Oleh : Ajeng Maharani
(1)
BARU saja kau membuka mata, menggeliat lalu
mengerjab, kau sudah tak melihat sosok ibumu lagi di atas ranjang. Pun demikian
pula dengan bapakmu. Kamar pengap karena asap obat nyamuk yang dibakar itu kini
menjadi sunyi. Kau merasa kesepian. Seketika itu pula kau turun dari
pembaringan, lalu melangkah merayapi kegelapan dengan matamu yang menyala tajam,
membawa tubuh kecilmu pada dapur yang tengah terang benderang. Kau yakin, ibu-bapakmu
pasti ada di sana.
Sekejab, kau mendengus. Cuping
hidungmu kembang-kempis digelitiki aroma amis darah segar bercampur bau daging
mentah. Liurmu pun menetes. Segera kau mempercepat langkah menjemput bebauan yang
membuat jantungmu menari karena kegirangan, juga dengan perut-perutmu yang
meronta-ronta kelaparan malam ini.
Kini kau telah tiba di dapur
kesayangan ibumu yang tak lebih besar dari kamar tidurnya itu. Kau lihat
sekeliling dengan mata birumu, tak nampak bapakmu di sana. Hanya ada ibu yang
nampak tengah asyik memisahkan tulang, daging dan jerohan. Tangannya yang
terlumuri darah, sibuk memasukkan tulang-belulang ke dalam sebuah plastik besar
berwarna hitam pekat, dibuntalnya rapat, lalu menarik-narik kantong itu keluar
ke halaman belakang rumah dengan susah payah.
Kau melangkah manja mengikuti
ibumu keluar, namun hanya pada sebatas pintu kayu jati yang telah keropos
kolongnyalah kau berani untuk menempatkan diri. Ketakutan akan bunyi derit
gesekkan dari pepohonan bambu yang menjulang tinggi membuatmu hatimu kelu. Suara
yang mengingatkanmu pada bisik-bisik kematian.
Dari tempatmu meletakkan
bokong, kau menangkap sosok ibumu memasukkan kantong ke dalam sebuah lubang
yang mengangah. Kemudian menumpahkan sebuah cairan dari botol bekas minuman air
mineral, dan menyalakan pematik apinya. Lidah-lidah liar itu pun membumbung, menjilat-jilat
semua yang ada di dalam liang. Kau bergidik ngeri. Bulu-bulumu berdiri seketika
karena gigil. Api itu terlihat seperti bayang-bayang neraka yang pernah kau
dengar dari suara-suara pergunjingan di atap rumah tetangga ibumu.
Tak seberapa lama kemudian,
ibumu kembali masuk ke dalam dapur. Mengelus kepalamu sebentar, lalu melangkah
ke tungku perapian. Sebuah kuali besar bertengger di atas tungku kayu itu. Kuahnya
yang mendidih, membuat aroma gulai daging dari dalamnya membumbung ke udara
lalu menusuk-nusuk penciumanmu. Kau sangat yakin, gulai itu adalah pesanan dari
salah satu penduduk desa. Karena di desa kecil itu, gulai ibumulah yang terbaik
rasanya. Setiap ada hajatan, mereka selalu menggunakan jasa ibumu.
“Ini, Bie, makanlah,” ujar
ibumu. Dia menyodorkan sepiring daging empal goreng sebesar telapak tangan
manusia dewasa. Seketika itu pula, liur yang sedari tadi menetes di bibir
kecilmu, menyusut. Dengan lahap kau terkam daging itu. Kau kunyah kuat-kuat. Rasa
yang aneh, rasa yang tak biasa, batinmu. Kau pikir kali ini ibumu pasti tengah
mencoba bumbu empal baru. Namun kau tetap tak memedulikannya. Itu jauh lebih
nikmat dari pada harus menahan rasa lapar yang menggigit sejak tadi.
“Bagaimana, Bie, enak
dagingnya?”
Kau mengangguk. Matamu
berbinar-binar sebagai tanda ucapan terima kasih pada ibumu.
“Sepertinya, tujuh hari ke
depan kita akan makan daging terus, Bie. Setiap hari!”
Sesungging senyum menggaris di
bibir ibumu. Senyum yang dingin. Tapi kau tak peduli, masih lahap dengan makan
malammu yang lezat.
(2)
SENJA yang melumat langit baru saja melata
pelan-pelan ketika perempuan muda berambut sebahu itu datang menemui ibumu. Kau
yang saat ini tengah terduduk di pangkuan ibumu hanya diam sambil memandang
dengan mata bulatmu. Wajah perempuan itu melarat-larat, matanya leleh, namun
kau tahu semua itu tak membuat hati ibumu tersentuh. Dia menjawab setiap
pertanyaan yang dilontarkan tamunya dengan ketus. Kalimatnya menukik. Pahit.
Seperti ada kebencian yang teramat di hatinya.
“Aku mana tahu di mana
suamimu! Sudah tiga tahun dia tak pulang ke rumah ini. Bisanya menelantarkanku,
dan bersuka cita sama perempuan muda seperti kamu. Semua gara-gara kamu, tahu!”
Ibumu meludahi tanah. Matanya
membuntang. Urat-uratnya menegang. Kau rasakan ibumu benar-benar terpanggang
amarah. Baru kali ini kau melihatnya demikian. Padahal setiap malam, wanita
separuh baya itu bisanya hanya menangis sambil meratap-ratap tentang nasibnya
yang telah lama ditinggalkan oleh sang suami.
Ibumu terus melemparkan
umpatan padanya—mengatakan tentang dendam dan kebencian—membuat perempuan muda
itu makin terisak. Bola matanya menyipit. Kau melihatnya dengan hati yang
benguk. Ibumu masih terus sibuk menatapnya dengan kemarahan. Cukup lama waktu
tertatih di antara kalian bertiga. Hingga akhirnya, perempuan muda itu
memutuskan untuk pergi tanpa meninggalkan kata-kata dan kau kembali sibuk
membenamkan tubuh di atas kursi goyang kesayangan ibumu.
(3)
KEMBALI ibumu membuka frezer pagi ini. Sebuah
buntalan daging dalam kantong plastik hitam kecil dikeluarkannya dari sana.
Daging-daging itu seperti tak pernah bisa habis. Sejenak, kau teringat tentang
kuali besar berisi gulai yang panas lima hari lalu. Kau lihat ibumu membaginya
ke para tetangga. Gulai dengan rasa daging yang tak biasa. Gulai yang
dilumerkan di atas tungku kayu yang membara, pada malam ketika sosok bapakmu
pun tiba-tiba menghilang dari ranjang tidurnya.
-Sidoarjo, 121014-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar