Kisah
Terlarang ...
“Kapan kau akan menikah?” tanya kekasihku. Matanya nanar.
Aku tahu beban kecewa tengah merasuki jiwa kosongnya.
“Dua bulan lagi,” jawabku melemah. Sesak rasanya karena
harus jujur kepada kekasih yang telah lama mendampingiku selama dua tahun ini.
Bulir air matanya menggenang.
“Mengapa tak kau tolak saja pernikahan itu, Ca? Apa kau
sudah tak mencintaiku lagi?”
“Aku tak mampu menolak, Re ... Mamakku sudah sakit
parah!” kupekik kekecewaan. Tidak seharusnya perasaan itu tertumpah pada
dirinya yang tak bersalah.
“Jadi kau lebih mencintai Mamakmu, lalu mencampakkan aku
... Iya?!”
“Re, jangan ngomong seperti itu, please. Kau pun
sebenarnya tahu, bukan, aku tak berdaya sama sekali ....”
Wajah kekasihku kembali sayu. Tangis yang tertahan sejak,
akhirnya tumpah juga. Kupeluk dirinya erat. Berusaha menenangkan jiwanya yang
kini tengah rapuh karena ketidakberdayaan kami.
Aku yang terlalu takut menolak perjodohan keluarga, dan
dirinya yang memendam kenyataan. Sejak awal hubungan ini, sudah jelas kami
takkan bisa menyatu. Kini, kami hanya bisa saling menguatkan batin
masing-masing.
“Ca, apa setelah ini kita masih bisa bertemu?”
“Bisa, Re ..., pasti bisa.”
“Jangan pernah tinggalkan aku.”
“Tidak akan. Walaupun aku menikah, bukan berarti cintaku
padamu telah hilang. Kita satu. Kau dan aku sudah terpaut takdir yang tidak
akan bisa dimengerti oleh mereka.”
Kekasihku tersenyum. Bibirnya yang merona membuatku
semakin berdebar. Dia cantik, seindah bulan yang bulat sempurna. Setiap cinta
yang dia dekapkan di hatiku begitu sedap. Pengertiannya, kelembutannya, perhatiannya
..., semua. Begitu nikmat menjerat bilik-bilik hati yang sudah lama dikecewakan
oleh banyak lelaki.
“Re, aku cinta padamu ....”
“Aku juga, Ca. Dan selamanya hanya akan ada namamu di
hatiku.”
Kukecup kening kekasihku. Hangat.
“Re, bagaimana jika kau menikah juga, seperti aku.
Temukanlah lelaki yang baik untukmu. Bangunlah keluarga yang bahagia.”
Mata kekasihku masih menggantung tanya.
“Aku, menikah? Haruskah itu?”
Aku mengangguk cepat. Tersenyum hangat kepadanya.
“Harus, Re. Karena kita adalah seorang wanita. Menikah
dan membangun rumah tangga adalah kewajiban yang telah dipatri secara paksa
sebagai kodrat kita. Kau mengerti, bukan?”
“Ah, kau benar. Wanita yang tak menikah akan dikucilkan
oleh masyarakat kita yang kolot. Baiklah, aku akan mencari pria yang mau
kunikahi. Yaa ..., walaupun itu tak mudah bagiku memilih satu di antara banyak
pria yang sangat kubenci itu. Tapi, sebelumnya aku punya permintaan, Ca.”
“Permintaan, apa itu?”
“Berjanjilah. Jika suatu saat kau melahirkan anak dari lelaki
itu, maka ijinkan aku ikut memilikinya, ya? Please
..., sudah lama aku ingin menjadi ibu. Tapi kau tahu, kan, aku sangat
membenci lelaki. Jadi tak mungkin aku memiliki anak dari mereka. Ya?”
Aku mengangguk. Dia tersenyum.
Pelukan Reyna semakin erat. Kubelai rambutnya yang lurus
sebahu itu. Aroma vanila bercampur mint, menyeruak di cupingku. Lalu, dalam
senja yang hampir mati, aku dan dirinya kini semakin mengerti bahwa cinta tidak
akan pernah bisa terpisahkan walaupun takdir berkata lain pada kami.
Lelakiku,
Habib ...
“Ca, aku kangen. Bisa ketemu gak malam ini?”
Sebuah pesan singkat kuterima dari Reyna. Sejenak aku
meragu. Bimbang. Tak tahu harus kubalas dengan kata-kata apa.
Pernikahanku dengan Habib bisa dibilang bahagia. Dia
lelaki yang baik dan sopan. Soleh. Tak pernah sekali pun marah, walau sering
kubuat hatinya naik pitam. Habib sangat sabar menghadapi sifat
kekanak-kanakkanku.
Setiap subuh dia selalu membangunkan aku dengan lembut.
Mengecup kening dan berbisik mesra di cuping.
“Bunda, ayo bangun. Malu dong sama sang fajar, jam segini
dia sudah menekuk subuhnya kepada Allah.”
Awalnya aku marah. Bahkan almarhum Mamak tidak pernah
berani membangunkan lelapku di kala pagi. Habib sering kuomeli panjang lebar.
Menggerutu tak jelas. Tetapi dia bukanlah lelaki yang mudah menyerah. Walaupun
aku bangun dengan menyungging manyun dan bertampang dongkol, dia tetap
memelukku erat. Mencoba meredakan amarahku.
“Bunda kalau cemberut tambah terlihat cantik, deh.”
Demikian rayunya.
Tidak hanya itu ulah Habib. Setiap pukul tujuh malam,
setelah menunaikan sholat isya’, dia selalu mengajarkan aku mengaji. Satu
persatu ayat Allah yang terucap dari bibirnya, menusuk-nusuk hatiku. Suara
Habib merdu. Lantunan surah-surah itu semakin terdengar indah di telinga.
Sungguh, perasaan tentram seperti ini belum pernah
kurasakan sebelumnya. Selama ini jiwaku hanya diisi dengan kebencian dan
amarah, kepada semua lelaki yang telah mengkhianati cintaku. Hingga akhirnya
datanglah sumpah itu, bahwa selamanya aku takkan mau mencintai lelaki lagi.
Lama perjalanan hidupku berayun pada dosa. Berkelana
mencari keindahan cinta pada hati seorang wanita bernama Reyna. Perhatiannya
membuatku luluh. Cintanya yang sewangi aroma vanila dan mint itu membuatku
lupa, bahwa kami telah melakukan dosa besar.
Astaghfirulloh ....
Air mataku berlinang deras. Sesak rasanya. Membuncah ke
seluruh ujun-ujung sukma yang telah menyebarkan aroma api Neraka Jahanam.
Iya, aku harus mengakhiri ini. Semua kesalahan yang telah
membuatku durhaka kepada agamaku. Kepada Tuhanku.
“Ya Allah, ampunilah aku ...,” desisku melirih.
“Bunda, kenapa kok tiba-tiba menangis?” Habib datang
mendekat. Jemarinya yang hangat mengusap lelehan air mata.
Kutatap lelaki pilihan Mamak itu. Aku sadar, Tuhan telah
memberikan amanah yang besar. Dari jiwa suamiku inilah tangan-Nya bekerja.
Menegur kesombonganku sebagai manusia. Mungkin saat itu Dia berkata, “Ingatlah
Oca, siapa Penciptamu!”
Kudecap sekali lagi istighfar di dalam hati. Habib meraih
tubuhku dan memeluknya. Aku menangis kencang. Membuang semua penyesalan di bahu
suami tercinta. Karena dirinya-lah yang telah mengenalkanku akan rasa cinta
kepada Tuhan ....
Perempuan
yang Terluka ...
Malam yang begitu senyap di antara kami berdua.
Keheningan yang mencekik. Aku dan Reyna terduduk pada sudut salah satu cafe di
kota kami. Tempat yang selalu kujadikan saksi, untuk pertemuan-pertemuan yang
memabukkan bersamanya.
Kulihat Reyna meremas jemarinya yang lentik. Matanya
basah. Menandakan hati lembut yang selalu terjaga tidurnya itu, kini tengah
tercabik-cabik. Untuk kedua kali.
“Kau pernah ngomong, kan, kita masih bisa saling bertemu.
Lalu kenapa sekarang kau bilang semuanya telah berakhir?” Bibir merahnya
digigit. Kedua katup itu sudah bergetar sejak tadi.
“Bukan begitu, Re. Hanya saja ....”
“Hanya saja apa! Kau telah berubah, Ca!” Reyna memekik.
Bola matanya memerah. Aku bisa memaklumi kepedihannya.
Iya, aku memang sudah jauh berubah. Bahkan saat ini aku
telah menutup auratku dengan jilbab. Sesuatu yang tak disukai oleh Reyna. Ah,
apalagi yang tak dibenci olehnya pada diriku kini? Tidak ada!
Kopi kami dingin, terbiarkan begitu saja tanpa terminum
sedikit pun. Reyna masih terbungkam dalam kemarahan. Memelototkan mata bulatnya
yang cantik ke arahku. Mulutnya masih bergetar, seperti hendak segera
melontarkan umpatan namun ditahan.
“Maafkan aku, Re. Ini sudah bukan jalanku lagi.
Seharusnya kau juga. Segeralah menikah dan bangun keluarga yang baik
sepertiku.”
“Bukan jalanmu lagi? Lalu bagaimana denganku, memangnya
aku bisa hidup tanpamu?”
Reyna menggertakkan giginya. Geram. Aku semakin iba
melihatnya. Kuraih jemari Reyna yang sedari tadi masih dimainkan. Dingin,
hampir sebeku kabut pagi yang mengambang di antara rerumputan.
“Re, apa yang telah kita lakukan selama ini salah. Itu
semua dosa. Sudah waktunya bagi kita bertaubat dan kembali ke jalan-Nya. Umur
tidak bisa kita tebak, Rey. Siapa tahu besok kita mati dan belum sempat memohon
ampunan-Nya.”
Re menepis tanganku dengan kasar.
“Siapa yang telah merubahmu? Lelaki itukah, yang sudah
kau nikahi enam bulan lalu? Dasar pengkhianat!”
“Re ....”
“Akh, cukup! Kau pikir semua jalan hidup itu mudah untuk
diperbaiki begitu saja? Tidak, Ca! Mungkin iya bagimu, kau bisa bahagia
bersamanya. Tapi tolong ..., buka matamu. Lihat aku. Lihatlah apa yang telah
kualami selama ini tanpa kau di sisiku!”
Dia bangkit dari kursi, berdiri membelakangiku, lalu
mengangkat kemejanya tinggi-tinggi. Aku tersentak. Sebuah lebam yang melebar di
punggung Reyna, tertangkap oleh mataku.
"Lihat ini! Siksaan inilah yang kudapat dari pria
itu. Pria yang kudapatkan agar bisa menikah dan membangun rumah tangga. Demi
siapa? Demi kau! Ini permintaanmu, bukan?!"
Jiwaku seketika menjadi kerdil. Terluka. Tak mampu lagi
menatap bekas luka yang diderita oleh Reyna.
"Kau enak, Ca. Kau bisa berpaling dan mencampakkan
aku! Kau bahagia, sedangkan aku tidak!"
Teriakan-teriakan Reyna semakin kencang. Tangisannya
membuncah. Membuat pengunjung cafe memperhatikan. Semua mata, menghujam keras
ke arah kami ....
Jeda ...
Hari-hari telah berlalu. Menggulung berminggu-minggu. Kisah
tentang Reyna telah menghilang bagaikan ditelan kebenciannya di malam itu. Tak
satu pun suara dering telepon dari Reyna. Senyap. Dalam hati sebenarnya aku mengkhawatirkan
dia. Tetapi aku telah berjanji, cukuplah sudah lembaran hitam bersama Reyna
kututup saat ini juga.
“Ngelamun apa, Bund?” tanya Habib. Dia sudah berdiri di
sampingku.
“Tak ada.”
“Jika tak ada, ngapain Bunda diam di teras malam-malam
begini?”
Aku mengulum senyum. Pahit.
“Aku hanya teringat akan sahabatku, Reyna, Yah.”
“Sahabat? Yang mana? Kok Ayah tak pernah tahu nama Reyna
sebelum ini?”
Deg! Ah, aku telah salah mengucapkan nama Reyna. Memang
tak satu pun keluarga atau kawan-kawan lain yang pernah kuperkenalkan padanya.
Itu aturan main kami berdua. Hei, kami sedang melakukan hubungan gelap yang
hina. Tak mungkin kami berdua mengenalkan pasangan kami dengan begitu mudahnya.
“E-ehm, anu ... I-itu ...,” aku tergugup.
Kulihat kedua alis Habib mengernyit tajam.
“Ah, maksudku, Reyna itu sahabat lama yang baru saja
kembali bertemu tadi malam.”
“Ooohh ....”
“Ayah tenang saja. Bunda tak sedang memikirkan hal-hal
aneh kok.”
Habib tersenyum. Hatiku meluluh.
“Kita masuk, yuk? Sudah malam. Nanti Bunda bisa sakit
karena terkena angin.”
Aku mengangguk. Dengan gontai, kuikuti langkah Habib
memasuki rumah kami. Dalam hati aku mendecap sebuah doa teruntuk Reyna, semoga
dia akan baik-baik saja. Di sana. Entah, di mana pun dia kini berada.
Mati
...
“Ayah ..., cepet. Sakiitt ....”
Aku terus merintih kesakitan. Mobil kami tak bisa melaju
kencang. Jalanan pagi ini lumayan ramai. Perutku yang membuntal sudah
menusuk-nusuk sejak tadi. Rasa sakit yang tak tertahankan itu mulai menyerang
dalam hitungan setiap sepuluh menit sekali.
“Sabar, Bund. Istighfar. Minta sama Allah supaya rasa
sakitnya reda,” kata Habib. Nada suaranya terdengar gugup. Aku yakin sekali dia
pun tengah bingung dan cemas saat ini.
“Mana bisa reda, Ayaaah. Makin lama akan makin pendek
jarak kontraksinya. Aduuh please ...,
cepetan nyetirnya!”
“Iya, Bunda ... Iya. Ini sedang diusahakan cepet.”
Sakitku melilit. Aku terus menggeliat. Bahu kursi mobil
kuremas sekuat tenaga. Berharap semua ini cepat berlalu, agar aku bisa
istirahat dengan tenang.
***
Putri pertama kami lahir dengan sehat. Namanya Shifa.
Wajahnya secantik bulan yang tengah mengintip kami di balik kaca jendela rumah
sakit.
Habib tertidur di sisiku. Tangannya masih setia
menggenggam jari-jemariku. Hangat. Kubelai rambutnya yang ikal dan tebal.
Kasar. Tak terasa, air mataku menetes perlahan.
Hening. Entahlah. Aku merasakan suatu keheningan yang
menusuk. Sakit dan perih. Menyesakkan. Perasaan apa ini? Mengapa sebuah rasa
yang tak enak muncul begitu saja di hari yang bahagia ini?
Hei, ada apa? katakan padaku!
Suara langkah kaki yang berat datang ke kamar kami.
Seorang perawat bertubuh sintal menghampiri. Dia memohon ijin padaku agar
diperbolehkan membangunkan Habib. Aku mengangguk. Saat suamiku telah terbangun
dari mimpinya, perawat itu menggiringnya menjauh dari ranjangku.
Sayup-sayup terdengar sebuah perbincangan. Kuintip mereka
dari balik tirai panjang yang melingkar di atas ranjang. Untuk sesaat, Habib
sempat menoleh ke arahku. Rona wajahnya memucat. Kecemasan tampak menggantung
di sana.
Perasaan yang menusuk sejak tadi, kini terasa semakin
dalam. Dadaku bergemuruh. Panik. Ada apa? Lalu, tanpa berkata sepatah kata pun,
Habib melesat pergi bersama perawat itu.
Hilang. Meninggalkan aku sendirian, yang hampir mati
terbunuh oleh rasa sakit di dada.
***
Aku pernah membaca, seseorang berkata dalam tulisannya.
Bahwa dosa dan semua kesalahan-kesalahan yang kita lakukan di dunia, bagaikan
hutang. Suatu waktu kita harus membayarnya. Entah saat masih hidup di dunia,
atau membayarnya saat kita sudah ada di alam baka.
Celoteh itu benar. Sekarang, inilah hutang yang harus
kubayar. Shifa menghilang. Diculik. Awalnya kami tak tahu siapa yang tega
mencuri bayi kecilku itu. Namun setelah ditemukan sepucuk surat yang terselip
di ranjang bayi, aku tahu ... inilah balasan atas kesalahanku padanya.
“Kau boleh pergi dan meninggalkanku begitu saja, Ca. Tapi
sebagai gantinya, kuambil apa yang sudah kau janjikan. Anakku!”
Ah, Reyna ... Akhirnya kau datang juga menagih dosa-dosa
yang telah kuperbuat padamu. Kau berhasil membunuhku sekarang. Lihatlah, aku
mati di sini. Diam, dan bisu. Terduduk di teras rumahku, sambil melihat senja
yang dulu pernah kita nikmati bersama. Jiwaku kosong. Kau telah membawanya
pergi. Jauh. Tanpa mampu kukejar lagi.
Februari – 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar