Senin, 27 Oktober 2014

FLASH FICTION




 
Sebuah Pilihan

“Apakah semua orang mati itu akan tenang jiwanya?” tanyamu pada waktu yang berjalan lambat di hadapanmu. Kau lihat dirinya. Jarum-jarum itu berdetak pelan, diam tak menjawab.

“Apakah dengan mati aku benar-benar bisa tenang? Tak merasakan lagi rasa sakit itu ...?” desismu kembali.

Malam semakin pekat. Keraguanmu bergejolak. Jemarimu masih kuat mencengkeram sebatang pisau yang berkilat-kilat. Pilihanmu hanya satu. Akankah kau akhiri napasmu, ataukah kau lanjutkan hidupmu yang makin membusuk?

Entah ....

Kau hanya terus bertanya pada waktu. Walaupun diam adalah jawaban abadi darinya.


Pertanyaan

“Mak, kapan Bapak pulang?”

Pertanyaan anaknya mendekap sesak yang telah lama ia pendam.

“Belum tahu, Nduk. Semoga saja Bapak cepet memberi kabar,” jawab ia seadanya.

Perempuan itu hanya sedang tenggelam dalam kesedihan. Hingga ia tak tahu harus berkata apa agar anak lima tahunnya itu bisa paham tentang arti kerasnya kehidupan yang tengah ia kunyah. Bahkan duri binatang jantan itu telah menancap kuat di hati. Membuat organ merah itu pucat, karena luka yang menjelma nanah.

“Aku kangen Bapak, Mak,” kata anaknya lagi. Kali ini diiringi linangan di sudut matanya.

“Sabar, Nduk. Doakan saja Bapakmu cepat pulang. Mintalah pada Allah, agar Dia membuat hati Bapak ingat kembali pada kita.”

Anaknya mengangguk. lalu dalam rumah sepetak itu, seorang gadis kecil menaburkan doa. Meminta kepada Tuhan agar bapaknya segera dikembalikan. Dia benar-benar tak tahu, bahwa emaknya sedang terisak. Teringat suaminya yang tengah dimabukkan wanita jalang.


Gadis Jingga

Aku menelan ludah. Gadis berkerudung jingga tampak semakin bercahaya. Rona wajahnya menyiratkan keanggunan hati yang ia miliki. Lindap langkahnya membuat debar jantungku semakin kencang mengoyak dada. Rasanya dia ingin keluar, untuk menjumpai jantung gadis itu, lalu bersanding bersama selamanya.

Namun akulah yang pengecut. Mencinta, tapi tak kuasa menatap matanya.

Gadis Jingga mendekat. Jiwaku hendak lari berhamburan, tetapi tubuh kakuku hanya bisa terdiam. Kini jarak antara ia dan aku sudah sebatas jari telunjuk. Ia menjamahku. Lembut. Lalu menaburkan pesonaku pada kerudung dan lengan bajunya yang putih pucat. Sejenak ia menghirup udara yang telah tercampur aromaku. Tenang. Lalu gadisku pun beranjak pergi. Dengan ucapan basmallah, ia menyedapkan langkah kaki, menuju ke arah dunia yang hingar bingar.

“Pergilah. Bercahayalah, Gadisku. Kutunggu kau pulang malam nanti,” desahku lirih. Tak mungkin terdengar olehnya. Hanya dia, sebatang lipstik merah jambu, yang cekikikan di samping saat melihat tingkah konyolku.

Pembantaian Pagi Hari

Pagi ini, kala matahari masih belum terlalu menyengat, kulihat para lelaki itu. Datang berbondong-bondong, dengan celurit yang menyeringai di tangan mereka.

Jantungku tersibak. Ketakutan yang menusuk-nusuk. Perih.

Kudengar jeritan-jeritan di ujung. Lalu lolongan tangis yang menyayat. Hatiku melarat-larat. Sahabat, kawan, rekan dan tetangga yang tinggal di depan, berhasil dibantai mereka terlebih dahulu.

“Tolong! Tolong! Adakah yang bisa menolong kami?”

Ah, tidak. Suaraku tercekat. Tak seorang pun yang mampu mendengarnya. Iya, tak ada.

“Kakak, aku takut.”

Adikku merintih. Aku bergeming. Tak mampu berbuat apa pun.

“Kakak ...,” ia merengek kembali.

Air mataku menetes. Pedih. Jika seandainya aku bisa lari, pasti akan melesat dari tanah ini. Tapi ..., itu hal yang mustahil. Kaki-kakiku tertanam!

Angin pagi berhembus perlahan. Aroma peluh dari para pembantai itu sudah hampir dekat di hidungku. Amis. Bau keringat yang terpanggang matahari. Semakin dekat. Semakin dekat. Hingga akhirnya, benda tajam itu pun menebasku. Hingga tubuhku terputus. Cairan pekat dari dalam terasa menetes. Jutuh terbenam di tanah.

Gelap. Samar-samar, kudengar suara berat dari seorang lelaki berteriak memerintah.

“Cepat! Kumpulkan tebu-tebu itu lalu angkat ke dalam truk. Sebelum pukul dua belas, kita sudah harus sampai ke pabrik!”

Rei dan Suara Misterius

Rei, aku ada di sini. Kau tak lihat aku?
Kemarilah ..., kemarilah, Rei. Di sini dingin.

Sayup-sayup gadis itu mendengar namanya disebut berkali-kali. Sebuah suara yang lindap. Pelan, tapi mencekik. Dada Rei berdegup. Semakin mengencang.

Rei, jangan tinggalkan aku. Jangan pergi sendiri. Aku kesepian, Rei.

Kini, tangisan yang menyayat terdengar. Telinganya meradang. Rasa takut itu pun menusuk.

Siapa itu?! teriaknya lantang.

Hening.

Ia mundurkan langkahnya beberapa. Kegelapan yang menggagahi sekelilingnya masih menghitam pekat. Hembusan angin merengkuh tubuhnya yang entah kenapa tiba-tba saja sudah basah kuyup. Rei menggigil.

Tangisan itu terdengar lagi.

Siapa kau? Jawab! Siapa kau?!

Tangisan itu menjadi diam.

Kau tak ingat aku? Benar kau tak tahu siapa aku, Rei?

Rei menggeleng.

Bukalah matamu, Rei. Jangan terpejam. Buka!

Gadis itu menelan ludah. Suara itu benar. Ia sedang terpejam!

Pelan-pelan, Rei membuka mata. Hitam, lalu berubah menjadi abu-abu. Perlahan, sinar mentari menyibak pandangannya. Sejenak ia menyapu sekitar dengan bola mata yang berkesip. Mencoba menemukan sosok suara itu. Hingga akhirnya, tubuh itu tampak juga. Di sana. Mengambang di atas danau dengan air yang dingin. Sebuah tali mengikat di lehernya.

Rei terperanga. Wajah itu ..., adalah miliknya.

Kau tahu, kan, siapa aku, Rei? Aku adalah kamu. Kau ingat?

Iya, aku ingat.

Tangisan Rei membuncah. Kejadian semalam itu pun mengapung di otaknya. Saat ia menanti kekasihnya di tepi danau ini untuk lari bersama, tiba-tiba sebuah tali melingkar di lehernya.

Kau pantas mati! Siapa yang mau manikah denganmu, hah? Kau itu aibku. Matilah kau dengan anak yang kau kandung itu, Rei! kata seorang lelaki dari belakang. Itu suara kekasihnya.


MIRAT

Pertama kali kau menceritakan kemarahanmu, aku sudah jatuh hati. Kau laksana seonggok daging yang terpanggang. Baumu harum memikat. Menggairahkan. Kau yang berjalan hilir mudik dengan napas yang meledak-ledak, memburuh kebencian yang mengambang di kamar kita.

“Kau bisa bayangkan, kan? Bagaimana marahnya aku!” teriakmu. Matamu yang berbinar merah, menatapku dengan begitu angkuhnya. Lalu jalanmu mengendap-endap, memiringkan kepalamu ke arah kiri, kemudian berbisik lembut dengan memicing mata, “Rasanya, aku ingin memakan dangingnya. Apa kau mau?”

Kau terkekeh. Kebengisan yang menggema. Telingaku tersayat. Tapi, aku puas melihatmu demikian, Kirei.

Siang yang mencekam. Keringat dinginmu mengalir deras. Aku tetap bergeming pada tempat yang telah kau tentukan. Hingga sore, saat senja telah kau laknat itu berani menunjukkan wajahnya padamu, akhirnya rencana-rencana yang kau susun sudah bulat. Sebulat matamu yang membuntang.

Malamnya, lelaki itu datang. Seperti biasa, kulihat kau menggandeng tangannya dan memasuki kamar kita. Pikat-pikat kemolekkanmu kau tebar. Aku tahu itulah keahlianmu. Anugerah yang diberikan Tuhan padamu, Kirei, dan kau tahu bagaimana cara menggunakannya. Sangat tahu ....

Apa kau lihat itu, Kirei? Tangan-tangan rembulan yang hampir kehilangan binarnya malam ini pelan-pelan menyelar ke arah gairahmu. Namun, kutahu kau tak peduli. Seperti katamu siang tadi, kau ingin menelan bulat-bulat daging lelaki itu.

Aku menunggumu, Kirei. Tetap dengan berdiri menggantung di dinding ini. hingga akhirnya, mataku melumat tubuh lelakimu yang kelojotan. Napas yang terkapah-kapah dan mata yang terbeliak, nanap. Setelah itu, hening. Kepuasan kurasakan meluncur dari senyummu.

Kirei, ini lelaki ketiga yang akan kau tanam belulangnya di belakang rumah, dan kau kunyah dagingnya.

“Kau tahu, aku benci dikhianati!” desismu geram, dengan seulas senyum jahat pada bayanganmu sendiri, yang memantul di tubuhku.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar