Aku ingat, malam itu hari Sabtu. Saat ketiga
anakku telah berkelana di alam mimpi mereka, aku dan suami tengah bermandikan
kemesraan di kamar sebelah. Lengan suami melingkar di leherku. Jari jemarinya
asyik memilin helai-helai rambut. Sementara aku bersandar di dadanya yang
bidang. Menghirup aroma tubuh lelaki yang selama ini sangat kucintai.
“Panda,” desisku memanja.
“Iya beibz, ada apa?” tanya suami lembut.
Sejenak aku memilih diam, masih enggan untuk
mengungkapkan pertanyaan. Suami menunggu. Sekali lagi dia bertanya. Hingga
akhirnya, kalimat yang sejak beberapa hari lalu tersekat di hatiku, tertumpah
juga di bibir.
“Seandainya Bunda dipercaya oleh teman-teman KBM
Surabaya untuk menjadi pembawa materi di hadapan peserta lain, bolehkah Bunda
terima? Bunda ingin ikut Kopdar bulan depan.”
“Tidak boleh.” Suamiku menjawab mantap. Deg!
Seketika hatiku sakit.
“Kenapa?” tanyaku.
“Ya, pokoknya tidak boleh.”
Kuangkat kepala. Dengan mata memelas, kutatap
binar wajah suami yang tersinari lampu putih kamar. “Panda ... Bunda ingin
serius di kegiatan kepenulisan ini. Bunda ingin maju, ingin berkembang. Dan di
Kopdar nanti adalah kesempatan Bunda. Mengapa tidak boleh?”
“Bunda,” sahut suami, “bukankah dulu kamu pernah
bilang, jika Bunda sudah mulai terlalu serius dalam menulis, maka Panda berhak
menegur. Ingat?”
Deg! Iya memang benar. Aku termakan omonganku
sendiri. Tetapi, bukan itu sebenarnya maksud perkataanku saat itu. Lihatlah,
walaupun aku menulis dan getol dengan laptop putih, bukan berarti melalaikan
tugasku.
Aku tahu bagaimana kodrat seorang wanita itu.
Sebagai istri dan seorang ibu. Menulis pun aku lakukan di sela-sela memasak,
mencuci, membersihkan rumah, menemani anak-anak menonton televisi, ataupun saat
mereka sedang belajar. Aku bahkan masih bisa memainkan jemariku di atas
keyboard sambil menggendong Afiqha yang tengah rewel ataupun sedang sakit.
Memang kesalahanku, selama ini jarang
mengungkapkan mengapa aku begitu suka menulis. Dan ketika aku sedang semangat
bercerita tentang kemenanganku mengikuti event menulis, suami malah tertidur.
Hikss ....
Jadi, bagaimana dia bisa tahu bahwa menulis sudah
menjadi bagian nafasku. Jika sebagian itu hilang, maka akupun bisa limbung. Padahal
dengan menulis aku bisa melupakan trauma batin yang pernah hinggap selama dua
tahun di otakku. Juga bisa mengalihkan berbagai pikiran negatif yang singgah
tiap waktu di hati. Itulah! Karena itulah menulis itu sangat membantu
menenangkan jiwaku.
Dalam beberapa hari aku, hampir menyerah. Apalagi
laptopku tidak bisa digunakan. Tiba-tiba, entah disengaja atau tidak, akun user-ku terkunci. Jika mau manggunakan
laptop harus menggunakan akun user sang
suami yang dikunci dengan pasword
pribadi.
Ah, aku bahkan sudah ingin menghapus impian
menerbitkan satu buku milikku sendiri. Tiap malam saat suami sudah terlelap,
aku sering menangis. Membenamkan segukku yang menggila di sela-sela bantal,
agar tidak terdengar olehnya.
“Mbak, jangan menyerah.” Pesan singkat dari Rina
Rinz kubaca berulang-ulang. “Memang kita sebagai istri, mengikuti perintah
suami adalah hal utama. Sama seperti diriku dulu. Tetapi, jangan menyerah untuk
berhenti menulis. Kemampuan Mbak Ajeng itu sudah sejajar dengan diriku. Eman.
Mbak punya bakat dan harus diberhentikan begitu saja. Cobalah berbicara
baik-baik dengan suami, insya’alloh pasti ada jalan terbaik.”
Bulir-bulir air mataku meleleh. Rina Rinz sangat
kejam, membelah kepalaku, dan mengisi otak dengan wejangan-wejangan yang indah.
Semua kata-katanya menusuk hatiku.
Iya, dia benar. Aku takkan menyerah!
Maka dengan kelembutan, aku akan takklukan hati
suamiku. Walaupun tidak ada laptop, aku masih bisa menggunakan ponsel Blackberry-ku. Atau akan kutulis di buku
kecil berwarna biru yang sudah lama nganggur di almari.
Aku berjuang. Berusaha menerima, mengerti dan
memahami. Dalam beberapa hari jiwaku terus menjawab pertanyaan “mengapa” dan
“bagaimana” yang bertubi-tubi menghujam hati. Melawan setitik ego yang telah
bangun malam itu. Aku ingin dimengerti. Juga ingin bisa mengerti dirinya.
Pagi sampai sore, saat suami bekerja, kugunakan
untuk menulis. Lalu ketika dia pulang, kuputuskan untuk berhenti. Demikian
terus kulakukan dalam tiga hari ini. Hingga malam kemarin, saat suami telah
merebahkan tubuhnya di peraduan kami dan bercerita tentang kenaikan jabatannya,
hatiku terketuk.
Kalian tahu apa?
Jiwaku menangis. Meronta-ronta karena sesal atas
kebodohanku sendiri. Iya, aku telah tersadar ... beberapa hari lalu, aku hampir
menjadi seorang istri yang durhaka. Tuhan, mengetuk pintu hatuku. Membuatnya
berseru-seru, mencabik sisi ego, yang bersarang lama di bilik batinku.
Hei!
Lihatlah perjuangannya selama lima tahun ini. Dia
ingin menaikkan roda kehidupan keluarga. Ingin memeperbaiki finansial yang
selama ini masih saja ada titik kekurangannya. Tengok dia yang bahkan tidak
memeperdulikan kesehatannya sendiri. Pulang kerja hingga malam, untuk menutupi
kekurangan keuangan. Dia berubah bukan? Dari lelaki yang pernah berbuat
kesalahan, menjadi lelaki yang semakin bertanggung jawab dengan keluarganya.
Raba kembali kelembutannya. Sentuh kembali ingatanmu tentang semua kebaikannya.
Lalu kamu? Lihat dirimu sendiri. Kau hanya
membuka matamu pada kesalahannya di masa lalu, dan menutup untuk melihat
pengorbanannya.
Ah, aku menghela nafas. Selama masih bisa menulis
mengapa aku harus berhenti? Mungkin larangan suami diberlakukan karena hari
libur adalah waktu dia menikmati waktunya bersamaku dan anak-anak. Tidak ingin
kehangatan keluarga ini terganggu hanya karena egoku yang ingin menuruti
kesenanganku sendiri. Iyakan? Maka turutilah permintaannya. Bukankah ridho
suami adalah ridho Tuhanmu?
Dear Panda,
aku telah berdosa besar kepadamu. Nanti jika kau pulang kerja, seluruh cintaku
akan mendarat di hatimu. Akan kubuncah semua pengabdianku yang kurang maksimal
selama ini. Maafkan Bunda ya, sayang. Karena Bunda berhasil menjadi istri yang
khilaf ... janji, ke depannya akan Bunda perbaiki semuanya. Ingin segalanya
berjalan sesuai kehendak kita. Yang terbaik, untuk kita bersama ....
Nda, 160414
Tidak ada komentar:
Posting Komentar