Sabtu, 31 Oktober 2015

CINTA


 

Kisah Terlarang ...

 

“Kapan kau akan menikah?” tanya kekasihku. Matanya nanar. Aku tahu beban kecewa tengah merasuki jiwa kosongnya.

“Dua bulan lagi,” jawabku melemah. Sesak rasanya karena harus jujur kepada kekasih yang telah lama mendampingiku selama dua tahun ini.

Bulir air matanya menggenang.

“Mengapa tak kau tolak saja pernikahan itu, Ca? Apa kau sudah tak mencintaiku lagi?”

“Aku tak mampu menolak, Re ... Mamakku sudah sakit parah!” kupekik kekecewaan. Tidak seharusnya perasaan itu tertumpah pada dirinya yang tak bersalah.

“Jadi kau lebih mencintai Mamakmu, lalu mencampakkan aku ... Iya?!”

“Re, jangan ngomong seperti itu, please. Kau pun sebenarnya tahu, bukan, aku tak berdaya sama sekali ....”

Wajah kekasihku kembali sayu. Tangis yang tertahan sejak, akhirnya tumpah juga. Kupeluk dirinya erat. Berusaha menenangkan jiwanya yang kini tengah rapuh karena ketidakberdayaan kami.

Aku yang terlalu takut menolak perjodohan keluarga, dan dirinya yang memendam kenyataan. Sejak awal hubungan ini, sudah jelas kami takkan bisa menyatu. Kini, kami hanya bisa saling menguatkan batin masing-masing.

“Ca, apa setelah ini kita masih bisa bertemu?”

“Bisa, Re ..., pasti bisa.”

“Jangan pernah tinggalkan aku.”

“Tidak akan. Walaupun aku menikah, bukan berarti cintaku padamu telah hilang. Kita satu. Kau dan aku sudah terpaut takdir yang tidak akan bisa dimengerti oleh mereka.”

Kekasihku tersenyum. Bibirnya yang merona membuatku semakin berdebar. Dia cantik, seindah bulan yang bulat sempurna. Setiap cinta yang dia dekapkan di hatiku begitu sedap. Pengertiannya, kelembutannya, perhatiannya ..., semua. Begitu nikmat menjerat bilik-bilik hati yang sudah lama dikecewakan oleh banyak lelaki.

“Re, aku cinta padamu ....”

“Aku juga, Ca. Dan selamanya hanya akan ada namamu di hatiku.”

Kukecup kening kekasihku. Hangat.

“Re, bagaimana jika kau menikah juga, seperti aku. Temukanlah lelaki yang baik untukmu. Bangunlah keluarga yang bahagia.”

Mata kekasihku masih menggantung tanya.

“Aku, menikah? Haruskah itu?”

Aku mengangguk cepat. Tersenyum hangat kepadanya.

“Harus, Re. Karena kita adalah seorang wanita. Menikah dan membangun rumah tangga adalah kewajiban yang telah dipatri secara paksa sebagai kodrat kita. Kau mengerti, bukan?”

“Ah, kau benar. Wanita yang tak menikah akan dikucilkan oleh masyarakat kita yang kolot. Baiklah, aku akan mencari pria yang mau kunikahi. Yaa ..., walaupun itu tak mudah bagiku memilih satu di antara banyak pria yang sangat kubenci itu. Tapi, sebelumnya aku punya permintaan, Ca.”

“Permintaan, apa itu?”

“Berjanjilah. Jika suatu saat kau melahirkan anak dari lelaki itu, maka ijinkan aku ikut memilikinya, ya? Please ..., sudah lama aku ingin menjadi ibu. Tapi kau tahu, kan, aku sangat membenci lelaki. Jadi tak mungkin aku memiliki anak dari mereka. Ya?”

Aku mengangguk. Dia tersenyum.

Pelukan Reyna semakin erat. Kubelai rambutnya yang lurus sebahu itu. Aroma vanila bercampur mint, menyeruak di cupingku. Lalu, dalam senja yang hampir mati, aku dan dirinya kini semakin mengerti bahwa cinta tidak akan pernah bisa terpisahkan walaupun takdir berkata lain pada kami.

 

Lelakiku, Habib ...

 

“Ca, aku kangen. Bisa ketemu gak malam ini?”

Sebuah pesan singkat kuterima dari Reyna. Sejenak aku meragu. Bimbang. Tak tahu harus kubalas dengan kata-kata apa.

Pernikahanku dengan Habib bisa dibilang bahagia. Dia lelaki yang baik dan sopan. Soleh. Tak pernah sekali pun marah, walau sering kubuat hatinya naik pitam. Habib sangat sabar menghadapi sifat kekanak-kanakkanku.

Setiap subuh dia selalu membangunkan aku dengan lembut. Mengecup kening dan berbisik mesra di cuping.

“Bunda, ayo bangun. Malu dong sama sang fajar, jam segini dia sudah menekuk subuhnya kepada Allah.”

Awalnya aku marah. Bahkan almarhum Mamak tidak pernah berani membangunkan lelapku di kala pagi. Habib sering kuomeli panjang lebar. Menggerutu tak jelas. Tetapi dia bukanlah lelaki yang mudah menyerah. Walaupun aku bangun dengan menyungging manyun dan bertampang dongkol, dia tetap memelukku erat. Mencoba meredakan amarahku.

“Bunda kalau cemberut tambah terlihat cantik, deh.” Demikian rayunya.

Tidak hanya itu ulah Habib. Setiap pukul tujuh malam, setelah menunaikan sholat isya’, dia selalu mengajarkan aku mengaji. Satu persatu ayat Allah yang terucap dari bibirnya, menusuk-nusuk hatiku. Suara Habib merdu. Lantunan surah-surah itu semakin terdengar indah di telinga.

Sungguh, perasaan tentram seperti ini belum pernah kurasakan sebelumnya. Selama ini jiwaku hanya diisi dengan kebencian dan amarah, kepada semua lelaki yang telah mengkhianati cintaku. Hingga akhirnya datanglah sumpah itu, bahwa selamanya aku takkan mau mencintai lelaki lagi.

Lama perjalanan hidupku berayun pada dosa. Berkelana mencari keindahan cinta pada hati seorang wanita bernama Reyna. Perhatiannya membuatku luluh. Cintanya yang sewangi aroma vanila dan mint itu membuatku lupa, bahwa kami telah melakukan dosa besar.

Astaghfirulloh ....

Air mataku berlinang deras. Sesak rasanya. Membuncah ke seluruh ujun-ujung sukma yang telah menyebarkan aroma api Neraka Jahanam.

Iya, aku harus mengakhiri ini. Semua kesalahan yang telah membuatku durhaka kepada agamaku. Kepada Tuhanku.

“Ya Allah, ampunilah aku ...,” desisku melirih.

“Bunda, kenapa kok tiba-tiba menangis?” Habib datang mendekat. Jemarinya yang hangat mengusap lelehan air mata.

Kutatap lelaki pilihan Mamak itu. Aku sadar, Tuhan telah memberikan amanah yang besar. Dari jiwa suamiku inilah tangan-Nya bekerja. Menegur kesombonganku sebagai manusia. Mungkin saat itu Dia berkata, “Ingatlah Oca, siapa Penciptamu!”

Kudecap sekali lagi istighfar di dalam hati. Habib meraih tubuhku dan memeluknya. Aku menangis kencang. Membuang semua penyesalan di bahu suami tercinta. Karena dirinya-lah yang telah mengenalkanku akan rasa cinta kepada Tuhan ....

 

Perempuan yang Terluka ...

 

Malam yang begitu senyap di antara kami berdua. Keheningan yang mencekik. Aku dan Reyna terduduk pada sudut salah satu cafe di kota kami. Tempat yang selalu kujadikan saksi, untuk pertemuan-pertemuan yang memabukkan bersamanya.

Kulihat Reyna meremas jemarinya yang lentik. Matanya basah. Menandakan hati lembut yang selalu terjaga tidurnya itu, kini tengah tercabik-cabik. Untuk kedua kali.

“Kau pernah ngomong, kan, kita masih bisa saling bertemu. Lalu kenapa sekarang kau bilang semuanya telah berakhir?” Bibir merahnya digigit. Kedua katup itu sudah bergetar sejak tadi.

“Bukan begitu, Re. Hanya saja ....”

“Hanya saja apa! Kau telah berubah, Ca!” Reyna memekik. Bola matanya memerah. Aku bisa memaklumi kepedihannya.

Iya, aku memang sudah jauh berubah. Bahkan saat ini aku telah menutup auratku dengan jilbab. Sesuatu yang tak disukai oleh Reyna. Ah, apalagi yang tak dibenci olehnya pada diriku kini? Tidak ada!

Kopi kami dingin, terbiarkan begitu saja tanpa terminum sedikit pun. Reyna masih terbungkam dalam kemarahan. Memelototkan mata bulatnya yang cantik ke arahku. Mulutnya masih bergetar, seperti hendak segera melontarkan umpatan namun ditahan.

“Maafkan aku, Re. Ini sudah bukan jalanku lagi. Seharusnya kau juga. Segeralah menikah dan bangun keluarga yang baik sepertiku.”

“Bukan jalanmu lagi? Lalu bagaimana denganku, memangnya aku bisa hidup tanpamu?”

Reyna menggertakkan giginya. Geram. Aku semakin iba melihatnya. Kuraih jemari Reyna yang sedari tadi masih dimainkan. Dingin, hampir sebeku kabut pagi yang mengambang di antara rerumputan.

“Re, apa yang telah kita lakukan selama ini salah. Itu semua dosa. Sudah waktunya bagi kita bertaubat dan kembali ke jalan-Nya. Umur tidak bisa kita tebak, Rey. Siapa tahu besok kita mati dan belum sempat memohon ampunan-Nya.”

Re menepis tanganku dengan kasar.

“Siapa yang telah merubahmu? Lelaki itukah, yang sudah kau nikahi enam bulan lalu? Dasar pengkhianat!”

“Re ....”

“Akh, cukup! Kau pikir semua jalan hidup itu mudah untuk diperbaiki begitu saja? Tidak, Ca! Mungkin iya bagimu, kau bisa bahagia bersamanya. Tapi tolong ..., buka matamu. Lihat aku. Lihatlah apa yang telah kualami selama ini tanpa kau di sisiku!”

Dia bangkit dari kursi, berdiri membelakangiku, lalu mengangkat kemejanya tinggi-tinggi. Aku tersentak. Sebuah lebam yang melebar di punggung Reyna, tertangkap oleh mataku.

"Lihat ini! Siksaan inilah yang kudapat dari pria itu. Pria yang kudapatkan agar bisa menikah dan membangun rumah tangga. Demi siapa? Demi kau! Ini permintaanmu, bukan?!"

Jiwaku seketika menjadi kerdil. Terluka. Tak mampu lagi menatap bekas luka yang diderita oleh Reyna.

"Kau enak, Ca. Kau bisa berpaling dan mencampakkan aku! Kau bahagia, sedangkan aku tidak!"

Teriakan-teriakan Reyna semakin kencang. Tangisannya membuncah. Membuat pengunjung cafe memperhatikan. Semua mata, menghujam keras ke arah kami ....

 

Jeda ...

 

Hari-hari telah berlalu. Menggulung berminggu-minggu. Kisah tentang Reyna telah menghilang bagaikan ditelan kebenciannya di malam itu. Tak satu pun suara dering telepon dari Reyna. Senyap. Dalam hati sebenarnya aku mengkhawatirkan dia. Tetapi aku telah berjanji, cukuplah sudah lembaran hitam bersama Reyna kututup saat ini juga.

“Ngelamun apa, Bund?” tanya Habib. Dia sudah berdiri di sampingku.

“Tak ada.”

“Jika tak ada, ngapain Bunda diam di teras malam-malam begini?”

Aku mengulum senyum. Pahit.

“Aku hanya teringat akan sahabatku, Reyna, Yah.”

“Sahabat? Yang mana? Kok Ayah tak pernah tahu nama Reyna sebelum ini?”

Deg! Ah, aku telah salah mengucapkan nama Reyna. Memang tak satu pun keluarga atau kawan-kawan lain yang pernah kuperkenalkan padanya. Itu aturan main kami berdua. Hei, kami sedang melakukan hubungan gelap yang hina. Tak mungkin kami berdua mengenalkan pasangan kami dengan begitu mudahnya.

“E-ehm, anu ... I-itu ...,” aku tergugup.

Kulihat kedua alis Habib mengernyit tajam.

“Ah, maksudku, Reyna itu sahabat lama yang baru saja kembali bertemu tadi malam.”

“Ooohh ....”

“Ayah tenang saja. Bunda tak sedang memikirkan hal-hal aneh kok.”

Habib tersenyum. Hatiku meluluh.

“Kita masuk, yuk? Sudah malam. Nanti Bunda bisa sakit karena terkena angin.”

Aku mengangguk. Dengan gontai, kuikuti langkah Habib memasuki rumah kami. Dalam hati aku mendecap sebuah doa teruntuk Reyna, semoga dia akan baik-baik saja. Di sana. Entah, di mana pun dia kini berada.

 

 

Mati ...

 

“Ayah ..., cepet. Sakiitt ....”

Aku terus merintih kesakitan. Mobil kami tak bisa melaju kencang. Jalanan pagi ini lumayan ramai. Perutku yang membuntal sudah menusuk-nusuk sejak tadi. Rasa sakit yang tak tertahankan itu mulai menyerang dalam hitungan setiap sepuluh menit sekali.

“Sabar, Bund. Istighfar. Minta sama Allah supaya rasa sakitnya reda,” kata Habib. Nada suaranya terdengar gugup. Aku yakin sekali dia pun tengah bingung dan cemas saat ini.

“Mana bisa reda, Ayaaah. Makin lama akan makin pendek jarak kontraksinya. Aduuh please ..., cepetan nyetirnya!”

“Iya, Bunda ... Iya. Ini sedang diusahakan cepet.”

Sakitku melilit. Aku terus menggeliat. Bahu kursi mobil kuremas sekuat tenaga. Berharap semua ini cepat berlalu, agar aku bisa istirahat dengan tenang.

 

***

 

Putri pertama kami lahir dengan sehat. Namanya Shifa. Wajahnya secantik bulan yang tengah mengintip kami di balik kaca jendela rumah sakit.

Habib tertidur di sisiku. Tangannya masih setia menggenggam jari-jemariku. Hangat. Kubelai rambutnya yang ikal dan tebal. Kasar. Tak terasa, air mataku menetes perlahan.

Hening. Entahlah. Aku merasakan suatu keheningan yang menusuk. Sakit dan perih. Menyesakkan. Perasaan apa ini? Mengapa sebuah rasa yang tak enak muncul begitu saja di hari yang bahagia ini?

Hei, ada apa? katakan padaku!

Suara langkah kaki yang berat datang ke kamar kami. Seorang perawat bertubuh sintal menghampiri. Dia memohon ijin padaku agar diperbolehkan membangunkan Habib. Aku mengangguk. Saat suamiku telah terbangun dari mimpinya, perawat itu menggiringnya menjauh dari ranjangku.

Sayup-sayup terdengar sebuah perbincangan. Kuintip mereka dari balik tirai panjang yang melingkar di atas ranjang. Untuk sesaat, Habib sempat menoleh ke arahku. Rona wajahnya memucat. Kecemasan tampak menggantung di sana.

Perasaan yang menusuk sejak tadi, kini terasa semakin dalam. Dadaku bergemuruh. Panik. Ada apa? Lalu, tanpa berkata sepatah kata pun, Habib melesat pergi bersama perawat itu.

Hilang. Meninggalkan aku sendirian, yang hampir mati terbunuh oleh rasa sakit di dada.

 

***

 

Aku pernah membaca, seseorang berkata dalam tulisannya. Bahwa dosa dan semua kesalahan-kesalahan yang kita lakukan di dunia, bagaikan hutang. Suatu waktu kita harus membayarnya. Entah saat masih hidup di dunia, atau membayarnya saat kita sudah ada di alam baka.

Celoteh itu benar. Sekarang, inilah hutang yang harus kubayar. Shifa menghilang. Diculik. Awalnya kami tak tahu siapa yang tega mencuri bayi kecilku itu. Namun setelah ditemukan sepucuk surat yang terselip di ranjang bayi, aku tahu ... inilah balasan atas kesalahanku padanya.

“Kau boleh pergi dan meninggalkanku begitu saja, Ca. Tapi sebagai gantinya, kuambil apa yang sudah kau janjikan. Anakku!”

Ah, Reyna ... Akhirnya kau datang juga menagih dosa-dosa yang telah kuperbuat padamu. Kau berhasil membunuhku sekarang. Lihatlah, aku mati di sini. Diam, dan bisu. Terduduk di teras rumahku, sambil melihat senja yang dulu pernah kita nikmati bersama. Jiwaku kosong. Kau telah membawanya pergi. Jauh. Tanpa mampu kukejar lagi.

 

 

 

 

Februari – 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar