Aku teringat tentang sebuah rasa. Yang teramat
manis dan renyah. Kau tahu wanginya seperti apa? Aroma strawberry, kesukaanmu.
Warnanya merona merah, seperti warnamu.
Kala kita masih sama-sama tak mengerti perasaan
apa itu. Apakah tentang sebuah persahabatan yang terjalin karena saling merasa
nyaman. Ataukah tentang rasa saling memiliki, memikirkan satu sama lain,
sedikit perhatian, merindukan tawa masing-masing, yang tidak seorangpun dari
kita sadar bahwa itulah sebuah cinta.
Sosokmu yang ramah pada semua. Berjiwa humoris
dan mampu menarik perhatian banyak gadis lain. Bagiku kau bukanlah sesuatu yang
pantas aku inginkan. Mengapa? Karena aku hanyalah sebuah edelweis kecil, dan
tak menarik bagimu. Sedangkan mereka itu mawar, cantik. Lihat saja warna-warna
mahkota yang mereka tawarkan kepadamu. Sedangkan mahkotaku?
Hanya kehampaan. Kering dan tanpa warna.
Kau yang menyukai keindahan, selama tiga tahun
kebersamaan kita, hanya menganggapku sebagai teman. Tempatmu bercuap keluh
kesah. Bercerita tentang nikmatnya masa-masa mudamu bersama para gadis itu. Dan
kau lihat, dengan begitu sabarnya aku hanya sebagai pendengar. Tersenyum sedikit,
tertawa sedikit, dan itu sudah mampu membuatmu bahagia.
Namun, jauh di lubuk hatimu, tak kusangkah jika
kau ternyata menyimpan rasa padaku. Iya, sedikit. Walaupun tak kau sadari itu.
Ah, atau mungkin sudah tetapi kau lebih suka untuk menyangkalnya? Entahlah..
Hingga datang malam itu. Di mana aku menangis
karena suatu hal dan kau tak menghiraukanku. Lalu datanglah sahabatmu Er, yang
memberikanku bahu untuk bersandar.
Kau tahu? Pemuda itu mendengarkanku. Memberiku
sedikit cerita konyol yang mampu membuatku tersenyum kembali. Hingga akhirnya
dia berkata, “Ran, aku selama ini selalu memperhatikanmu. Maukah kau menjadi
pacarku?”
Satu hal yang kuingat saat suara lembutnya
mendarat di sukmaku adalah kamu. Iya, kamu. Yang bahkan mengatakan sahabatku
tetapi tak memperhatikan aku kala aku terluka. Kau bahkan hanya sibuk bersama
gadismu, yang entah siapa lagi, aku tak tahu.
Al, mampukah kulepaskan tanganku darimu? Ada
pemuda lain yang hendak mengulurkan tangannya kepadaku penuh cinta. Terkadang,
akupun ingin menikmati masaku sendiri. Berbahagia. Dan merasakan apa yang
sering kau perdengarkan kepadaku.
Lepaskan aku, Al. Ijinkan burung kecil yang tak
cantik ini terbang mencari kebahagiaannya sendiri.
***
Kini kau memilih diam padaku.
Katakan, apa kesalahanku, Al? Apa aku telah
menyakiti hatimu? Kapan? Ataukah karena aku telah egois meninggalkanmu, dan
menyambut uluran kasih Er?
Al, pernahkah kau berpikir jika aku telah lama
menjadi boneka pendengarmu? Kau biarkan aku tak menunjukan siapa sejatinya
diriku, sedangkan kau begitu bersinar dengan duniamu.
Kau curang, Al. Egois. Bukankah kau telah memiliki
mereka yang memperhatikanmu? Apa yang kurang?
Jangan-jangan, kau ingin menangkap kembali burung
kecil ini dan mengurungnya dalam sangkar emasmu seperti dulu?
Al, belajarlah kau untuk dewasa, sejenak saja...
***
Tiga bulan telah berlalu, Al. Namun bisumu tetap
sunyi.
Ada luka di sini Al, di hati yang dulu selalu
menatap dirimu. Menangis sudah bukan lagi hal aneh bagiku. Bahkan setiap menit
saat kudengar suaramu yang merdu itu, jiwaku tercabik lalu tercabik lagi. Al,
kita tak bisa saling menjauh, tetapi pun tak mungkin bersama kembali. Apa yang
sebenarnya yang ada di hatimu? Cobalah, sedikit saja kau jujur padaku.
Katakan kau menginginkan aku di sampingmu. Atau
katakan kau sedang hampa tanpa senyumku, tanpa sedikit tawaku, katakan.. Akupun
sedang tak mengerti perasaan apa ini, Al. Begitu kau diam, duniaku menjadi
kelam. Aku sudah tak mengenali lagi, mana warna merah, mana warna biru lalu
mana yang ungu.
Bagiku semua sama. Putih, Al.
Ah, jiwa-jiwaku pada berlarian mencari sosokmu.
Sungguh, hanya kamu dan kamu. Al, aku merindukanmu...
Malam sudah menetas, hampir menjemput pukul duabelas. Laptop putih yang
sedari tadi menemaniku menulis sebuah kisah di tubuh mungilnya masih menyala
dengan ceria. Menungguku sampai selesai berceloteh, lalu tidur dalam mati.
“Bunda belum mengantuk?” tanya Panda, suamiku, yang tiba-tiba sudah
meletakan dagunya dibahuku. Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“Bunda kali ini lagi menulis tentang apa lagi?”
Ditanya begitu, aku sedikit tersipu. “Panda, ah..”
“Leh, ditanya kok malah senyum-senyum sendiri. Dasar Bunda yang aneh.”
“Ini loh kisah tentang dua hati yang memiliki rasa namun belum memahaminya.
Terinspirasi dari kenangan kita waktu jaman SMP dulu.”
Alis Panda mengkerut, “yang mana?”
“Itu, yang waktu Panda diam dan marah sama Bunda selama tiga bulan. Inget
gak?”
“Ah, masak Panda pernah begitu? Rugi dong mengabaikan gadis cantik seperti
Bunda.”
“Hem, lak gak ngaku..”
Panda tertawa terkekeh. Tiba-tiba sebuah kecupan kecil mendarat di pipi
kiriku.
“Lupyu..” desahnya sambil tersenyum..
Nda, 030414
Tidak ada komentar:
Posting Komentar