Oleh :
Ajeng Maharani
Kau terkesiap
dengan begitu lihainya ketika kau membuka mata, orang-orang mulai berlarian ke
arahmu dengan wajah resah. Pandangan matamu berputar-putar, dan kau berusa ha
keras untuk memahami waktu-waktu yang seketika berlarian dari ingatanmu.
“Kamu nggak apa-apa, Dik?”
Seorang pria kekar yang kau tafsir berusia empat puluhan tiba-tiba jongkok
di hadapanmu dan memegang bahumu. Dia mempertanyakan keadaanmu, lalu kau
mencoba merasakan seluruh tubuhmu lebih tekun dari sebelumnya. Kau temukan rasa
sakit di pinggang kananmu, kau pikir mungkin sebuah lebam biru bersarang di
sana. Lalu nyeri hebat menusuk kepalamu yang basah dan lengket, pasti ada
bagian yang sobek dan berdarah. Hingga ketika kau merasai kaki-kakimu, kau baru
menyadari sebuah sakit yang luar biasa.
Kau menatap kaki kananmu itu, lalu membelalak. Ketakutan dan kesedihan mulai menyerangmu. Kau ingin berteriak, tapi pria yang ada di
hadapanmu itu mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja asalkan kau bisa
tenang. Maka dengan perasaan yang ditekan-tekan kau pun berusaha untuk tenang.
Dua pria dewasa lainnya berdiri membelakangimu, berusaha mengangkat tubuh
motor yang menjepit kaki kananmu, sementara roda motormu tergilas ban truk. Mereka
melakukannya dengan pelan, meneliti sela-sela. Kau lihat itu dengan dada yang
berdegup kencang. Kau takut mereka gagal, atau merasa kesusahan dengan keadaan
seperti itu. Kau harap-harap cemas, melambungkan doa-doa dalam hatimu. Dalam kepanikan
yang membuatmu menelan ludah dalam-dalam itu, kau yakin kaki kirimu pasti
patah, dan kau merasa dunia sudah runtuh di hadapanmu.
Sekumpulan orang dan pengendara lainnya bergerombol di sisi jalan, mereka
menatapmu sambil berbisik-bisik dengan ujung bibir yang ditarik-tarik. Seorang
lelaki gendut berkaos hitam dengan tulisan salah satu nama band rock Australia, bertopi hitam kumal, dan
handuk hijau yang menggantung di lehernya, mendekatimu lalu berdiri tepat di
samping pria yang berusaha menenangkanmu. Wajahnya panik luar biasa. Kau
menebak, dia pasti supir truk yang baru saja melindas motormu. Dan dengan
begitu entengnya, matanya itu memelototimu dengan marah. Seakan-akan kaulah
yang paling patut untuk menanggung semua kesalahan.
Matamu hampir leleh. Kini ingatanmu pada waktu-waktu yang tadi melarikan
diri muncul kembali. Satu jam sebelum kau lesatkan motormu ke jalanan menuju
tempatmu bekerja, kau masih bersungut-sungut mendengarkan ocehan ibumu yang
tidak memiliki titik ataupun koma. Bibirnya pecah di sembarang tempat. Dia
selalu lakukan itu setiap pagi, ketika memarahi adik-adikmu yang susah
dibangunkan, susah digiring ke kamar mandi, lalu sekolah.
Sejak bapakmu pergi tanpa pernah terlihat lagi ujung ekornya, kau menjadi
tulang punggung satu-satunya dalam keluargamu. Ibumu terlalu disibukan oleh
ketiga adik kembarmu yang masih tiga belas tahun, hingga dia tidak memiliki
waktu yang cukup untuk mengurusimu. Kau tumbuh menjadi pemuda tak acuh, dan
serampangan. Kau lebih suka melakukan apapun yang kau sukai. Dan satu jam yang
lalu ketika rumahmu meledak-ledak oleh umpatan ibumu, kau berpikir ingin keluar
saja dari rumah itu, hidup sendiri. Walaupun kau takkan mungkin tega lakukan
itu.
Hari ini kau terburu ingin segera tiba di kantor, karena ini adalah hari di
mana bosmu yang botak dan gembrot itu akan membagikan gaji bulanan. Adik-adikmu
sudah tidak sabar mendapatkan hadiah yang kau janjikan pada hari ulang tahun
mereka yang terlewat beberapa minggu lalu. Kau tidak memeliki cukup uang untuk
bertahan ketika itu, lalu kau janjikan akan membelikan hadiah saat gajimu
terbayarkan. Dan mereka memandangmu dengan anggukan yang keras. Mereka
mempercayaimu.
Ibumu juga sudah memburumu akan uang belanja yang terhutang di tukang sayur
dan toko sembako yang berdiri tepat di depan rumahmu. Toko yang pemiliknya
memiliki stok bibir lebih banyak ketimbang ibumu, yang selalu siap pecah
berkeping-keping kalau pembayarannya terlambat, lalu seluruh kampung akan
mendengarnya berhari-hari sampai kau membayarnya.
Kau juga ingat betapa hari ini teramat penting untuk tidak dilalui dengan hambatan-hambatan,
karena berita tetang karyawan berprestasi akan diumumkan. Kau telah mendengar
desas-desus bahwa kaulah yang lagi-lagi berhak mendapatkan reward itu. Ini sudah tiga kali berturut-turut, dan jika itu benar
kau sudah dipastikan akan dipromosikan naik jabatan. Dan kau berharap-harap
cemas di waktu-waktu sebelum kau berangkat kerja. Karena kenaikan pangkat
berarti kenaikan gaji, dan kenaikan gaji artinya kau lebih bisa memiliki banyak
uang untuk keluargamu yang hampir di ambang kekeringan.
Alasan-alasan itu membuatmu lalai. Kau terlalu bising dengan omelan-omelan
ibumu, terlalu berdebar-debar menunggu kebenaran tentang kabar baik dari
kantormu, dan terlalu gelisah tentang hadiah, hutang-hutang ibumu, juga omelan
pemilik toko sembako di depan rumahmu. Semua itu berputar-putar dalam
pikiranmu, layaknya mesin blender yang menyala terus-menerus. Hingga di satu
jam yang lalu, kau telah berhasil melupakan sesuatu.
Ibumu telah mengingatkanmu dengan berteriak di belakang punggungmu ketika
kau baru saja menyalakan mesin motor. Kau mendengarnya samar-samar, tapi kau
tidak mengacuhkannya. Kau pikir sudah terlalu banyak waktu yang membuatmu
berdebar-debar itu terbuang sia-sia, ketika ibumu mengatakan kau harus membawa dua
dus besar yang berisi baju-baju bekas keluargamu. Yang artinya, kau harus
mampir dulu ke sebuah tempat dan meletakkan dus-dus itu sebelum kau menuju ke
kantor.
Waktu benar-benar telah terbuang terlalu banyak, dan kau berpikir akan
terbuang lebih banyak lagi jika kau harus mematikan motormu, menurunkan dus-dus
yang kau letakkan di depanmu—kau jepit dengan kedua kakimu—hanya untuk kembali
ke dalam rumah dan mengambil helm yang kau lupakan. Tempat kerjamu memang
dekat, hanya dua puluh menit dan tidak mengharuskanmu melalui pos-pos penjagaan
polisi lalu lintas yang suka meniup peluit saat melihat pengendara tanpa helm
sepertimu. Jadi kau merasa aman. Kau bisa berkendara tanpa helm. Bukankah ini
bukan lagi yang pertama kalinya kau berkendara tanpa helm? Dan kau selalu
baik-baik saja, kan? Itu yang terbesit dalam pikiranmu.
Tetapi ternyata, tidak untuk hari ini.
Pagi yang sangat sial bagimu, dan pikuk. Entah mengapa jalanan juga kau
rasakan ikut-ikutan membuatmu marah. Lalu lintas terlalu ramai di pagi ini,
padahal kau sedang terburu-buru. Dengan perasaan seperti itu kau pun
mengendarai motormu lebih cepat dari mereka, meliuk-liuk di antara pengendara
lain. Berusaha mendahului mobil-mobil, menekan bel motormu kencang-kecang agar
mereka memberimu jalan. Dalam pikiranmu dus-dus baju itu harus segera kau kirim
ke tempat penampungan. Kau terburu-buru, dan merasa beruntung karena kau lihai
berkendara dalam keadaan cepat. Itu sudah teramat biasa kau lakukan.
Pagi merayap pelan-pelan, kau masih terus meliuk-liuk, menekan-nekan bel,
mendahului kendaraan demi kendaraan lain, hingga segalanya tiba-tiba terjadi
dan kau sudah tertindih motormu yang rodanya terlindas truk.
Kejadian itu begitu cepat. Sebuah mobil dari arah berlawanan melaju begitu
kencang dan binal ketika kau sedang berusaha mendahului sebuah truk hijau yang
mengangkut batu-batu besar, hingga kau kelimpungan, kehilangan keseimbanganmu
dan jatuh ke sisi kiri. Kepala bagian kananmu membentur tubuh truk, lalu
terpental ke kanan, beradu dengan aspal begitu keras. Kau masih beruntung saja
karena kepala itu tidak terlindas ban motor di belakangmu yang berhasil
berhenti mendadak. Tapi kakimu tidak seberuntung kepalamu, karena kaki kanan
itu kini terjepit motor yang tubuhnya masuk ke kolong truk, dan roda depannya
berhasil dilindas ban truk. Dan tentu saja kaki itu telah patah, tepat di
pergelangan dan tulang keringnya.
Kini kau sudah ditidurkan dengan seenaknya—hanya dialasi koran—di atas
sebuah pick-up. Seorang pria kurus
dengan kulit hitam menemanimu, dia duduk sambil sibuk memenceti tubuh
ponselnya. Wajahnya kusam dan murung. Mungkin dia pun tengah dikecewakan oleh
ketidakberuntungan pagi ini. Kau berpikir dia pasti salah satu orang yang
membantumu tadi, atau salah satu yang ikut mengendarai pick-up, atau salah satu dari orang-orang yang bergerombol di
pinggir jalan. Entahlah. Kau terlalu sibuk merasakan kesakitan yang luar biasa
untuk menebak-nebak siapa pria di sampingmu.
Pandanganmu menekuri langit pukul delapan pagi yang biru sempurna dengan
gumpalan-gumpalan awan yang mirip gula-gula kapas. Bola matamu menerawang,
memikirkan semuanya. Kau berpikir seharusnya saat ini kau sudah tiba di
tempatmu bekerja, menekan nomor karyawanmu di atas keyboard—absen masuk—lalu
berdiri di antara rekan sejawatmu untuk briefing
morning. Di saat itulah waktu yang kau tunggu-tunggu sedari kemarin akan
segera kau ketahui. Berita gembira yang membuat hatimu meletup-letup. Kau
menjadi karyawan terbaik bulan ini, dan kau siap dipromosikan menduduki posisi
satu tingkat di atas posisimu sekarang.
Kau juga seharusnya pagi ini tersenyum selebar-lebar senyum yang biasa kau
tampakkan, ketika rekan-rekanmu memberimu jabat tangan dan ucapan selamat. Kau
pun bisa sedikit bangga dengan prestasimu nanti di hadapan ibumu, yang sekian
tahun telah melupakan kebutuhanmu karena kesibukannya meladeni adik-adikmu yang
berisik dan memiliki tenaga seperti kuda. Lalu ibumu akan semringah, mungkin
juga memelukmu haru dan bangga.
Untuk adik-adikmu, kau sudah berencana akan berpura-pura kehabisan uang
hingga tidak bisa membeli hadiah untuk mereka, tapi kau sudah menyimpan
kado-kado yang terbungkus rapi itu di dalam lemari mereka. Kau pasti akan
melihat betapa keriuhan akan menggemparkan kamar mereka yang terlalu sempit
untuk ditinggali bertiga ketika mereka membuka lemari nanti. Mereka akan melompat-lompat
dan berteriak girang. Mungkin juga menghambur ke arahmu, memeluk dan menciumi
pipimu yang tirus.
Seharusnya hari ini pula kau telah menyumpal puluhan bibir pemilik toko
sembako di depan rumah dengan lembaran-lembaran uang. Membuat wanita itu
manggut-manggut kesenangan, lalu menepuk-nepuk bahumu seperti yang biasa dia
lakukan setiap kali kau memberinya uang.
Namun kini, rencana-rencana itu melesat hilang seketika. Kebahagiaan yang
seharusnya kau berikan pada keluargamu hanya menjadi sebuah kelakar konyol
dalam otakmu, dan kau menyesali itu. Menyesali segalanya. Menghujani dirimu
sendiri dengan kesalahan-kesalahan yang bertubi.
Mungkin banyak orang akan mengatakan kejadian ini adalah takdir atau nasib
yang memang seharusnya kau terima, tapi kau tahu benar, semua adalah
kesalahanmu. Bisa saja kau menghindari pagi yang kacau ini jika saja kau lebih
berhati-hati, lebih bisa membawa dirimu agar tidak terlalu menggebu-gebu dan
mengendarai motormu dengan penuh kesabaran.
Kau pun berandai-andai. Jika saja ketika ibumu meneriaki punggungmu pagi
tadi, kau turun beberapa menit untuk mengambil helm merah kesayanganmu, mungkin
kepalamu tidak sobek dan berdarah seperti sekarang. Jika saja kau sabar mengendarai
motormu, sejengkal demi sejengkal, tidak meliuk-liuk urakan karena rasa jengkel
dan cemas, mungkin kakimu tidak akan patah seperti ini. Mungkin kau bisa
mendengar berita gembira di kantormu. Mungkin kau bisa menerima ucapan selamat
dan kekaguman luar biasa dari rekan-rekanmu. Mungkin kau benar naik pangkat dan
memperbaiki ekonomi keluargamu. Mungkin ibumu akan tersenyum bangga dan bahagia
padamu. Mungkin kau bisa melihat tawa gembira adik-adikmu. Dan mungkin semua
hutang bisa kau lunasi dan ibumu merasakan lega yang teramat besar dalam
dadanya.
Mungkin.
Tapi sekarang, semuanya lesap. Dan masa depan yang buruk sudah menantimu
setelah ini. Siapa yang akan menghidupi keluargamu nanti? Siapa yang akan
membayar sekolah adik-adikmu? Siapa yang akan membayar hutang-hutang ibumu? Bosmu
sudah tidak akan mungkin mempekerjakan orang cacat sepertimu. Bisa jadi kakimu
nanti diamputasi, dan kau bisa apa dengan satu kaki? Lalu siapa juga yang akan
membayar biaya rumah sakit nanti? Kau bahkan tidak memiliki tabungan sesen pun.
Otakmu berdenyut-denyut, lelah berpikir lagi. Kau menjadi putus asa dengan
pertanyaan-pertanyaan. Bingung. Memarahi dirimu sendiri. Menyesal. Ah, bukankah
sesal selalu saja datang terlambat? Tapi tentu kau tidak akan menyesal atau
terlambat menyadari penyesalan jika saja kau berhati-hati, bukan? Kau tahu kau sebenarnya
bisa menghindari kecelakaan ini hanya dalam beberapa menit saja. Ya, beberapa
menit saja hanya untuk mengambil helm dan mengenakannya. Beberapa menit saja
untuk melajukan motormu pelan-pelan dan sabar. Beberapa menit saja untuk patuh
pada aturan-aturan berkendara yang sudah sering kau baca di spanduk-spanduk
jalan. Beberapa menit saja untuk waspada dan menjaga dirimu sendiri.
Ya ... Beberapa menit saja. Beberapa menit yang sudah kau sia-siakan.
Sekarang, di atas pick-up yang
melaju itu, kau berharap bisa memutar waktu kembali dan memperbaiki
kesalahanmu.
Sidoarjo, 311015
- Blogspot ini dibuat dalam rangka mengikuti
Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di
Jalan’.
- #SafetyFirst diselenggarakan oleh Yayasan
Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar