Lihatlah dirimu kini. Lusuh, penuh coreng di
sana-sini. Tubuhmu yang cantik sudah tak semulus dahulu. Bagian atasmu sudah
robek. Menyembul serabut-serabut rambut berwarna kuning kucel. Semakin
membuatmu tampak begitu menyedihkan.
Berapa usiamu sekarang? Sebelas tahun?
Ah, iya... Selama itulah kau setia menemani
sepasang kekasih yang sekarang telah beranak pinak itu. Mereka mengajakmu
menjelajah jalanan Surabaya yang gegap gempita. Menaiki daerah pegunungan di
Malang. Mengejar kekasih tercinta ke Lamongan. Pun juga bergembira ria
mengarungi jalanan Pantai Balekambang.
Kau adalah pahlawan mereka, Merah!
Lalu sekarang, di usia tuamu, bahkan suami istri
itu tak menghargai semua pengorbanan yang pernah hampir membuatmu gila
karenanya. Kotoranmu telah setebal tiga sentimeter. Berangkat ke tempat
perbaikan pun lima bulan belum tentu pernah terjadi.
Ah, kasihan...
Pernah suatu ketika, karena saking marahnya
hatimu, kau memutuskan untuk menghancurkan sebuah rencana. Ya, kau ingat benar
hari itu. Di mana pasangan yang saling kasih mengasihi itu saling menggenggam
marah. Saling diam dan membuncahkan semua ego yang mengapung deras di antara samudra
cinta mereka.
Sang suami pergi, mengancam tak pulang dan
membawa kedua putranya pergi berpulang ke rumah orang tua. Lalu sang istri yang
tak mau kalah, pun beranjak pergi meninggalkan rumah bersama si mungil cantik
yang masih berusia setahun saja belum genap. Dia mengajakmu, berjalan
menelusuri jalanan aspal yang tak pernah rata. Menaiki bukit kecil yang
melayang ke arah sebuah desa.
Lalu kau merasa lelah. Capai karena usia tua
yang tak terurus, pun juga dengan jalanan yang menanjak begitu tajam. Dalam
detik-detik menegangkan itu, kau memilih diam. Tak bergerak lagi. Mesin-mesinmu
mati. Dan kedua kaki bulatmu tak bisa digerakkan.
Dan wanita tigapuluh tahun itu, hampir pingsan
karena kebingungan. Kau macet, anak gadisnya menangis tak henti-henti.
Dirimu pikir dengan kegalauan di jalan kala itu,
sang istri akan kapok terhadapmu. Berharap dia melepasmu dalam keheningan, dan
mau menggantikan kepemilikanmu pada orang lain yang lebih bisa menghargai
dirimu.
Tetapi tidak. Kau gagal, Merah.
Bukannya lupa ataupun marah kepadamu, sang istri
malah berucap terima kasih. Dia berkata, jika bukan karena peristiwa pahit itu,
dia tak mungkin bisa mengerti. Bahwa lari dari sebuah pertengkaran bukanlah
penyelesaian. Malah akan semakin merunyamkan keadaan. Dan dia kapok, lari
bersamamu.
Dia hanya ingin kembali kepada rasa cinta. Pun
juga semakin memperbaiki keadaanmu.
Merah, entah kini kau bisa dibilang bahagia atau
tidak. Yang kutahu, kau kembali cantik dan bersinar. Kau tahu sudah tak mungkin
bisa lepas dari kedua manusia yang telah menorehkan banyak kenangan indah
bersama dirimu.
Jauh, di lubuk hati mereka, kau adalah kekasih
yang tak pernah tergantikan. Mungkin kelak, saat kau mati dan hancur lebur,
mereka masih ada bersamamu. Duduk di sampingmu, dan menangisi kepergianmu.
Merah... sungguh, kau adalah pahlawan yang
gagah...
Nda, 110414
Tidak ada komentar:
Posting Komentar