Laju kereta api Bima Express
melaju dengan tenang. Ah, baru kali ini aku merasa nyaman naik kereta api.
Bahkan goncangan tidak kurasakan sedikitpun. Tempat duduknya juga empuk.
Hawanya dingin. Selama perjalanan, yang terlihat hanya hamparan hijau sawah,
langit yang biru cerah dan wajah semringah gunung yang tinggi menjulang.
Benar-benar membuat perasaan tenang selama perjalanan menuju kota apel, Malang.
Kulihat suamiku tertidur
lelap. Demikian juga si kecil Fiqha yang asyik duduk di pangkuanku. Sebentar-sebentar
para pramusaji menawarkan segelas kopi atau teh hangat. Tetapi aku menolaknya.
Sstt ...harganya sangat mahal. Masih mending membuat secangkir kopi sachet
seribu rupiah di rumahku sendiri, sambil melototin laptop putih dan menulis
cerpen baru.
Itu baru yang namanya gairah
hidup!
Setelah hampir dua jam
perjalanan, akhirnya sampai juga di Stasiun Kota Baru Malang. Segera kami
berlalu meningalkan stasiun dan mencari kendaraan umum.
“Sudah jam berapa, Nda?”
tanyaku pada suami setelah hampir sepuluh menit duduk di bangku kendaraan umum
yang masih diam di tempat, menunggu penumpang lain. Lama, aku sudah tidak
sabar.
“Jam sembilan kurang
limabelas menit. Telat gak, Bund?”
“Telat ...,” jawabku sambil
mewek. Tanpa pikir panjang lagi, akhirnya kuajak suami untuk menyewa taksi
berplat hitam yang banyak nangkring di depan stasiun. Kami berdua turun dari
mikrolet biru itu, dan menghampiri seorang bapak berbadan tinggi yang sibuk
menawarkan taksinya ke pejalan kaki.
“Pak, ke jalan ini berapa
tarifnya?” tanyaku sambil menunjukan sebuah kertas bertuliskan alamat tempat
tujuan kami.
“Lima puluh ribu, Mbak.”
Mahal amat, batinku. Tapi, ya
sudahlah. Daripada aku terlambat dan tersesat di jalan yang masih asing bagiku
ini.
Maka bapak yang ramah dan sopan
dalam bertutur kata itupun akhirnya mengantarkan kami ke tempat tujuan, Jalan
Bendungan Sigura-gura. Sebenarnya alamat itu tidak terlalu jauh dari stasiun.
Hanya saja jalan yang kami lewati arahnya berputar-putar, jadi lebih terlihat
jauh. Dalam waktu sepuluh menit saja, tempat makan yang akan dipergunakan untuk
acara KOPDAR KBM Malang telah berada tepat di hadapan kami.
Satu persatu wajah-wajah yang
selama ini kulihat hanya melalui jejaring sosial itupun menyambut kami dengan
ramah. Ada Mbak Wiwied, Mas Agus, Mas Ramaditya, Mas Bemby, Mbak Nia, serta
masih ada beberapa lagi.
Sejenak mataku menyapu isi
restoran cepat saji itu. Wanita yang menjadi tujuan utamaku untuk datang
jauh-jauh dari Sidoarjo masih belum tampak juga batang hidungnya. Di manakah
dirinya? Terlambatkah?
Hatiku deg-degan. Cemas.
Takut jika wanita itu tidak datang. Bahkan sampai acara yang dinanti tiba, dia
belum juga terlihat. Akhirnya kuputuskan untuk segera memasuki ruangan.
Acara dimulai. Semua panitia
sudah menempatkan dirinya. Pembukaan acara tidak kuperhatikan. Aku masih gelisah
memikirkan wanita itu. Akhirnya kukirim sebuah pesan singkat kepadanya.
“Mbak, ada di mana? Aku sudah
masuk ke dalam ruangan. Mbak ikut Kopdar tidak? Kok gak kelihatan, ya?”
Teert! Sebuah balasan datang.
“Aku di sini, duduk di bangku paling depan.”
Deg! Jantungku makin berdetak
kencang. Di bangku depan? Tempat para panitia duduk dong. Tapi yang mana?
Kusapu masing-masing punggung
panitia. Itu Mas Agus, itu Mbak Wiwied dan Mbak Nia. “Apa yang moderator itu,
ya?” batinku, berusaha menebak-nebak kuisku sendiri. Bukan! Wajahnya tidak
setembem itu di foto Facebook.
Lalu yang mana? ....
Kemudian terlihatlah punggung
itu. Melebar dan besar. Wanita berjilbab yang tengah duduk di samping Mbak
Wiwied sambil terus sibuk membuka laptop hitamnya. Tunggu, bukankah badan
wanita yang kunanti tidak segemuk itu? Aku pun ragu. Sedetik kemudian, wanita
itu menoleh ke samping. Membuatku melihat batang hidungnya yang kecil dan mancung,
serta matanya yang sedikit menyipit. Aku langsung terharu. Mataku berkaca-kaca.
Hatiku ingin meloncat karena senang.
Itu dia! Itu dia!
Iya, itulah pertama kali
kulihat sosok nyatanya. Seorang wanita yang tangguh dalam menghadapi dilema
rumah tangganya, wanita yang menginspirasiku. Seorang mentor, sahabat tempatku
mencurahkan kepenatan, juga seorang pemicu adrenalinku dengan teriakan, “Hei,
ayo semangat! Jika dia bisa mengapa kamu tidak? Belajarlah dari dirinya ....”
Maka itulah dia, seorang Rina
Rinz, yang hingga kini masih setia mengajakku belajar menulis bersama, dan
memompa semangatku agar tidak berhenti di tengah jalan hanya kerena sebuah
hambatan. Yang tidak sekali pun sombong atau pun pelit untuk berbagi ilmunya.
Barokalloh ya, Bunda Rina ... seneng rasanya bisa mengenalmu. Hehehe.
(peluk cium buat wanita
cantik berhidung mancung)
Nda, 150414
Tidak ada komentar:
Posting Komentar