Sejak
pertama kali dia melihat ranjang kayu jati itu, dia telah terpesona dengan ukiran-ukirannya
yang cantik. Sepasang burung merak yang tengah menelungkupkan ekornya di
tengah-tengah kuncup teratai. Tanpa pikir panjang, lelaki itu pun membelinya
dengan harga tinggi dari tangan sang pengukir. Dia berharap, ini adalah hadiah
terindah untuk istri barunya yang akan dinikahinya seminggu lagi.
Gadis
itu masih belia, enam belas tahun. Bagaikan menarik paksa buah mangga muda dari
pohonnya yang merindang, untuk dimakan mentah-mentah. Padahal lelaki itu telah
memiliki dua istri yang masih berkulit licin dan ayu-ayu. Namun, jiwa
kelelakiannya masih saja berliur tatkala melihat gadis itu melenggok gemulai
melewatinya pada pagi dua bulan lalu.
“Siapa
gadis cantik itu, Wak?”
“Ooh,
ia Seruni. Anak Kasiman, pekerja di kebun kopi Abang.”
“Elok
nian gadis itu. Kenalkan aku pada bapaknya, Wak!”
“Gampang,
Bang, bisa diatur!”
Maka,
dengan berbagai bujuk rayu kekuasaannya dan kekayaannya, lelaki itu meminang
(secara paksa) si Seruni. Bapak gadis itu hanya bisa pasrah. Walaupun anaknya
bersujud memohon agar dia mau menolak pinangan lelaki tua kaya raya itu, dia
tetap bergeming dalam kebisuan lukanya.
Hari-hari
Seruni jadi buram. Ia bahkan tak ingin lagi membuka matanya tatkala terpejam
dalam mimpi. Ia ingin selamanya tertidur, agar tak merasakan pedihnya menikah
dengan lelaki yang tak ia cintai.
“Kita
lari saja, Ni. Bagaimana?” ajak kawan prianya.
“Tidak,
Uda. Bagaimana nanti dengan bapakku?”
“Kau
benar, Ni. Dia pasti akan kena petaka!”
Wajah
nan murung. Hati yang berkecai. Lalu hari itu pun tiba. Iring-iringan mewah
yang belum pernah ada di desanya, datang menjemput. Mereka, perempuan-perempuan
jejadian itu mendandani Seruni bak ratu. Memakaikannya baju mewah yang belum
pernah dilihat oleh mata-mata gadis pendengki di desanya. Kemudian, ia didudukan
di atas tandu yang dipanggul empat lelaki kekar. Tandu yang megah, dengan
rumbai-rumbai pelangi. Ia diarak hingga menuju rumah lelaki tuanya. Rumah
paling besar, milik juragan kebun kopi yang terkenal penggila wanita.
Peta
pernikahan yang meriah. Tawa-tawa menjemuhkan dari para juragan, pejabat desa,
tuan tanah beserta wanita-wanita mereka, membuat Seruni muak. Wajah-wajah
menyedihkan. Memakai paksa topeng tertawa, padahal hati mereka saling merintih
kedengkian.
Malam
melata, terjebak pada kepekatan. Keheningan pingsan di antara sisa-sisa pesta.
Ketakutan mulai menjamah hati Seruni, saat kewajibannya sebagai seorang istri
mulai dituntut sang suami.
Pintu
kamar terbuka. Seruni meringkuk di atas ranjang baru berukir merak dan teratai.
Jantung gadis itu meruak kegetiran. Ditatapnya langkah gontai seorang lelaki
yang tengah mabuk, memasuki kamar pengantin. Bau yang busuk menusuk. Membuat
Seruni makin ketakutan, menekuk kedua kakinya, duduk di sudut ranjang.
Suaminya
terkekeh. Rona birahi mencuat. Tangan-tangan keriputnya meraih kancing baju
Seruni. Satu persatu, dibuka. Gadis itu hanya bisa diam. Mengatupkan kedua
matanya, karena tak ingin melihat wajah beringas yang haus darah perawan.
“Jangan
takut, Sayang.”
Raut
yang mencekik. Jiwa yang ketakutan. Keduanya tiba-tiba dikejutkan oleh suara
daun pintu yang diadu dengan dinding. Seruni yang setengah telanjang, membuka
kedua matanya lebar-lebar. Seorang wanita kalap, menggenggam pisau yang
menyeringai tajam. Secepat kilat yang menyambar tanah lapang, wanita itu
melesat beringas. Menghujam dada suami Seruni.
Wanita
yang tengah hangus dada itu menatap tajam ke arah Seruni. Matanya membuntang.
Seruni gemetaran. Tanpa memberi jeda, dia pun menusuk sang pengantin wanita.
Berkali-kali. Hingga tubuh mungil itu menggelepar, mengejan lalu diam.
Malam
semerah darah. Kebencian istri pertama menorehkan kisah pedih pada ranjang
berukir merak dan teratai. Kini, tak ada yang mau menggunakan ranjang kayu jati
itu lagi. Karena, ketika langit muncul tanpa cahaya bulan dan warna awan
sepekat darah yang hitam, ada suara tangis yang memilu. Samar-samar, bayangan
gadis dengan dada penuh lubang duduk di sudut ranjang.
Sidoarjo, September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar