keabadian adalah makna dari
kesejatian cintaku padamu…
Malam kasip. Bulan pucat
menggantung pada tembok kelam, membuat temaramnya jatuh menelungkup di wajahku
yang sedang menengada menatap gelap. Aku berhasil menangis. Setelah
berminggu-minggu tak ada lagi tumpahan nanah yang mampu meluapkan semua sayatan
luka di hati.
“Bulan, pernahkah kau
kecewa dengan perlakuan malam yang tak adil padamu? Lihatlah dia, begitu angkuh
merajai, membuatmu sendirian mematung di langit sana.”
Bergumam kututurkan hinaan
pada malam, pun pada nasib yang tak bisa ramah. Mulut kering yang
terpecah-pecah ini mengkomat-kamitkan kata. Membuat dahaga yang telah lama tak
terguyur nikmatnya kasih basah, semakin terserak dan nyeri.
“Jika benar sang takdir
memaksaku berdansa pada derita, memahat jalan penuh luka yang harus kulalui
pada buku Sang Raja Langit, aku ingin menantangnya, hai bulan gendut!”
Tangisku semakin menjadi.
Berkelebat kenangan pahit yang telah lama bersemayam pada jiwa kotor ini. Luka
itu kembali mengangah, hatiku berdarah. Panas, mendendam. Tetapi kepada siapa?
Kuketuk-ketuk kaki telanjangku pada besi
dingin yang memanjang. Rel kereta api tempatku berpijak itu bergetar perlahan.
Mendengung sebuah suara yang semakin mendekat. Dekat, dan semakin dekat. Lalu
sebuah cahaya, dengan lesat menyambar kegelapan malam.
Bulan menatap tanpa suara,
pekiknya tertahan. Dan kegelapan yang selalu menjadi teman bermainku pun
pingsan seketika, melihat tubuhku berhamburan dikoyak sang Malaikat Maut.
***
Si Emak Puspa meraung-raungkan tangisnya padaku.
Bercerita tentang anak gadisnya yang sudah lama mematung tanpa hati. Gadis
perawan paling cantik, kehilangan mahkotanya. Tersembunyi pada cela-cela
pepohonan tebu, tidur dalam telanjang, senja, tujuh September lalu.
Cinta di hatiku marah. Ingin membunuh binatang
serupa manusia itu. Lihatlah perlakuannya, menghasilkan Puspa bagai gundukan
batu yang hanya bisa diam dan bernafas. Tidak makan, pun tidak meneguk air.
Bibirnya kering pecah bak nyanyian hutan tandus yang merindu hujan.
Matanya mati. Otaknya membeku. Lalu hatinya entah
hilang, atau bersembunyi pada apa.
Ah, Puspaku sayang. Kutahu kau sedang menderita
sendiri dalam bisumu. Apa yang mampu aku lakukan pada dirimu, agar kau kembali
tersenyum pada dunia?
Lihatlah impian-impian kita yang telah tergerus
masih hidup dalam hatiku. Aku tak peduli, walaupun selaput gadismu terkoyak,
cinta ini tak berkurang sedikitpun.
Kumohon, kembalilah hai gadis perawanku Puspa.. Aku
rindu lenguh nafas kehidupanmu di sisiku.
***
Ini pertengahan Oktober.
Tarian hujan mulai menyapa
tanah-tanah yang hampir gila karena menanti. Debu jalan terhanyut banyu dari
langit, membuat yang terkotorkan menjadi bersih.
Aku ingin pula
terbersihkan olehnya, sang hujan itu, bisakah?
Sudah enam minggu hampir
berlalu, terasa hidup begitu membosankan. Aku lupa bagaimana rasanya bahagia,
bagaimana caranya tertawa, bahkan lupa cara berbicara pada manusia. Apa benar
mereka tulus menantiku menemukan hati yang dicolong senja biadab di ladang
tebu?
Aku meragu…
Aku sudah ingin mati.
Terlalu berat menopang kenangan yang menggoreskan carut marut pada tubuhku.
Sosok yang berhasil melucuti kebanggaanku masih jelas melekat di mata hitam
ini.
Mereka berlima. Semuanya,
menjambak, mencabik, dan menindih tubuhku. Memahat bejat pada kelangkang.
Menerkam jiwa kegadisan yang bertahun-tahun kujaga lelapnya, yang kelak kan kuberikan pada dia
kekasihku tercinta.
Apakah ini yang namanya
hidup?
Bahkan aku tengah takut
ketika aku membuka mata dan sosok-sosok itu tertawa penuh puas dalam
dinding-dinding kamarku!
Aku sudah hina!
Sudah tak pantas
bersamanya lagi.. Bahkan, aku telah mati di hari itu. Di mana senja menelan
semua keceriaanku, membawanya tenggelam ke dalam dasar bumi terdalam.
Jadi, buat apa aku takut
mati untuk yang kedua kalinya?
Menggelikan!
***
Aku terduduk lemas dalam keterkejutanku. Emak Puspa
menangis tak hilang kepalang. Dipukul-pukulnya dada busung yang menggendut
karena lemak itu. Berteriak menggema, memanggil-manggil nama Tuhan. Deritanya
membanjiri hati siapa yang mendengar.
Puspa kini bagai puing-puing batu yang pecah. Ah,
Puspaku. Pantaskah apa yang kau korbankan ini, Sayang?
Bahkan mereka yang telah menyakitimu itu masih
berkeliaran menikmati hidupnya yang berkubang dosa. Dari hasil memakan tubuh
para gadis-gadis yang nestapa. Apa kau tak ingin membenamkan mereka dalam
kepahitan hukum?
Ah, mengapa kau lebih memilih untuk mati…
Nda, 180314
Tidak ada komentar:
Posting Komentar