“Apaan tuh?” tanya adikku Sarah.
“Candi Prambanan,” jawabku.
“Kenapa harus ke sini sih? Membosankan tahu!”
“Hush ...” Papa menyelah Sarah, “gak boleh
ngomong begitu. Di sini kita bisa belajar banyak hal. Kamu tahu tidak, candi
ini adalah Candi Hindu terbesar di Indonesia dan sudah menjadi salah satu situs warisan dunia UNESCO. Kamu seharusnya harus bangga bisa dateng kemari, Sarah.”
Sarah melengos tajam.
“Masih enak nonton film, Pa. Lebih seru. Apaan coba, yang dilihat cuman batu. Ba – tu ... mana menariknya.”
“Masih enak nonton film, Pa. Lebih seru. Apaan coba, yang dilihat cuman batu. Ba – tu ... mana menariknya.”
Ih, aku jadi gemas dengan adikku yang baru naik
kelas enam sekolah dasar itu. Ingin kucubit saja pipinya yang tembem bak kue
apem. Sukanya nge-mall melulu. Disuruh belajar saja susahnya minta ampun. Dan
sifat manjanya, amit-amit, kebangetan!
“Sarah gak mau ikutan naik ke atas. Capek!”
“Yah, pake ngambek segala,” sindirku, “ingat umur
dong, Sar. Kamu kan sudah kelas enam.”
“Dasar tua, bawel!”
“Hih, kamu itu ya ....”
“Sudah, jangan bertengkar di sini. Malu tahu.”
Mama melerai kami yang hampir saling main tonjok.
Mama melerai kami yang hampir saling main tonjok.
“Sarah, ingat tidak sama dongeng tentang putri
cantik bernama Roro Jonggrang?” Mama mendekati Sarah yang sedang merajuk.
Pundak Sarah dipeluknya dengan lembut.
“Tahu. Kisah tentang terjadinya gunung perahu ...
apaan itu namanya? Sarah lupa.”
Aku tertawa dengan nada mengejek, “Itu dongeng
Takuban Perahu kalee ...”
Sarah marah, menarik bibirnya ke arahku. Dia mencibir.
Sarah marah, menarik bibirnya ke arahku. Dia mencibir.
“Sarah Cuma lupa saja, Key. Jangan terus
dipojokkan seperti itu,” Papa kembali menengahi. Aku akhirnya mengalah. Memilih
diam dan asyik bermain Clash Of Clan di ponsel Android-ku. Samar-samar, aku mendengar Mama tengah membujuk Sarah
kembali. Mencoba menceritakan dongeng lama yang pernah kudengar bertahun-tahun
lalu.
“Konon, pada jaman dahulu kala, di tanah Jawa
Tengah ini terdapatlah dua kerajaan yang bertetangga. Yaitu kerajaan Pengging
yang subur dan makmur, dipimpin oleh Prabu Damar Maya. Dan kerajaan Baka yang
dipimpin oleh raja raksasa pemakan manusia, bernama Prabu Baka ...”
Iya, aku ingat kisah itu. Cerita tentang Raden
Bandung Bondowoso, pangeran dari kerajaan Pengging yang jatuh hati pada Putri
Roro Jonggrang nan cantik jelita, dari kerajaan Baka. Kedua kerajaan yang
saling bermusuhan hingga terjadilah perang besar. Hingga akhirnya, perang
berhasil dimenangkan oleh Raden Bandung Bondowoso yang membunuh Prabu Baka.
Putri Roro Jonggrang yang mengetahui kabar
tersebut, merasa marah dan meratapi kematian sang ayah. Hingga ketika Raden
Bandung Bondowoso menyerbu kerajaan Baka dan langsung terpesona dengan kecantikan
sang putri, dia ingin meminangnya. Putri Roro Jonggrang yang membenci dan
dendam pada pemuda pembunuh ayahnya, menolak mentah-mentah pinangan itu.
Putri pun mengajukan dua syarat.
“Syarat pertama, dia meminta dibuatkan sumur yang
dinamakan sumur Jalatunda. Lalu syarat yang kedua, sang putri meminta Bandung
Bondowoso untuk membangun seribu candi untuknya. Semua itu harus selesai dalam
semalam, sebelum matahari terbit.” Mama masih terus bercerita tentang kisah
itu. Aku yang sedari tadi tak memedulikan soal Sarah yang sedang merajuk,
akhirnya ikut mendengarkan kisah Mama.
“Lalu?” Sarah mulai tertarik. Kulihat matanya
ceria kembali. Kisah putri cantik yang dikutuk karena telah mengingkari
janjinya, kembali mengalir dari bibir Mama. Tidak kusangka jika Mama sungguh
lihai dalam berdongeng.
“Setelah melihat kesaktian Bandung Bondowoso,
Roro Jonggrang akhirnya mulai panik. Dia mengajak seluruh dayang dan wanita
desa untuk menumbuk padi dan membakar jerami di sisi timur. Karena mengira
matahari akan segera terbit, para makhluk halus yang membantu Bandung Bondowoso
menyelesaikan candinya, takut dan lari bersembunyi di balik bumi.”
Wajah Sarah serius, demikian juga diriku.
Walaupun aku sudah tahu akhir dari kisah ini, tetap saja penasaran dengan cara
bercerita Mama.
“Mengetahui dirinya telah ditipu oleh sang putri,
Bandung Bondowoso murka. Dia mengutuk Putri Roro Jonggrang menjadi sebuah arca.
Lalu jumlah kesembilanratus sembilanpuluh sembilan candi itu dinamakan Candi
Sewu, dan arca berupa sosok wanita bertangan empat, yang dikisahkan adalah
wujud arca Roro Jonggrang, disebut Arca Durga.”
“Wah ... menarik sekali, Ma. Mengharukan. Kasihan
ya putri itu, harus menjadi batu,” sahut Sarah.
“Itu jika berdasarkan dongeng, sayang,” Papa
menimpali. “Berdasarkan sejarahnya, Candi Prambanan ini dibangun oleh Rakai
Pikatan, raja dari Dinasti Sanjaya yang memeluk agama Hindu di tanah Jawa.
Tujuan dibangunnya candi ini adalah untuk menyaingi Candi Borobudur yang sudah
dibangun terlebih dahulu oleh Dinasti Syailendra, penganut agama Budha.”
“Wah, Papa tahu juga ya sejarahnya,” sahutku
kagum.
“Lah wong Papa sudah baca di Mbah Google
semalam.” Papa tertawa lebar. Diikuti oleh kami.
“Bagaimana? Sarah mau ikut melihat candinya atau
tidak? Ada arca sang putri loh, tidak penasaran ingin tahu sosok Roro
Jonggrang?” tanya Mama.
Sarah mengangguk cepat. Wah, sudah semangat
sekali adik kecilku ini. “Ayo, Ma. Nanti Sarah mau berfoto selfi di depan Arca Durga. Mau tak pamerin di Path, biar teman-teman Sarah pada ngiri.”
Sarah yang semangat langsung melompat, berlari
meninggalkan kami yang masih duduk. Ah, dasar Sarah. Harus didongengin dulu
baru mau bergerak. Ya sudahlah, aku pun sudah tidak sabar ingin melihat putri
cantik yang dikutuk itu. Maka aku, Papa dan Mama menyusul Sarah yang sudah jauh
mendahului kami.
Nda, 170414
Tidak ada komentar:
Posting Komentar