“Bisa tidak kita libur sebentar dari perasaan ini?” Roy menyibak rambutnya
yang gondrong ke arah belakang. Itu sangat membuatku muak. Dia hampir mirip
seperti penjajah cinta di jalanan lampu merah, yang selalu menggoda para lelaki
hidung belang.
“Libur bagaimana maksudmu?” tanyaku ketus.
“Aku bosan sama kamu. Setiap hari hanya ngomel tentang hobiku.”
“Apa, hobi? Kamu bilang tidur dan bermalas-malasan itu kau bilang hobi?”
suaraku mulai meninggi. Kesal dengan ucapan enteng Roy yang seakan tidak
perduli dengan perasaanku. Tentang hubungan kami juga. Bukankah kami akan
segera menikah? Lalu bagaimana pernikahan ini akan berjalan harmonis jika
bekerja saja dia tidak bisa.
Ah, bukan. Sebenarnya bukan tentang apakah Roy bisa kerja atau tidak. Sudah
sering Roy diterima di beberapa perusahaan, tetapi ujung-ujungnya selalu sama.
Kerja sebulan dua bulan, berhenti. Beralasan tidak cocok dengan si bos-lah.
Atau tidak sepaham dengan rekan kerjanya-lah. Ih, banyak sekali alasan yang dia
borong. Entah, terkadang aku heran. Dari mana dia kulak segitu banya alasan
buat stok. Apa di pasar loakan ya?
Sebal!
“Loh, jangan dikira aku tidur itu bukannya sedang tidak bekerja, Nes. Aku
sedang mencari inspirasi. Tahukan apa arti ins-pi-ra-si itu?”
Aku melotot. Roy cuek. Dia malah lebih asik dengan gedget daripada melihat
mataku yang mendelik bulat ke arahnya.
Memang benar, Roy ini adalah seorang penulis lepas. Sedikit banyak, dia
menghasilkan uang dari hasilnya menulis. Tetapi, apakah dengan begitu saja mampu
menghidupi rumah tangga kami kelak? Apa menulis itu bisa menjamin segala
keperluan kami? Hei, ini masalah masa depan. Bukan sebuah mainan. Kau tahu
benar itu ...
“Roy, aku butuh penghasilan yang setiap bulan pasti! Bukannya seperti ini.
lihalah dirimu. Kau bahkan tidak memperdulikan penampilanmu!”
“Ah, sudahlah Nes!” Roy memekik, “pokoknya, saat ini aku ingin libur!”
Aku tersentak dengan ucapan Roy yang sudah berteriak kasar itu. Hatiku
kesal. Egoku juga semakin meninggi. “Ya sudah! Tidak usah pake libur segala.
Kita putus!”
Setelah berkata demikian aku beranjak dari ruang tamu rumah Roy. Pergi
berlalu meninggalkan lelaki egois yang sedang bergeming dari tempat duduknya.
Dia, kekasih yang sudah dua tahun bersamaku, tidak memperdulikan keputusanku
lagi.
Ah, biarlah. Aku masih bisa mencari yang lebih baik dari dia. Lelaki yang
tak tahu diuntung. Diajak ke jalan yang lebih baik saja susah amat. Huh!
***
Kekasihku berlalu pergi. Hati ini sebenarnya ingin mengejar dan berkata
maaf kepada Nessa. Namun ego masih bertengger kuat dengan kuku-kukunya yang
tajam, mencengkeram hatiku. Buat apa aku terus bersama dirinya jika dia tidak
mau mengerti siapa sejatinya diriku. Tentang mimpiku. Juga tentang sesuatu yang
sudah menjadi bagian dari duniaku.
Nessa memang wanita yang baik. Bahkan sangat baik. Hanya saja, ada satu
titik yang entah bagaimana dunia di situ tidak bisa menerima keberadaanku.
Aku seorang penulis. Impianku besar. Dan aku ingin menjadi salah satu yang
bersinar di dunia ini melalui sebuah nama yang tercetak di buku-buku best
seller.
Roy Bratayuda. Kau bisa membayangkan bukan? Itu sangat indah ...
Jika dia benar mencintaiku dan akan hidup bersama hingga kematian menjemput
salah satu dari kami, seharunya dia mengerti benar akan perasaan ini bukan? Ah!
Menyebalkan sekali kau Nessa.
Satu menit ... dua menit ...
Akhirnya tanpa babibu lagi, kubanting gadget hitamku ke sofa biru. Dengan
lesat, kukejar wanita yang sudah begitu banyak mengisi suka duka di hati itu.
Nessa, please ...ayo kita saling memberi kesempatan pada diri masing-masing
untuk memperbaiki yang salah selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar