Aku tahu keluargaku bukan
bintang di kampung ini. Papa hanya seorang penjahit lepas. Ada jahitan maka
kami akan makan sedikit enak. Jika tidak ada, sudah pasti berhutang menjadi
andalan Mama. Sudah sering tetangga datang ke rumah untuk menagih hutang. Dan
itu menjadi hal biasa bagi kami berempat, anak-anaknya.
Papa mengajarkan kami hidup
sederhana. Nrimo. Dan tidak boleh meminta hal berlebih jika Papa belum
mempunyai uang. Kami semua mengerti. Walaupun sepatu sekolahku telah berlubang
di ujung jari, atau seragam putih telah menjadi kuning dengan krah yang sobek
lipatannya, aku tetap sabar menanti Papa membelikan yang baru. Tas sekolah
sering dijahit sendiri oleh Papa dari kain-kain perca. Disambung dengan cantik,
membentuk gambar bunga atau sebuah rumah dengan cerobong asap yang mengepul.
Buku tulis sekolah kadang juga
kami buat sendiri. Jika buku catatan sudah habis dan Papa belum mampu membeli,
dengan telaten Papa menyobek sisa-sisa halaman kosong di buku tulis lama. Semua
disatukan, lalu dijahit bagian atasnya. Kata Papa, yang terpenting itu masih
bisa digunakan untuk mencatat. Dan lagi-lagi kami semua menerima dengan senang
hati.
Pernah suatu ketika, adik
terkecilku ingin dibelikan boneka barbie seperti milik anak tetangga. Mendengar
rengekan adik, Papa hanya tersenyum saja. Semua kain perca dikumpulkan. Kalian
tahu apa yang sedang dibuat Papaku kala itu? Sebuah boneka kain sederhana.
Sebuah kain yang agak lebar disumpal dengan kain-kain kecil lalu diikat dengan
benang hingga tampak seperti kepala. Bentuknya dibulatkan. Lalu sebuah batang
lidi sepanjang jari orang dewasa dikaitkan di bawah leher boneka dan diikat
dengan benang. Maka tampaklah itu sebagai tangan yang kurus kering.
Aku tersenyum melihat ide
Papa. Tapi tidak berhenti di situ saja loh. Kain-kain lain dipotong membentuk
sebuah pola baju, lalu bagian atas dilubangi untuk tempat masuknya kepala. Dan,
viola ... jadilah boneka kain dengan bajunya yang panjang.
Kalian ingat dengan boneka
penolak hujan dari Jepang yang biasanya digantung di atas jendela? Nah, seperti
itulah penampakannya. Hanya saja, boneka kami memiliki tangan sapu lidi dan
baju indah bak putri raja.
Pernah juga adik lelakiku
meminta pedang mainan. Tanpa babibu, Papa mengambil pisau dapur milik Mama, dan
berjalan ke pekarangan belakang. Pohon-pohon pisang itu dahannya ditebas oleh
Papa. Lalu daunnya dihilangkan, hingga tersisa batang daun pisang yang panjang.
Dahan itu dipotong. Satu
pendek, satunya panjang. Bagian yang pendek ditempelkan di pangkal bagian yang
panjang, lalu diikat dengan tali rafia. Maka jadilah pedang pelepah pisang yang
gagah.
Begitulah, aku bangga dengan
kehidupan kami. Walaupun tetangga banyak yang acuh dan tidak menghiraukan
keberadaan kami, itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Kata Papa, selama
sesama saudara rukun, hidup kami pasti akan tenang.
Akhirnya, kamipun mulai
belajar mengacuhkan hal-hal yang tidak penting tentang mereka. Walaupun
keluarga kami sering dijadikan bahan bergunjing, toh hidup kami selalu ceria.
Berempat, kami sering dibilang kompak. Baju kembar. Kainnya sama, hanya berbeda
model saja. Tas sekolah juga kembar. Rasanya senang dibilang rukun. Padahal,
ada juga loh pertengkaran antar saudara. Sama seperti yang lainnya. Hanya saja,
Papa selalu bisa menenangkan hati-hati kami yang masih belia dan mudah terbakar
marah.
Ada peribahasa iseng berkata,
“susahnya hidup di Jawa” dan aku rasa itu benar (tertawa)
Kebiasaan yang sudah terlanjur
hidup di masyarakat kita ini sudah salah kaprah. Mereka hidup senang berkelompok.
Yang sering memberi makanan, uang atau apapun, akan semakin dielu-elukan. Dan
mereka yang kurang mampu memberi, terkadang disisihkan. Tetapi, lagi-lagi,
dengan bijak Papaku berkata, “yang penting, kita tidak pernah menyakiti orang
lain, tidak pernah ikut-ikut bergunjing, dan tetap selalu menyapa siapapun jika
bertemu muka.”
Ah, Papa. Aku jadi kangen sama
dirimu. Semua ajaranmu dulu, kini kuturunkan ke anak-anakku. Berharap mereka
juga bisa belajar bersyukur dengan apapun keadaan yang diterima.
Nda, 150414
Tidak ada komentar:
Posting Komentar