“…cinta Anne, harus segera diakhiri, Bang,
harus!”
Bang, mengapa kau tak datang jua. Bukankah
engkau yang membuat janji bertemu di gubuk tengah sawah ini.
Tak tahukah kau Bang, aku kesepian menanti.
Bahkan senja sudah hampir menghilang namun sosokmu tak jua kunjung datang. Apa
kau telah merubah pikiran? Sudah tidak ada lagikah keberanian yang mengajakku
untuk lari?
Ke manakah engkau pergi? Aku begitu
merindukanmu. Tolong, cepatlah datang dan selamatkan aku dari rasa takut ini.
Tolong aku Bang, mungkin kekasihmu ini akan
mati…
***
“Mak,
Mamak! Anne ada di mana? Mengapa dari tadi sore aku tak lihat anak itu sama
sekali?”
Bapak
berteriak parau. Sudut-sudut rumah telah ditelusuri, namun tetap tidak
menemukan sosok anak gadis satu-satunya itu.
Mamak
lari tergopoh dari halaman depan. Mulutnya monyong-monyong, tengah penuh dengan
kue bingke. Sambil terus mengunyah, Mamak menjawab pertanyaan Bapak, “mana aku
tahulah, Pak. Sedari sore aku sudah repot membantu Wak Cuah memasak bingke.”
“Ah, kau
ini. Tidak perhatian sama sekali dengan anakmu. Ini sudah hampir malam,
seharusnya gadis penakut itu sudah berada di dalam kamarnya, belajar.”
“Ah
sudahlah, Pak. Mungkin juga lagi main ke rumah si Wati. Biasalah, anak muda.”
Setelah
berkata, Mamak kembali melesat keluar rumah menuju rumah Mak Cuah. Sedangkan Bapak
masih saja bingung, khawatir dengan keberadaan sang anak.
Malam
semakin larut. Sudah pukul sembilan malam. Namun Anne belum juga pulang. Mamak
sudah mendengkur di kamar tidur. Seakan tidak peduli dengan keadaan anak
gadisnya. Beda dengan Bapak, yang masih menunggu di halaman depan, sambil
menyedot belasan batang rokok.
Hatinya
gelisah.
Sementara
itu, jauh di sebuah bangsal tentara angkatan darat, dua orang pemuda tengah
berbisik-bisik dalam sunyi. Suaranya dipelan-pelankan, berharap tak seorang pun
tahu apa yang sedang mereka ucapkan.
“Bagaimana,
Ru? Apa kau sudah..”
“Ssstt..
Cukup sampai di situ sajalah kau bercuap, Wan. Nanti ada yang mendengar kita.”
“Lalu
hasilnya bagaimana?”
“Aman.
Semua sudah beres.”
Pemuda
berkulit putih bertubuh ramping, menganggukkan kepalanya, “bagus, kau selalu
bisa dihandalkan bro.”
Sedangkan
pemuda satunya yang berkulit lebih gelap, nyengir
menunjukan deretan gigi yang sudah kuning.
Mereka
berdua tersenyum puas. Merasa kemenangan kini berpihak kepada keduanya.
***
Malam
lekat telah berlalu pergi. Berganti fajar merah yang menangis sedu di antara
Lembah Harau. Sawah menguning masih sepi melengang. Hanya terdengar hiruk pikuk
burung gereja yang saling bercerita tentang sosok gadis setengah telanjang di
dalam gubuk.
Mati.
Meninggalkan
sebuah tanya pada kisah janin dua bulan yang tengah dikandung dalam dekap
rahimnya. Juga pada Sang Malaikat Maut dari dusun mana yang tega menculik paksa
nyawa sang gadis…
Anne,
telah dijemput kematian, memetik tuah cintanya sendiri…
Nda,
100314
Tidak ada komentar:
Posting Komentar