil berurai air mata berlian.

***

“Ayah baik-baik saja?”

Istriku tiba-tiba sudah duduk di samping ranjang. Tangannya membelai rambutku. Matanya berkesap-kesip. Binarnya menghangat.

“Ayah mimpi apa? Mengapa dari tadi tidur sambil terisak?”

Aku mengigau? Ah, ya ... Aku kembali ingat, mimpi itu seolah nyata. Hatiku masih terasa perih. Wajah malaikat itu, mencuri rona kekasihku.

Sesakit inikah, rasa mencintai itu?

“Bunda ....”

Kupeluk punggung Rany, merebahkan kelelahan di bahunya. “Ayah ingin seperti ini, sebentar saja.” Aku memejam mata.


“Lama juga gak papa kok.”

“Aku sayang, Bunda.”

“Bunda tahu.”

Rany membelai tanganku yang tengah melingkar di perutnya. Tuhan, aku banyak menanam benih luka di hatinya.

“Maaf ...,” desisku.

***

Pagi pukul sembilan. Mobilku sudah berhenti di tempat biasanya. Tepat di bawah pohon akasia merah yang kala ini tengah menggugurkan kelopaknya. Setengah jam aku menanti. Perempuan berambut ikal panjang itu kulihat tengah menyeberangi lalu lintas Jalan Diponegoro. Semenit kemudian, ia menghampiriku.

“Mana suamimu? Tumben kau berangkat kerja sendirian,” tanyaku padanya, ketika ia sudah memasuki mobil.

“Sudah berangkat setelah subuh tadi.”

Ia tersenyum. Matanya bersinar. Namun masih kurasakan duka di tiap sudut-sudutnya.

Mobil hitamku perlahan berjalan kembali. Jalanan Sabtu ini tak terlalu padat. Beberapa perkantoran di Surabaya meliburkan karyawannya di hari Sabtu-Minggu. Termasuk diriku.

“Sejak kapan kau tahu keadaanmu itu, Phie?” tanyaku memecah keheningan. Sedikit rasa canggung masih terasa menggigit setelah kudengar kabarnya semalam yang sangat mengejutkanku. Bagaimana seorang perempuan akan bertahan dengan situasi seperti ini? Kuatkah ia menahan lukanya?

“Tujuh bulan lalu. Sebelum kita bertemu kembali di Royal Plaza.”

Ia menjawab dengan tenang. Bagaimana bisa seperti itu? Setenang itu?

“Aku kadang lelah, Phoe. Aku ingin menikmati waktuku sendiri. Tanpa dirinya. Apakah kau ..., masih mau menculikku kembali, seperti dua tahun lalu?”

Jiwaku tumbang, aku terkejut. Seketika darah di dalam nadi-nadiku berdesir cepat. Seolah berjalan terbalik dari jalur yang telah ditetapkan-Nya. Menculiknya? Ah, memang sudah bukan hal baru untuk lari dari dunia nyata yang membelenggu perasaan kami. Hanya saja ..., masih mungkinkah aku melukai Rany kembali? Setelah sikap maaf yang dia berikan kepadaku?

Kebimbangan itu semakin menyudutkanku. Lalu, dari hingar bingar rasa yang ia pendar dari bola matanya yang sebening embun itu, aku melihatnya. Sebuah kenangan. Melesat tak berbelas kasih, mengoyak ingatan.




~ 0 ~





Melukis Kenangan



"Ini adalah tempat, di mana hanya kita yang tahu."



Sebenarnya, di otakku masih terasa segar aroma kenangan dua tahun lalu bersama dirinya. Hari itu, untuk pertama kali aku melarikan perempuan dari lelaki lain. Aku berkata padanya, “Maukah kau mengukir kenangan bersamaku? Setidaknya, sekali saja.”

Lalu tanpa kusangka, perempuan itu mengiya-kan ajakan konyolku ....

***

“Aku sedang marah pada waktu yang sombong pada kita, Phoe. Dua belas tahun, kenapa tak sekali pun dia memihak pada kita?”

Kutatap matanya. Layu. Entah ia tengah menerawang pada apa. Lalu pupilku beralih menekuri kaki-kaki perempuan itu, yang sedang asyik menerjang ombak. Melumat buih laut hingga hilang dibenamkan pasir pantai. Sesekali ia tersenyum, mungkin karena rasa geli. Lalu mimiknya kembali pulang pada raut wajah yang kosong.

Senja Pantai Papuma semakin lahap ditelan garis langit. Carut marut awan berwarna merah emas membaur pada denting-denting perasaan kami yang biru. Sebuah rindu terhimpit ketidakberdayaan. Pada kisahku dengannya di masa kanak-kanak dahulu.

Alia adalah gadis cilik yang sering melintas di depan rumah, sambil mengayuh sepeda kuning berlapis warna keperakan. Wajahnya lugu nan manis. Sosoknya periang.  Berminggu-minggu kemudian, kisah cinta monyet di antara kami itu pun bersambut. Aliaku baru dua belas tahun kala itu. Sedangkan aku, lima belas.

Rasaku padanya hanya bertahan selama sebulan. Tak lebih. Karena mata mudaku, menangkap sosok gadis yang lebih cantik dari Alia. Kisah kami pun berakhir tanpa kata perpisahan. Kutinggalkan dirinya. Aku tahu, hatinya dipenuhi dengan pertanyaan, “Mengapa?” yang tak pernah bisa terjawab.

Setelah pertemuan kembali di jejaring sosial itu, kami menghabiskan malam-malam penuh gejolak di ruang chat pribadi. Aku dan Alia menikmati masa-masa mengenang kembali kisah lalu kami. Memutar otakku agar bisa kembali padanya. Tentang lagu-lagu masa kecil yang kami perbincangkan, tentang film favorit yang pernah kami lihat berdua, juga tentang tempat-tempat yang pernah menjadi persinggahan kami.

Lambat laun, rasa itu muncul kembali. Menyelusup di hatiku. Bagaikan sebuah ketukan lembut dari seorang gadis yang selalu kutunggu kedatangannya, lalu aku membuka pintu, merengkuhnya dan menerima pernyataan cintanya.

Dadaku bergejolak. Tiap detik selalu kutahan agar dia tak melangkahi kesadaran. Ini buta. Bukan hal yang nyata, dan aku harus bisa melawannya.

Namun, aku bodoh. Kalah dengan perasaanku sendiri.

“Maaf karena aku telah datang dan membuka kembali kenangan kita di hatimu. Seharusnya, kisah itu tertutup selamanya,” katanya waktu itu. Ketika kuberitahu perasaanku yang sebenarnya.

“Bukan salahmu. Aku yang menghendakinya. Maka aku-lah yang bertanggung jawab atas rasa ini.”

“Kita hanya manusia, bukan?”

“Iya. Kita hanya manusia.”

Setelah itu, Alia mengakui bahwa ia pun merasakan hal yang sama seperti perasaanku. “Aku tak mampu membendungnya juga. Maafkan aku,” ucapnya pelan.

“Kau melamun apa?”

Perempuan tercintaku sudah menambatkan wajahnya di samping. Ia tiba-tiba sudah menemani duduk di batang pohon yang sengaja ditumbangkan di tepi pantai ini.

Aku membalas pertanyaannya dengan tersenyum, “Ah, tidak kok.”

Mata Alia kemudian kembali menikmati senja. Seperti sedang melumat warna itu di penglihatannya. Dahulu, Alia pernah berkata bahwa ia sangat menyukai warna langit yang kuning keemasan. Juga pada bulan yang sedang menyabit sempurna. Karena itulah kubawa ia di sini. Ini, tempat terindah yang kuhadiahkan padanya.

Hanya teruntuk dirinya.

“Apa kau pernah memikirkan, bagaimana seandainya kita belum saling terikat dengan pernikahan, Phoe?”

Aku terdiam. Pertanyaan itu sudah berbulan-bulan ini kutanyakan pada diri sendiri. Namun tak pernah ada jawaban.

“Kau tak bisa menjawabnya? Ah, tentu saja.” Alia manggut-manggut.

“Tidak, bukan begitu. Kau pun sebenarnya tahu, pertemuan ini takkan mungkin kita genggam selamanya. Kita akan saling menyakiti, demikian pula dengan orang yang mencintai kita. Bagiku, sudah cukup seperti ini. Kau dan aku, hanya sebagai hantu bagi satu sama lain. Sesuatu yang tak nyata.”

Alia tersenyum kembali. Senyum yang sama dengan gadis kecil bertahun-tahun lalu.

Ah, aku merindukannya ....

“Setidaknya, aku memiliki kenangan indah bersamamu di sini. Ini adalah tempat, di mana hanya kita saja yang tahu, Phoe.”

“Dan setidaknya, aku bisa memberimu kebahagiaan yang belum sempat kuberikan di masa lalu.”

Matanya mengerjab, seolah ingin menangkap kata-kata yang baru saja kulambungkan, lalu mendekap erat di hatinya. Dada ini semakin bergetar. Sebuah bayangan seorang wanita yang sedang setia menantiku di sana menyapa. Kutepis. Wajah itu melenyap.

Senja durjana kini sudah menghilang. Digantikan kegelapan yang lamat-lamat mulai merajai pandangan kami berdua. Alia kembali bermain air laut yang makin girang memepermainkan kaki-kaki telanjangnya. Ia berlari. Diam berhenti. Berkali-kali menghentakkan kaki ke pasir yang tergenang air. Baru kemudian berlari kembali.

Ah, sungguh cantiknya ia.

Kubenanamkan batang rokok ke pasir pantai. Sedetik kemudian Alia berlari menghampiri dengan tawa lebar kegirangan. Napasnya tersengal. Sambil menelan ludah, ia berseru, “Aku tadi melihat tebing di atas sana. Sepertinya pantai ini akan tampak semakin indah jika kita melihatnya dari sana!”

“Benarkah?”

Kekasihku mengangguk. Tanpa babibu lagi, kami berdua berjalan menuju arah tebing yang ditunjuknya. Jalan yang kami lalui lebih terjal. Namun sama sekali tak menyurutkan niatku dan dirinya untuk mendaki tebing yang menjorok ke pantai itu. Dan benar saja, Pantai Papuma yang tengah bermandikan cahaya bulan gendut malam ini, jauh kelihatan lebih indah dari sini.

“Bagaimana?” tanya Alia. Rambutnya berkibar diterpa bayu.

“Cantik!”

Kami berdua tertawa.

Angin pantai yang menjamah tebing semakin dingin. Kulihat Alia menahan gigil sambil menekuk kedua tangannya di depan dada. Napasnya mulai mendesah tak keruan. Aku melepas jaket yang menempel di tubuh, lalu menyematkannya di bahu perempuan itu. Sejenak, mata kami beradu. Dalam. Teramat dekat. Kelelakianku mulai bergejolak. Degupnya naik turun. Tanpa sadar, Dewa Renjana hadir di antara kami, berbisik mantra guna-guna.

Cepat-cepat, Alia memalingkan muka. Mengambil langkah menjauh dariku. Sedetik kemudian, aku teringat akan sesuatu yang menyayat batin. Kesadaranku kembali.

Iya, kami memang saling mencintai. Namun jiwa kami tidak serendah itu. Ada sebuah batas yang tak seharusnya kami langkahi di sini. Ada sebuah cinta, yang harus kami jaga kehormatannya. Di sana. Tempat tujuan kami untuk pulang.

“Phoe! Kaulah cinta pertamaku! Sampai kapan pun, kau tetap yang pertama bagiku!” Tiba-tiba Alia berteriak di bibir tebing. “Berjanjilah kau akan selalu mengingatku! Berjanjilah kau akan selalu mencintaiku!”

Aku terhenyak. Jantung ini semakin kencang berdenyut di akarnya. Perempuan itu menoleh menatapku. Bibirnya kembali merekah seperti biasanya. “Apa kau mau berjanji padaku, Phoe?”

Gemetarku sedikit reda. Berganti sebuah rasa tentram tatkala menatap sosok cantik yang menggoda di hadapanku itu.

“Iya, aku janji. Aku akan selalu mencintaimu, bahkan hingga seribu tahun sekali pun. Dan kau, berjanjilah untuk selalu bahagia, walaupun setelah ini mungkin kita takkan kembali menjadi manusia yang gila karena perasaan ini. Apa kau bisa, Phie?”

Rinai Alia meleleh.

“Iya, aku janji ....”

Bulan merah pucat memandang kami dari kejauhan. Aku berdiri memeluk Alia yang yang tengah limbung karena lukanya. Malam pun pingsan di depan kami. Hening. Di bibir tebing, kami putuskan untuk bersanding. Duduk sambil menautkan jari jemari. Menatap gelap, berdecap harap agar semua ini tak cepat berlalu di antara kami.

Selamanya ....

Namun fajar telah tiba. Alia menangis kembali. Kusentuh dagunya, lalu kesalahan itu terjadi juga. Ciuman yang lembut, laksana marshmallow yang lumer di lidah. Setelahnya, ia berkata pelan sambil menundukkan kepala, “Tak ada yang terjadi di antara kita, Phoe. Tak ada yang terjadi. Kita pantas untuk melupakan malam dan fajar hari ini.”

***

Aku pulang. Tepat pukul satu pagi buta, di hari berikutnya. Rany menyambut dengan wajah yang tampak lelah. Seraut kekhawatiran itu ada. Sementara aku, setitik rasa bersalah padanya muncul. Hanya setitik.

“Ayah belikan nasi kucing kegemaran Bunda. Mau makan sekarang?” kataku mencoba mengalihkan perasaanku sendiri.

Rany mengangguk. Kemudian kami berdua duduk di bawah lantai rumah. Dia membuka pembungkus nasi dari daun pisang itu. Isinya menyembul. Menggiurkan. Dengan lahap, dia memakannya. Kuelus rambut Rany penuh kasih. Kukecup keningnya. Dia tersenyum.

“Enak,” ujarnya dengan mulut yang penuh, mengunyah nasi dan paru goreng.

Sebuah pesan singkat masuk. Kubaca nama pengirimnya, Phie. Aku sedikit menghindar. Berpura-pura berdiri menghadap lemari es di samping Rany.

“Kau sudah pulang?”

“Sudah, baru saja sampai,” balasku.

“Baguslah. Aku mengkhawatirkanmu.”

“Aku baik-baik saja. Tidurlah.”

“Kau juga, istirahatlah. Bermimpilah tentang kita di pantai itu.”

“Aku mencintaimu, Phie.”

“Aku juga, Phoe. Terima kasih buat kenangan yang kau berikan dua hari ini.”

“Good night, Phie.”

“Night, Phoe.”

“BBM dari siapa? Kok malam-malam sekali?” Aku terkejut. Tiba-tiba saja Rany sudah berada di belakang. Mulutku gagap. Segera ku-endchat percakapan dengan Alia.

“A-anu ... I-itu Aris,” jawabku sekenanya. “Bunda sudah kenyang? Tidur, yuk.”

Rany memelukku. Rapat. Lalu kami berjalan ke kamar. Menikmati kebersamaan yang telah kulupakan dua hari lalu.




~ 0 ~

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar