Aku tahu kau itu hebat Kunti. Dengan kecantikanmu
yang berpendar bak sinar rembulan yang keemasan itu, kau memikat semua hati
para pembesar Hastinapura.
Apa kau telah lupa, Kunti? Aku yang tertua di
sini. Maka akulah yang lebih pantas mendapatkan kejayaan, dielu-elukan dan
dipuja dari pada dirimu. Kau yang datang paling belakang, Kunti. Kau tak berhak
berdiri di atas kepalaku!
Lihatlah, aku yang kini hidup dalam kegelapan
karena sumpahku sendiri, tak mampu melebihi binar-binar keagunganmu. Aku tahu
matamu indah, pasti. Dengannya kau bisa menatap dan berkeling manis pada semua.
Semuanya, Kunti. Namun tidak dengan diriku.
Apa aku telah ceroboh, dengan membutakan
pandanganku sendiri? Hingga aku pun telah menutup sinar keindahanku...
Ah Kunti, aku hanya ingin berbakti kepada suamiku
yang buta itu. Jika yang dia lihat hanyalah kegelapan, maka akan kulihat pula
kegelapan itu, tanpa warna yang lainnya. Jika yang dia rasakan hanyalah
kehampaan, maka akan kuajak kehampaan itu sebagai bantal tidurku pula.
Tapi kini, kau datang dengan menyedapkan
langkahmu di istana yang seharusnya adalah milikku. Lalu kau bangga-banggakan
kelahiran putra pertamamu Yudhistira. Membuat Hastinapura berteriak kegirangan.
Berpendar bersama para bintang yang menerangi pekatnya malam.
Aku iri, Kunti. Pun juga menyimpan kemarahan yang
membuncah teramat terang.
Karena kaulah, suamiku menangis darah karena
tahtanya terancam keberadaan anakmu. Sedangkan aku belum mempunyai seorang pun.
Mana seratus anak yang dijanjikan Dewa Siwa akan
menjadi keturunanku? Mana ramalan Resi Byasa yang maha sakti itu? Mana! Bahkan
setitik benih pun belum berteduh di rahimku. Kosong...
Kunti, kau harus segera dilenyapkan dari istana
ini. Harus!
“Kak Sangkuni! Kak Sangkuni!”
“Iya adikku sayang, ada apa gerangan?”
“Aku ingin, kau lenyapkan sinar kesombongan Kunti
dari istana ini! Jika tidak, lebih baik kau menjadi kematianku saja!”
“Tanpa diminta pun, dengan senang hati akan
kulakukan...”
Nda, 110414
Tidak ada komentar:
Posting Komentar