Sebuah Pilihan
“Apakah semua orang mati itu
akan tenang jiwanya?” tanyamu pada waktu yang berjalan lambat di hadapanmu. Kau
lihat dirinya. Jarum-jarum itu berdetak pelan, diam tak menjawab.
“Apakah dengan mati aku
benar-benar bisa tenang? Tak merasakan lagi rasa sakit itu ...?” desismu
kembali.
Malam semakin pekat.
Keraguanmu bergejolak. Jemarimu masih kuat mencengkeram sebatang pisau yang
berkilat-kilat. Pilihanmu hanya satu. Akankah kau akhiri napasmu, ataukah kau
lanjutkan hidupmu yang makin membusuk?
Entah ....
Kau hanya terus bertanya pada
waktu. Walaupun diam adalah jawaban abadi darinya.
Pertanyaan
“Mak, kapan Bapak pulang?”
Pertanyaan anaknya mendekap
sesak yang telah lama ia pendam.
“Belum tahu, Nduk. Semoga
saja Bapak cepet memberi kabar,” jawab ia seadanya.
Perempuan itu hanya sedang
tenggelam dalam kesedihan. Hingga ia tak tahu harus berkata apa agar anak lima
tahunnya itu bisa paham tentang arti kerasnya kehidupan yang tengah ia kunyah.
Bahkan duri binatang jantan itu telah menancap kuat di hati. Membuat organ
merah itu pucat, karena luka yang menjelma nanah.
“Aku kangen Bapak, Mak,” kata
anaknya lagi. Kali ini diiringi linangan di sudut matanya.
“Sabar, Nduk. Doakan saja
Bapakmu cepat pulang. Mintalah pada Allah, agar Dia membuat hati Bapak ingat
kembali pada kita.”
Anaknya mengangguk. lalu
dalam rumah sepetak itu, seorang gadis kecil menaburkan doa. Meminta kepada
Tuhan agar bapaknya segera dikembalikan. Dia benar-benar tak tahu, bahwa
emaknya sedang terisak. Teringat suaminya yang tengah dimabukkan wanita jalang.
Gadis Jingga
Aku menelan ludah. Gadis
berkerudung jingga tampak semakin bercahaya. Rona wajahnya menyiratkan
keanggunan hati yang ia miliki. Lindap langkahnya membuat debar jantungku
semakin kencang mengoyak dada. Rasanya dia ingin keluar, untuk menjumpai
jantung gadis itu, lalu bersanding bersama selamanya.
Namun akulah yang pengecut.
Mencinta, tapi tak kuasa menatap matanya.
Gadis Jingga mendekat. Jiwaku
hendak lari berhamburan, tetapi tubuh kakuku hanya bisa terdiam. Kini jarak
antara ia dan aku sudah sebatas jari telunjuk. Ia menjamahku. Lembut. Lalu
menaburkan pesonaku pada kerudung dan lengan bajunya yang putih pucat. Sejenak
ia menghirup udara yang telah tercampur aromaku. Tenang. Lalu gadisku pun
beranjak pergi. Dengan ucapan basmallah, ia menyedapkan langkah kaki, menuju ke
arah dunia yang hingar bingar.
“Pergilah. Bercahayalah,
Gadisku. Kutunggu kau pulang malam nanti,” desahku lirih. Tak mungkin terdengar
olehnya. Hanya dia, sebatang lipstik merah jambu, yang cekikikan di samping
saat melihat tingkah konyolku.
Pembantaian Pagi Hari
Pagi ini, kala matahari masih
belum terlalu menyengat, kulihat para lelaki itu. Datang berbondong-bondong,
dengan celurit yang menyeringai di tangan mereka.
Jantungku tersibak. Ketakutan
yang menusuk-nusuk. Perih.
Kudengar jeritan-jeritan di
ujung. Lalu lolongan tangis yang menyayat. Hatiku melarat-larat. Sahabat,
kawan, rekan dan tetangga yang tinggal di depan, berhasil dibantai mereka
terlebih dahulu.
“Tolong! Tolong! Adakah yang
bisa menolong kami?”
Ah, tidak. Suaraku tercekat.
Tak seorang pun yang mampu mendengarnya. Iya, tak ada.
“Kakak, aku takut.”
Adikku merintih. Aku
bergeming. Tak mampu berbuat apa pun.
“Kakak ...,” ia merengek
kembali.
Air mataku menetes. Pedih. Jika
seandainya aku bisa lari, pasti akan melesat dari tanah ini. Tapi ..., itu hal
yang mustahil. Kaki-kakiku tertanam!
Angin pagi berhembus
perlahan. Aroma peluh dari para pembantai itu sudah hampir dekat di hidungku.
Amis. Bau keringat yang terpanggang matahari. Semakin dekat. Semakin dekat.
Hingga akhirnya, benda tajam itu pun menebasku. Hingga tubuhku terputus. Cairan
pekat dari dalam terasa menetes. Jutuh terbenam di tanah.
Gelap. Samar-samar, kudengar
suara berat dari seorang lelaki berteriak memerintah.
“Cepat! Kumpulkan tebu-tebu
itu lalu angkat ke dalam truk. Sebelum pukul dua belas, kita sudah harus sampai
ke pabrik!”
Rei dan Suara
Misterius
Rei, aku ada di sini. Kau tak
lihat aku?
Kemarilah ..., kemarilah, Rei.
Di sini dingin.
Sayup-sayup gadis itu
mendengar namanya disebut berkali-kali. Sebuah suara yang lindap. Pelan, tapi
mencekik. Dada Rei berdegup. Semakin mengencang.
Rei, jangan tinggalkan aku.
Jangan pergi sendiri. Aku kesepian, Rei.
Kini, tangisan yang menyayat
terdengar. Telinganya meradang. Rasa takut itu pun menusuk.
Siapa itu?! teriaknya
lantang.
Hening.
Ia mundurkan langkahnya
beberapa. Kegelapan yang menggagahi sekelilingnya masih menghitam pekat. Hembusan
angin merengkuh tubuhnya yang entah kenapa tiba-tba saja sudah basah kuyup. Rei
menggigil.
Tangisan itu terdengar lagi.
Siapa kau? Jawab! Siapa kau?!
Tangisan itu menjadi diam.
Kau tak ingat aku? Benar kau
tak tahu siapa aku, Rei?
Rei menggeleng.
Bukalah matamu, Rei. Jangan terpejam.
Buka!
Gadis itu menelan ludah.
Suara itu benar. Ia sedang terpejam!
Pelan-pelan, Rei membuka
mata. Hitam, lalu berubah menjadi abu-abu. Perlahan, sinar mentari menyibak
pandangannya. Sejenak ia menyapu sekitar dengan bola mata yang berkesip. Mencoba
menemukan sosok suara itu. Hingga akhirnya, tubuh itu tampak juga. Di sana.
Mengambang di atas danau dengan air yang dingin. Sebuah tali mengikat di
lehernya.
Rei terperanga. Wajah itu
..., adalah miliknya.
Kau tahu, kan, siapa aku,
Rei? Aku adalah kamu. Kau ingat?
Iya, aku ingat.
Tangisan Rei membuncah.
Kejadian semalam itu pun mengapung di otaknya. Saat ia menanti kekasihnya di
tepi danau ini untuk lari bersama, tiba-tiba sebuah tali melingkar di lehernya.
Kau pantas mati! Siapa yang
mau manikah denganmu, hah? Kau itu aibku. Matilah kau dengan anak yang kau
kandung itu, Rei! kata seorang lelaki dari belakang. Itu suara kekasihnya.
MIRAT
Pertama kali kau
menceritakan kemarahanmu, aku sudah jatuh hati. Kau laksana seonggok daging
yang terpanggang. Baumu harum memikat. Menggairahkan. Kau yang berjalan hilir
mudik dengan napas yang meledak-ledak, memburuh kebencian yang mengambang di
kamar kita.
“Kau bisa bayangkan,
kan? Bagaimana marahnya aku!” teriakmu. Matamu yang berbinar merah, menatapku
dengan begitu angkuhnya. Lalu jalanmu mengendap-endap, memiringkan kepalamu ke
arah kiri, kemudian berbisik lembut dengan memicing mata, “Rasanya, aku ingin
memakan dangingnya. Apa kau mau?”
Kau terkekeh.
Kebengisan yang menggema. Telingaku tersayat. Tapi, aku puas melihatmu
demikian, Kirei.
Siang yang mencekam.
Keringat dinginmu mengalir deras. Aku tetap bergeming pada tempat yang telah
kau tentukan. Hingga sore, saat senja telah kau laknat itu berani menunjukkan
wajahnya padamu, akhirnya rencana-rencana yang kau susun sudah bulat. Sebulat
matamu yang membuntang.
Malamnya, lelaki itu
datang. Seperti biasa, kulihat kau menggandeng tangannya dan memasuki kamar
kita. Pikat-pikat kemolekkanmu kau tebar. Aku tahu itulah keahlianmu. Anugerah
yang diberikan Tuhan padamu, Kirei, dan kau tahu bagaimana cara menggunakannya.
Sangat tahu ....
Apa kau lihat itu,
Kirei? Tangan-tangan rembulan yang hampir kehilangan binarnya malam ini
pelan-pelan menyelar ke arah gairahmu. Namun, kutahu kau tak peduli. Seperti
katamu siang tadi, kau ingin menelan bulat-bulat daging lelaki itu.
Aku menunggumu,
Kirei. Tetap dengan berdiri menggantung di dinding ini. hingga akhirnya, mataku
melumat tubuh lelakimu yang kelojotan. Napas yang terkapah-kapah dan mata yang
terbeliak, nanap. Setelah itu, hening. Kepuasan kurasakan meluncur dari
senyummu.
Kirei, ini lelaki
ketiga yang akan kau tanam belulangnya di belakang rumah, dan kau kunyah
dagingnya.
“Kau tahu, aku benci
dikhianati!” desismu geram, dengan seulas senyum jahat pada bayanganmu sendiri,
yang memantul di tubuhku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar