Selama
ini, kami tak pernah tahu kelaminnya. Entah lelaki, entah pula perempuan. Entah
tua, entah pula anak-anak. Atau orang dewasa yang berotak anak-anak?
Yang kami
pahami selama ini, dia adalah seorang dewa yang menghuni sebuah rumah mewah.
Banyak kamar yang dia punya di sana. Ruang yang bersekat-sekat. Sebagian gelap,
sebagian terang.
Kami
pernah diundang datang masuk ke dalam rumahnya itu. Awalnya kami sangat
bahagia. Bagaimana tidak? Dia seorang dewa yang sangat kami agung-agungkan
kepandaiannya, kepiawaiannya bermain aksara. Bertutur lembut atau pun kasar,
kami tetap memujanya.
Tapi di
situlah letak kebodohan kami. Dia yang sempurna, ketika makin banyak yang
membuntuti punggungnya, tiba-tiba menjadi angkuh. Saat berkata, dia suka
mendongakkan kepala tinggi-tinggi. Bahkan sampai menjulang ke arah pelangi,
membuat warna-warni itu pudar lalu menghilang. Langkahnya jinjit, seolah najis
menjamah tanah kami yang sudah lama kekeringan. Lebih banyak cercaan yang
melompat dari bibirnya yang menghitam karena terlalu sering menghisap kelobot
yang dibakar. Jika ada yang tak patuh oleh perintahnya, atau yang tak sepaham
dengan pemikirannya, dia akan menghapus jejak orang itu dari layar kehidupan. Kadang
dia mengunci mereka rapat-rapat di dalam sebuah bilik pengap tanpa secerca
sinar matahari sedikit pun. Menjauhkan dari pikuk dunia yang berwarna,
mengkerdilkan nama-nama mereka.
Banyak
yang sudah disiksa oleh kesombongannya. Namun beberapa dari kami yang begitu
mendewakannya, selalu menutup mata, telinga, bahkan hidung-hidung yang tak
mancung ini.
Kami tak
ingin dia murka lalu menelan tubuh ini bulat-bulat. Seringainya bahkan lebih
menakutkan dari moncong singa penunggu Hutan Terlarang di ujung dusun kami.
Hingga
suatu hari, seorang dewi datang—entah dari mana. Dewi cantik dengan tangan
gemulai dan lincah membelai kesepian kami. Senyumnya menghangatkan, begitu
mampu membenahi jiwa kami yang telah lama retas karena rasa kebodohan.
Ia
mengajarkan kami banyak hal, hingga semua yang pernah diajarkan oleh dewa yang
congkak itu, raib tanpa sisa.
Pelan-pelan,
satu persatu dari kami berbondong-bondong mendatangi gubuknya di atas Bukit
Kepedihan. Lampu-lampu kami nyalakan. Pepohonan nan lindap kami tanam di
sisi-sisi kediamannya. Kami berkumpul membangun desa baru yang penuh dengan
aroma kebahagiaan. Tak ada dengki atau pun iri hinggap di hati. Tak ada
ketakutan. Tak ada kepatuhan yang dipaksakan. Semuanya berjalan indah dan
damai.
Desa kami
berkembang bagaikan spora yang diterbangkan angin lalu hinggap di tanah, menumbuhkan
bibit-bibit baru. Bayi-bayi mungil yang memiliki renyutnya sendiri. Menyanyikan
pikatnya sendiri, tanpa lagi dicampuri jiwa sang dewa yang selalu dijejalkan
paksa selama ini.
Kini,
ketika kami turun bukit, puing-puing dusun yang telah kami tinggalkan telah
ranap. Tak ada lagi terdengar lenguh napas atau pun denyut kehidupan. Kami
hanya melihat sebuah rumah mewah nan megah yang masih berdiri kokoh di tengah.
Ada sinar di sana, namun cahaya yang kusam. Ada suara di sana, namun hanya
tutur-tutur penuh kesedihan dari mereka yang masih tertahan di dalamnya.
Di dalam
hati, kami berdoa, semoga kelak ada kebebasan yang hakiki menjamah rumah mewah
yang ditinggali oleh mantan dewa terkasih kami itu.
Semoga
....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar