Never Ending Story
"Kau tak pernah tahu, bagaimana aku selalu membunuh rindu ini dan berpura-pura agar bisa bernapas dalam duniaku ...."
Mobil hitam ini kuhentikan di parkiran Taman Bungkul. Kaca samping mobil terbuka lebar, aku masih terduduk di kursi sopir dengan tangan kanan mengamit rokok. Ini sudah batang yang ketiga.
Keceriaan malam Jum’at di sini terlihat sedikit menenangkan. Nadiku bertalu-talu. Pikiran ini mulai kacau semenjak pulang dari Cafe Orenz Blue. Kalimat-kalimat yang dilontarkan Alia, juga wajahnya yang melusuh di atas meja coklat itu. Sungguh, aku benar-benar ingin memeluk dirinya kembali.
Ah, lelaki ini ternyata masih menjadi seorang suami yang bodoh. Bahkan teramat bodoh, Ran.
“Aku merindukanmu, Ndu. Setiap menit kulalui begitu berat selama dua tahun ini. Menyiksaku dalam diam. Berpura-pura tertawa di hadapan Sony, padahal aku tengah memikirkan lelaki lain.”
Saat itu, aku tercengang. Kicau sendu dari bibir Alia membuatku sedikit melonjak kegirangan, namun juga sedih. Karena segalanya kini telah berubah. Ada janji yang harus kutepati pada Rany.
“Kenangan itu ..., iya. Seandainya saja tak ada kenangan di Pantai Papuma itu, sudah pasti aku lebih mudah untuk melupakanmu, Ndu. Tapi ... Ah, mengapa kau begitu kejam. Memberiku sebuah kenangan lalu pergi menghilang.” Alia menangis. Kali ini derai air matanya lebih deras membanjiri pipi.
“Jauh di lubuk hatiku pun, tengah terbuka sebuah kawah yang kesepian. Menanti seseorang datang, untuk menutupnya kembali,” lanjut Alia.
Malam yang kami lalui semakin berat. Hati kami berlabuh pada ketidakberdayaan, sekali lagi. Lalu, lirik kenangan kami dari Christina Perri mengalun lembut di udara. Membuat jiwaku limbung. Bisa jadi, jiwanya juga. Jatuh, pada kisah masa lalu.
Heart beats fast
Colors and promises
How to be brave
How can I love when I,m afraid to fall
But watching you stand alone
All of my doubt suddenly goes away somehow
One step closer
I have died everyday waiting for you
Darling don’t be afraid I have love you
For a thousand years
I’ii love you for a thousand more
....
Ah, jiwaku kesakitan. Apakah kau juga, Lia?
Kuhisap rokokku dalam-dalam. Sebuah tanya melintas di pikiran, akankah kubuka kembali hubungan yang telah berakhir ini?
Wajah Rany terbayang. Tangisan-tangisan di setiap malam yang dia lalui. Mata bengkaknya juga. Hatinya yang penyabar. Juga ketegarannya. Akankah kulibas semua itu, dengan ketidaksetiaan lagi?
Ujung rokokku sudah semakin memendek. Puntung itu kubuang jauh, jatuh ke semak-semak basah. Kulirik jam tangan, pukul sebelas malam. Aku kirimkan sebuah e-mail pada perempuan yang menguasai segala pikiranku itu
“Bila hari kelima tiba, aku adalah milikmu, Phie, tak lebih dari itu. Kisah kita bisa berjalan kembali, tapi kali ini, kau adalah sahabatku, aku sahabatmu. Aku adalah seorang yang asing bagimu, kau pun akan menjadi orang asing bagiku. Jika kau bisa menerima kedudukan terbaik yang bisa kutawarkan padamu ini, datanglah, ke tempat yang sama.”
Ah, ini sebenarnya hanyalah akal-akalanku saja. Keegoisanku. Berkata demikian, walau sebenarnya pun aku menginginkannya kembali. Tapi, inilah yang terbaik. Bagiku. Iya, hanya bagiku saja yang masih congkak dengan keinginan sendiri.
Lalu di hari Jum’at minggu berikutnya, aku mendatangi tempat itu lagi. Alia sudah menantiku. Dengan dandanan funky seperti biasanya. Kaos oblong hitam dengan gambar tengkorak besar di dadanya, dipadu jeans belel yang sobek sedikit di bagian lutut. Begitulah sosok Alia. Perempuan energik yang selalu kurindukan.
***
“Kau masih ingat dengan film tentang kita, Phoe?”
Kuangkat alis. Bibir yang menghitam karena rokok ini sedang menempel di mulut sedotan putih. Kutelan seteguk cokelat dingin di dalam gelas.
“Film kita?” Aku mencoba menarik kembali ingatan.
Binar mata Alia berkesap-kesip. Alisnya ditarik berkali-kali.
“Hayo apaa ...?”
“Ah! Aku ingat.”
Kusungging senyum.
“Apa?”
“One Day, bukan?”
Ia mengangguk mantap. Itu memang film tentang kami. Setidaknya, itulah yang kami rasakan. Dibintangi oleh Anne Hathaway dan Jim Strungess. Kisah drama romantis yang mengisahkan dua manusia dewasa yang sudah saling terikat oleh suatu hubungan, tapi mempunyai satu janji yang sakral bagi mereka. Setiap tahun, di tanggal yang sama, mereka akan menyempatkan waktu untuk menghabiskan hari. Hanya berdua.
Alia dulu pernah berkata saat kami sedang berada di Pantai Papuma, “Setiap tahun, di tanggal yang sama dengan hari ini, kita akan kemari lagi. Berdua.”
Aku menyetujuinya, walaupun akhirnya keinginan itu tak terlaksana.
“Tiba-tiba aku ingin berperan kembali seperti Emma dan Dexter. Kita berdua, Phoe dan Phie. Menikmati satu hari, di tempat yang sama. Meninggalkan dunia nyata kita.”
“Itu bagaikan mimpi, Phie. Sudah tak mungkin lagi.”
“Mengapa?”
Kuangkat kedua bahu.
Ia pun terdiam.
Ini sudah bulan keenam sejak perjumpaan kami kembali di Royal Plaza. Sejak itu, setiap hari Jum’at malam kami bertemu di sini. Tempat yang sama.
“Sudah kukatakan, kita hanya sahabat. Aku tak ingin melukai Rany lagi.”
“Iya, aku tahu. Maaf. Tapi ..., aku benar-benar ingin pergi lagi berdua denganmu.”
Aku tahu Alia. Hati kecilku pun sebenarnya ingin merengkuhmu kembali. Menikmati dunia kita berdua, di balik cermin masa lalu. Tapi, kau pun harus tahu. Sebuah sekat yang tebal itu sudah kubangun secara paksa di antara kita. Setiap detiknya, aku berusaha keras agar sekat itu tak retak sedikit pun, Alia ....
~ 0 ~
Retak
"Aku mendengarnya, suara retakan di dalam hatiku ...."
Keluar dari kamar mandi, aku menemukan Rany sudah berdiri mematung di depan lemari es. Wajahnya beku. Benar-benar kaku. Seperti sedang mati. Pucat pasi. Di atas lemari pendingin itu, ponselku menyala.
Tunggu. Apakah Rany membukanya? Ah tak mungkin. Sekarang ponsel itu sudah kuberi pasword agar privasi dan rahasia terjaga.
“Bunda kenapa?”
“Hah? Oh, e ... Tidak ada apa-apa.”
“Kok sepertinya ada yang sedang dipikirkan.”
“Ah, tidak kok.”
Setelah berkata demikian, istriku berlalu menghindar. Dia memasuki dapur. Aku merasa sedikit aneh dengan tingkahnya hari ini. Namun, pikiran itu segera kutepis.
Selesai mengganti pakaian kerja, sarapan dan mengenakan sepatu, aku berpamit pada Rany. Kulirik matanya. Masih tersimpan sebuah keanehan di sana. Dia sedang canggung sekali.
“Bunda jangan banyak pikiran, nanti sakit, loh,” kataku merayu, sambil mengecup keningnya. Dia tak menjawab. Hanya menyungging senyum yang dipaksa. “Ayah berangkat kerja dulu, ya,” lanjutku, kemudian berjalan meninggalkan teras rumah, menghampiri mobil, lalu menghilang di bawah sinar mentari.
***
Sabtu pagi ini Alia berkata ingin diantar ke klinik untuk chekup. Aku berpamit pada Rany hari libur terpaksa harus lembur karena pekerjaan yang menumpuk. Malam Jum’at dua minggu lalu, ia mengatakan tentang kondisinya yang tak mungkin bisa melahirkan anak. Saat itu pikiranku kalut. Iba. Kekasihku menganggap ini adalah hukuman atas dosanya pada Rany.
Entahlah.
Pukul sembilan tepat, aku sudah menunggu Alia di bawah pohon akasia, tempat biasa kami bertemu jika hendak keluar bersama. Namun, ketika kutanyakan tempat mana yang akan ia tuju, perempuan itu malah tersenyum.
“Aku bohong.”
“Bohong? Maksudmu ....”
“Iya, Phoe. Aku bohong tentang klinik itu. Aku hanya ingin bertemu denganmu.”
Senyuman Alia terus mengembang dari bibirnya. Mirip seperti bulan yang tengah menyabit. Bulan kesayangannya.
“Ayo kita lari lagi, Phoe. Culik aku!” Matanya membeliak. Berbinar-binar seperti seekor kucing yang meminta makan pada majikannya.
“Kamu gila apa?!”
Aku memekik. Wajah Alia kini ditekuk kecewa.
“Aku harus bilang apa sama Rany. Lagipula, ini tanpa persiapan, bukan?”
“Jadii ...,” Alia sumringah kembali, “jika ada persiapan, kamu mau? Please ... Please ...,” rengeknya.
“Phie, aku kan sudah pernah bilang, kita tak bisa kembali lebih dekat lagi seperti dua tahun lalu. Aku tak mau.”
“Phoee ....”
“Phiee, please, ngertiin posisiku juga dong.”
Bibir Alia mengkerut. Ia membuang mukanya. Perasaanku jadi serba salah. Akhirnya, dengan terpaksa aku pun menganggukkan kepala. Tak mampu lagi menolak permintaannya. Wajah Alia berubah. Ia tertawa kecil. Bersiul pelan. Siulan itu aku tahu benar. Itu soundtrack film kami, One Day.
Kemudian dalam gumamnya ia mendesah, “Aku hanya ingin lupa, pada kenyataan yang harus kuterima, Phoe.”
Aku mafhum. Kenyataan itu memang berat baginya. Kemudian, kudengar suara retakan panjang di dalam hati. Sekat yang kubangun dengan susah payah itu pun perlahan mulai terbuka, lalu bersepai menjadi puing-puing yang dilesapkan oleh kerlingan goda perempuan di hadapanku ini.
***
Ketika aku membuka mata di hari Minggu pagi ini, tak kutemukan sosok Rany di rumah. Dapur, kamar anak-anak, ruang tamu, kamar mandi bahkan teras sekali pun, tak ada yang menyimpan bayangannya. Aku langsung kalut, ketika mendapati hanya ada anak-anak yang sedang asyik bermain robot dan boneka kesayangan mereka di halaman.
“Raka, di mana Bunda?” tanyaku pada putra pertama.
“Bunda jalan-jalan.”
“Jalan-jalan?”
Aku langsung menengok garasi. Sepeda motorku sudah tak ada di tempatnya. Apakah Rany pergi jauh? Dia tak pamit? Tak pernah dia seperti ini.
Tanpa berpikir lebih panjang lagi, aku berjalan menghampiri ponsel. Kutekan nomor telepon Rany. Lama aku menunggu, namun bunyi dering itu tak diangkat juga olehnya.
Perasaanku semakin kalut. Rasanya seperti sedang diaduk-aduk. Ini sudah pukul sepuluh. Ke manakah perginya istriku itu? Memang semua pekerjaan rumah sudah diselesaikannya. Namun, ketika aku membuka mata lalu tubuh mungilnya itu tiba-tiba menghilang seperti ini, ada sebuah rasa kehilangan. Besar sekali.
Menit-menit kulalui hanya dengan mondar-mandir mengelilingi rumah. Cemas. Baru ketika kudengar suara sepeda motor mendarat di halaman rumah, lalu bayangan itu menapakkan kakinya ke lantai, aku langsung menghambur ke arahnya.
Wajah masai itu menatapku. Jilbabnya kotor. Sebuah noda kopi melekat di sana. Aku terheran-heran dengan keadaan Rany sepulang kepergiannya. Kurasakan, ada sesuatu di sudut mata Rany yang sepertinya tengah dia sembunyikan dari suaminya ini. Apakah itu? Aku bertanya-tanya sendiri. Ini adalah kebiasaan istriku, jika dia menyimpan suatu perasaan yang membuatnya kalut, pasti akan mengeluarkan jurus bisu. Diam, tanpa sepatah kata sampai dia sendiri mampu menghadapi rasanya sendiri.
“Bunda dari mana?” Kulirik jam dinding, hari sudah siang. Pukul setengah dua belas.
“Tidak ke mana-mana. Hanya ingin membuat perasaan jadi santai saja kok, Yah. Bunda jalan-jalan sebentar tadi,” sahutnya melemah. Tanpa memandangku kembali, Rany memasuki rumah. Langkahnya gontai. Melihat itu, perasaanku semakin dicabik-cabik rasa penasaran.
“Bunda kenapa, sih, kok lemes gitu?”
“Tidak ada apa-apa. Bunda capek, mau tidur dulu.” Rany memasuki kamar. Melepas jilbab, lalu langsung rebah di atas pembaringan. Aku berusaha mengalah dengan rasa keingintahuan. Membiarkan istri tercintaku itu tertidur, sambil menenggelamkan perasaan yang sedang dia pikirkan.
***
Sore menetas. Kulihat Sang Senja perlahan menanggalkan warna kesumbanya, kemudian lari bersembunyi di balik kegelapan. Setengah hari ini, aku hanya menikmati wajah istriku yang masih ditekuk dalam kebisuannya. Tak ada satu kata pun tentang apa yang sedang dia lumat di alam pikirannya. Beberapa menit lalu, kulihat cahaya matanya berkaca-kaca. Namun segera dia musnahkan dan menggantinya dengan embusan lenguh yang berat.
Aku bosan.
Ini hari libur. Seharusnya kami berdua sedang asyik bercengkrama mesra seperti biasanya. Namun, bahkan aura rumah membuatku malas untuk berada di sini. Anak-anak juga sangat ribut. Entah mengapa, seolah mereka bertiga sedang mendukung suasana hati bundanya. Suram.
“Kau ada waktu malam ini, Phie?”
Kukirim sebuah pesan singkat di e-mail Alia. Jiwaku butuh ditenangkan.
“Kenapa?”
“Nonton, yuk.”
“Tapi hari ini Sony pulang.”
Aku melenguh berat.
“Ya, sudahlah.”
Hening. Tak ada balasan lagi dari Alia. Saat ketika kedua kakiku hendak melangkah meninggalkan pelataran rumah, bunyi pesan masuk itu terdengar renyah. Wajahku berubah segar. Alia menjawab ajakanku.
“Baiklah, kita ketemuan di tempat biasa, ya.”
Dengan langkah ringan dan sebuah siulan di bibir, aku beranjak menuju kamar mandi. Setelah semua persiapan selesai, aku berpamit pada Rany.
“Bunda, Ayah pergi ke rumah Dito, ya. Ada urusan sebentar.”
Dia menatapku ragu. Berkesip sekali-dua kali, lalu menganggukkan kepala dengan berat. Sudahlah, batinku. Aku pun terkadang lelah menghadapi sikap diamnya yang menjemuhkan itu. Setidaknya, ada Alia yang bisa membuatku kembali tersenyum.
***
Malam ini kekasihku terlihat lebih cantik dari hari biasanya. Bukan lagi kaos oblong hitam dan jeans kumal. Dia mengenakan terusan bermotif bunga bakung putih sepanjang lutut yang dipadu dengan sebuah rompi biru muda. Rambut ikalnya digerai. Wangi. Sampo yang ia pakai beraroma citrus yang dipadu dengan sentuhan mint.
“Kau bilang apa sama Sony tadi?” tanyaku memecah debaran dada. Sejak pertama kujumpai Alia, degup jantung ini tak mau berhenti. Ia sangat cantik.
“Sony ingin mengajakku ke rumah orang tuanya, tapi kubilang aku sedang gak enak badan, mau tidur saja. Jadi dia berangkat sendiri tadi.”
Kulirik wajah Alia. Rona pipinya memerah. Entah karena kedinginan atau karena ia pun tengah merasakan bahwa ini adalah sebuah kencan.
“Lah, kalau dia pulang lalu tak menjumpai dirimu di rumah, bagaimana?”
“Tenang saja. Dia bilang menginap kok. Kalau sudah di rumah sana, tak pernah hanya sebentar saja. Maklum, Anak Mama.” Alia tertawa kecil. Kusungging senyum. Tak kusangkah, perempuanku sangat lihai mengelabui suaminya sendiri.
“Kita batalkan nontonnya, ya?”
“Loh?” Alia sedikit terkejut. Alisnya dirapatkan. Kubalas ia dengan sebuah senyuman. “Lah, aku terlanjur dandan cantik, kok dibatalin, sih?”
“Tidak, Phie. Bukannya dibatalin. Kita jalan-jalan ke Malang saja, yuk? Menikmati udara malam di sana. Bagaimana?”
Senyum Alia kemudian mengembang. Matanya berbinar-binar. Jiwa pemberontaknya lebih menyukai berada di tempat-tempat yang memiliki pesona alam dari pada melakukan hal-hal yang monoton seperti nonton bioskop.
Malam durjana. Kegelapan semakin pekat ketika mobil hitam yang kukendarai menebas jalanan tol menuju arah Malang. Menit-menit yang kami lalui dihabiskan oleh canda tawa. Cerita yang keluar dari bibir tipis Alia tak pernah membuatku bosan. Jiwa-jiwaku terpuaskan sudah, sejak pertama kali melihat wajah ayu yang menggairahkan itu. Dahagaku basah. Ah, jika saja istriku bisa menyajikan tawa seceria Alia. Mungkin, aku takkan selalu merindukan sebuah jiwa yang tengah duduk di sampingku ini.
“Apakah, tawaran untuk menculikmu itu masih berlaku?”
Pertanyaanku sepertinya membuat Alia tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia terperangah.
“Kapan kau bisa kuculik?” tanyaku sekali lagi. Kali ini sebuah senyum hangat kubuang di hadapannya.
Alia berkaca-kaca.
“Nanti jika kita berdua melarikan diri lagi, kenakanlah baju ini. K-kau ..., tampak cantik memakainya.”
~ 0 ~
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar