Sabtu, 06 Desember 2014

PEREMPUAN PERINDU BENIH part 3 (sebuah mininovel)





After the Affair



"Aku takkan kalah, Sayang. Takkan pernah!"



Dua tahun telah berlalu, namun perjalanan itu tak mudah kami, aku dan Rany, lalui. Perjuanganku untuk meraih kembali kepercayaan dan cinta Rany masih berjalan, bahkan hingga kini. Tak mengapa. Bagiku, trauma yang sudah kugores di hatinya jauh lebih membutuhkan kesabaran yang besar ketimbang kesabaran yang kubutuhkan.

Istri yang dua tahun lebih tua dariku itu pernah berkata di suatu malam, “Biarkan aku mengobati lukaku sendiri. Ayah takkan mampu membantunya. Tapi jangan khawatirkan perasaanku. Kau pasti sudah tahu, bukan, bahwa aku ini wanita yang berhati kuat? Jadi aku pasti akan belajar sesuatu dari peristiwa ini.”

Saat dia berkata demikian, aku yakin jika suatu saat Rany pasti memaafkan aku. Sama seperti yang telah lalu-lalu. Hanya saja, kali ini dia membutuhkan waktu yang lebih lama.

Suatu hari, Rany pernah hampir menjadi gila karena traumanya. Tiba-tiba saja dia menjerit. Menangis meraung-raung. Tak seperti biasanya yang hanya terisak dan menahannya agar tak membuncah sekeras itu. Aku ingat, malam itu jam dinding merah yang menempel di dinding kamar tidurku sedang menunjukkan angka satu. Kudatangi Rany, yang kala itu tengah terduduk di kursi dapur, tanpa satu pun penerangan. Dia menatapku, menggelengkan kepalanya. Seolah berkata, ‘Jangan mendekat, aku hanya ingin sendiri.’ Maka dengan hati yang tersayat, kutinggalkan wanitaku terkapar dalam luka, sendirian.

Di dalam kamar tidur, aku hanya berani mendengarkan saja. Tangisan, teriakan yang tertahan, juga suara benda yang membentur dinding. Aku yakin,\ itu suara kepalan Rany yang diadu dengan tembok.

Air mata ini pun mengalir. Menemani kesedihan Rany.

Setengah jam berlalu. Mendadak semua menjadi hening kala itu. Tak kudengar lagi isakan Rany. Sudah puaskah dia menangis? Hatiku bertanya-tanya. Penasaran. Lalu langkah melindap itu kudengar. Tak lama, suara kran air kamar mandi yang menyala menghampiri cupingku. Diiringi oleh bunyi air yang jatuh mendarat di ubin dengan keras.

“Byur!”

“Byur!!”

Rany tengah membenamkan dirinya di sana. Membasahi tubuhnya, bertubi-tubi dengan air yang dia gayung dari bak mandi.

Ah, istriku. Kau begitu ingin melunturkan kenangan pahit di otakmu itu, bukan? Seandainya aku bisa membantumu ..., sedikit saja. Aku ingin bisa. Gumamku malam itu.

Keesokan harinya, wajah sembap Rany karena banyak menangis semalam, tampak lebih segar dari biasanya. Seolah semua kebencian dan amarah itu terbuang. Hanyut dibawa lari oleh air, masuk ke dalam selokan.

“Ayah,” katanya pagi itu, “hari ini mau dimasakkin apa? Tempe penyet?” Senyumnya merekah. Haru. Mataku mengembun. Segera kupeluk wanita itu, menciumi kening dan pipinya. Hari itu aku sadar, hati istriku seluas hamparan langit. Dan dia benar-benar pemaaf. Seorang wanita yang berjiwa sekuat karang.

Iya, Rany adalah batu karang yang selalu mampu bertahan di deburan ombak laut yang selalu memimpikan bersanding dengan matahari. Laut itu adalah aku, dan matahari yang ceria dan berpendar indah itu adalah Alia.

***

Walau aku hidup dalam penyesalan dan merasa gagal menjadi seorang lelaki sejati, namun hatiku masih menyimpan rapat kerinduan tentang Alia. Egois? Iya ..., memang seperti itulah kami para lelaki. Dua tahun kulewati dengan kebohongan semacam itu. Aku selalu berusaha agar Rany tak mengetahui perasaan ini. Namun terkadang, aku merasa dia pasti tahu jika suaminya masih menyimpan sosok kekasihnya, bahkan di setiap napas yang diembuskan.

Dari sikap Rany, aku tahu dia belajar tabah dan ikhlas dengan kenyataan yang sedang dihadapinya. Aku yakin, dia pun ingin memahami perasaanku. Itulah yang membuat aku semakin mencintainya.

Tentang Alia, aku hanya mengawasi kehidupannya melalui status yang ia umbar di Facebook. Jika rasa rindu akan senyumnya yang indah itu datang mengusik, aku buka kembali akun Facebook yang sudah lama tak aktif. Menatapnya di sana. Melihatnya tersenyum melewati hari-hari yang berat. Ia pasti baik-baik saja. Aku yakin, suaminya pun mulai memaafkannya. Sepertinya begitu. Atau mungkin suaminya masih tak tahu hubungan kami? Entahlah.

Alia pernah menulis, “Terima kasih buat pelajaran atas kesalahan itu. Sekarang aku tahu, lelakiku jauh lebih baik ketimbang lelakinya yang murahan dan pembohong. Dan dia, wanita bodoh yang masih mau menerima lelaki macam itu!”

Aku terenyuh. Benarkah memaafkan kesalahanku adalah suatu kebodohan? Bukan! Bagiku, Rany justru wanita yang hebat. Kebodohan itu milikku, yang telah menyia-nyiakan wanita seperti dirinya.

Ah, sudahlah. Di sini memang aku yang bersalah. Karena telah melukai perasaan dua wanita yang kucintai. Asalkan, selama Alia baik-baik saja di sana, aku bisa bernapas lega. Dia benar-benar menepati janjinya.

Bahagia, walaupun kami sudah tak bersama lagi ....

***

“Bisakah seorang lelaki itu berkata jujur, Yah?”

Tiba-tiba Rany mengucapkan pertanyaan yang membuat kami berdua merasa canggung. Iya, bisakah lelaki sepertiku ini berkata jujur?

“Tergantung, Bunda. Kadang ada yang tak bisa kami ungkapkan. Bukan karena kami ingin mendustai wanita yang kami cintai. Namun lebih ingin menjaga perasaannya.”

“Termasuk ketika kalian sedang jatuh hati pada perempuan lain?” Pertanyaan keduanya menusuk. Hampir sama sakitnya seperti ketika tatapan itu seakan-akan ingin merobek mataku.

“Iya,” jawabku pasrah.

Detik-detik bunyi jarum jam menguasai senyap di sekeliling kami berdua. Malam ini, Rany tengah duduk di sofa biru. Beberapa menit lalu, dia tengah asyik membaca sebuah buku. Sebuah tulisan putih besar terpampang di sampulnya, ‘After The Affair’. Dia pernah berkata, buku itu sudah banyak mempengaruhi pemikirannya. Itulah salah satu penyebab mengapa Rany bisa menjadi sekuat karang dalam menghadapi traumanya.

Ironis. Bagaimana bisa sebuah buku mampu merubah pikiran orang lain? Aku benar-benar tak habis pikir.

“Lalu, jika kalian para lelaki benar-benar mencintai perempuan lain dan menyembunyikannya dari kami, apakah itu sudah pasti bisa dikatakan, kalian ingin bersamanya dan tak ingin kami, para istri ini mengetahuinya?”

Hatiku semakin patah. Retakannya membesar. Aku enggan menjawab. Seolah pertanyaan itu sedang menghakimi kelakuanku.

“Ayah, Bunda sedang tak ingin menghakimi. Bunda hanya ingin tahu dari sisi pemikiran lelaki, itu saja.” Rany terkekeh. Benar katanya, tak ada rasa marah sedikit pun di pancaran bola matan cokelat tua itu.

Mulutku bergumam pelan. Rany membalasnya dengan kerlingan nakal.

“Ayah, Bunda takkan mau kalah dengan masa lalu.” Nadanya mantap. Seolah dia ingin menunjukkan padaku bahwa dia telah benar-benar melupakan kebenciannya. Kulempar senyum padanya. Setidaknya, aku senang Rany telah berhasil mengalahkan traumanya sendiri.

“Jadii ..., apa Ayah sekarang mau membuka hati Ayah tentang cinta dua tahun lalu?”
Rasanya, kepalaku dijedot dengan halus oleh kata-kata yang baru saja dia ucapkan. Tak kusangka, wanitaku yang ini sudah semakin pandai memainkan perasaan suaminya. Aku garuk-garuk kepala. Belajar dari mana dia? Batinku.




~ 0 ~





Sua




"Selamat tinggal, kawah yang kesepian ...."



“Iya, Ayah lagi jalan-jalan di Royal Plaza. Mau beliin baju buat anak-anak. Bunda mau nitip apa? Terangbulan keju? Oke, Sayang, love you.”

Setelah menutup percakapan dengan Rany, aku pun bergegas menaiki tangga eskalator menuju salah satu stan pakaian anak-anak. Pelan-pelan, mata ini memilah satu-persatu baju yang dijual. Sedikit bergumam, sedikit menggeleng, sedikkit lagi bimbang memilih. Seharusnya, ini pekerjaan wanita. Tetapi entah mengapa, hari ini setelah pulang kerja, hatiku seolah membujuk tubuh ini untuk datang kemari.

Waktu terus berjalan lambat seiring kegalauanku memilih warna baju. Lalu tiba-tiba, jala mataku menangkap sosok perempuan berambut ikal dengan tubuh sintal yang selalu kurindukan. Iya ... Ia Alia. Perempuan itu berdiri di ujung kanan, sedang menggendong seorang gadis kecil berusia tiga tahun, Zie. Aku mengenal gadis cilik itu. Zie adalah anak tetangganya yang suka sekali ia ajak ke mana-mana. Alia sangat menyayangi Zie, seperti anaknya sendiri. Beberapa kali ketika kami bertemu, dulu, Alia pernah sekali-dua kali mengajaknya.

Aku langsung bergeming. Tubuh ini tiba-tiba kaku. Mataku menyapu sekeliling Alia, mencoba menemukan sosok suaminya, Sony. Namun tak kujumpai lelaki jangkung itu. Sepertinya, Alia tengah berdua saja dengan Zie. Haruskah aku menghampirinya lalu berkata, “Hai, apa kabar?” Atau cukup diam di sini saja sambil terus memuaskan kerinduanku dengan menatapnya tanpa berkesip sedikit pun? Atau ..., aku segera pergi menghindar agar dia tak melihatku juga?

Akh! Otak rasanya mau meledak. Jika sudah meledak, pasti akan berhamburan ke lantai dan ada tulisan kata ‘malu’ tercecer di mana-mana.

Di saat kegundahan itulah tiba-tiba Alia membalikkan badannya. Mata kami bertemu. Dan tanpa sadar, aku memalingkan muka, mencuri langkah menghindar. Pergi dari hadapannya.

Benar kata Alia. Aku lelaki pengecut, yang bisanya hanya lari ....

Setelah sampai rumah, debar jantungku masih belum bisa terhentikan. Ada rasa sesal mengusik diam-diam. Sedikit sih. Tapi, ya sudahlah.

“Loh, mana bajunya anak-anak? Katanya tadi beli,” Rany menghambur di hadapanku, menyambut dengan wajah yang sedikit heran. “Nah, terangbulannya juga ..., kok gak ada sih, Yah?”

Aduh. Saking terburunya, aku lupa membelikan makanan kesukaan Rany. Baju-baju itu juga, sudah tak sempat lagi terbeli. Bodoh.

“A-anu, tadi kelupaan kalau kartu debit Ayah tertinggal di dompet satunya,” kilahku sambil segera menghindari Rany dan masuk ke dalam kamar tidur. Tak ingin aku mendengar lagi pertanyaan lain dari bibir Rany yang sangat lihai mempertanyakan sisi lemah kebohonganku. Dia seperti detektif! Selalu tahu mana saat aku berkilah atau berkata jujur.

Setelah berganti pakaian, aku menghampiri Rany kembali. Mengecup keningnya dan mencoba basa-basi.

“Masak apa?”

“Sayur asam.”

“Wah, enak. Bunda sudah makan malam.”

Rany menggeleng.

“Memang mau nungguin Ayah. Pingin makan malam bareng.”

“Makan yuk.”

Rany mengangguk. Kuikuti langkahnya menuju arah dapur. Obrolan kami terasa hambar. Hatiku tak bisa dibohongi, masih tetap saja memikirkan sosok Alia.

Debaran, kerinduan, lalu ... cinta itu hadir kembali.

***

“Ayah tidak tidur?” Rany menghampiriku yang tengah duduk di teras depan. Blackberry kesayangan tergenggam di tangan. Rindu masih menelisik hati setelah perjumpaan di Royal Plaza tadi. Aku ingin menjumpai kekasihku kembali. Setidaknya, melihat senyum tercantiknya di akun itu.

“Belum ngantuk. Sebentar lagi,” sahutku, sambil berusaha menyembunyikan ponsel.

“Ya sudah, Bunda kelonin Jenna dulu, ya?”

Aku mengangguk.

Setelah Rany menghilang dari balik pintu depan, aku kembali membuka ponsel. Wajah manisnya menggiurkan. Alia selalu tampak ceria. Itulah yang membuatku betah untuk selalu berada di sisinya. Ia perempuan yang energik. Binar wajahnya menggiurkan. Tak seperti Rany yang dewasa dan lembut. Alia lebih berapi-api. Lebih menggairahkan.

“Kau masih saja pengecut seperti dua tahun lalu, Phoe. Apa kau lupa dengan satu kata yang seharusnya kau ucapkan padaku?”

Dadaku sakit. Aku tahu maksud status Alia itu. Tahu sekali.

***

Penampakan Cafe Orenz Blue masih seremang dulu. Sejak perpisahanku dengan Alia, sudah sangat jarang cafe ini kudatangi. Ini satu-satunya tempat yang penuh kenangan akan dirinya di kota ini. Hatiku ciut setiap kali melewati cafe kecil ini. Aku tak ingin kenangan menyeruak, membuatku terkatung-katung oleh sosoknya.

Namun, malam ini tidak. Aku datang kembali. Dengan membawa segenggam harap, semoga aku bisa menemukannya di sini. Aliaku tercinta. Seperti katanya, ada sebuah kata yang seharusnya kuucapkan padanya.

Kata ‘maaf’.

I Gave you the space so you could breathe
I kept my distance so you would be free
And hope that you find the missing piece
To bring you back to me

Why don't you remember?
Don't you remember?
The reason you loved me before
Baby, please remember me once more

When will I see you again?

....


Bait-bait lagu ‘Don’t You Remember’ yang dilantunkan Adele menyambut. Mataku pelan-pelan menelusuri seisi cafe. Di sudut, tepat di samping pohon pinang, aku melihatnya, perempuanku. Dengan langkah mantap namun lutut yang bergetar karena gugup, aku menghampirinya.

Alia menatap tajam. Dingin. Kuletakkan tubuh, duduk di hadapannya.

“K-kau sendirian?” tanyaku dengan sedikit bergetar.

“Aku selalu menunggumu di sini, beberapa hari ini.”

“Hari ini kau tak sia-sia, bukan?”

Dia memalingkan mukanya. Sebentar saja, lalu menanarkan kembali pandangannya ke arahku.

“Tumben kau berani menghadapiku?”

Kini, ganti aku yang terdiam mendengar Alia berucap seperti itu.

“Gimana kabar istrimu? Kok sekarang jauh lebih diam, tak menghina aku lagi?”

“Please, jangan bawa-bawa Rany, Lia.”

“Cih! Aku yang tersakiti sama omongannya.”

“Kau juga menyakitinya, karena kita!”

Ia bungkam.

“Maaf.”

Kulihat wajah Alia sudah tak menegang lagi. Dia menghela napas. Seorang gadis pramusaji menghampiri meja, meletakkan segelas besar hot chocolate milkshake pesananku. Setelah gadis itu berlalu, Alia berujar kembali.

“Padahal hanya berkata maaf saja, tapi kau membuatnya seakan-akan itu susah. Ini sudah berapa tahun, baru kau berani?”

“Kau tak tahu apa yang kurasakan selama ini.”

“Kau yang tak tahu apa yang telah kulewati selama kau menghilang dan menelantarkanku begitu saja! Lalu celoteh istrimu itu juga. Seakan-akan, aku ini benar-benar murahan!”

Mata Alia berkaca-kaca. Aku tak mampu lagi memandangnya. Iya, aku terlalu takut untuk ikut tenggelam dalam kesedihannya itu. Walaupun, sudah muncul sedikit di hatiku.

“Aku tahu, aku ini pendosa. Tapi, bukan hak dia menghakimiku dengan mengatakan seperti itu.”

Detik ini, mata itu benar-benar mengalirkan permata beningnya.

“Dia jauh lebih terluka, Lia. Rany bahkan memakan lukanya sedikit demi sedikit. Hingga dia sendiri dikenyangkannya, baru bisa tertawa lepas. Kau jangan terus-terusan mencela Rany. Kita yang berdosa padanya.”

“Kau sangat mencintainya, bukan? Bahkan lebih.”

“Tentu saja. Karena hanya dialah yang masih mau menerima kebusukanku. Entah jika istriku bukan Rany, pasti aku sudah menduda sekarang.”

Perempuan yang kurindu itu menyungging senyum sinis.

“Cih! Sudahlah. Walaupun aku mengeluh tentang dia, kau pasti akan membelanya juga. Hentikan saja percakapan mengenai dia.”

Ya kau benar, Lia. Aku akan selalu bangga dengan istriku. Tapi ..., hati kecilku pun sebenarnya iba melihat dirimu. Jika bukan karena diriku, kalian takkan mengalami luka seberat ini. Akulah yang lebih pantas disalahkan atas semua kejadian lalu. Akulah laki-laki itu!

“Apa kau bahagia?”

Ah, pertanyaan terkonyol yang pernah aku ujar.

“Tentu saja aku bahagia, Ndu. Kau bisa bahagia dengan Rany, mengapa aku tidak bisa bahagia dengan Sony? Dia lelaki baik, pemaaf dan sangat mencintaiku. Tentu saja, aku BA-HA-GI-A!” Alia menjawab pertanyaanku dengan ketus.

“Bukan, maksudku ..., bagaimana hati kecilmu, Lia? Tak adakah sebuah kawah besar di sana, yang masih merindukan sesuatu?”

“Apa?”

“Penyelesaian, mungkin.”

“Apa yang perlu diselesaikan?”

“Kita.”

Kekasihku kembali diam. Ia hanya menatap dalam-dalam. Keheningan merajai kami kini. Diiringi suara deru beberapa mobil yang melalui Cafe Orenz Blue.




~ 0 ~
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar