Kamis, 09 Juli 2015

WANITA TUA PENGGILA STROBERI



 

Sstt! Apakah kau pernah bertemu alien?

Aku pernah! Wajahnya sudah dikuasai oleh garis-garis keriput. Yaa ..., walaupun kuakui jika guratan kecantikannya masih begitu kental ia miliki. Senyumnya juga manis. Tetapi, jangan pernah berharap kalimat-kalimat yang mampu memabukkan hatimu akan keluar dari bibirnya. Tidak akan pernah! Alien tua ini, justru akan lebih senang mencabik-cabik harga dirimu, ketimbang memuji sedikit saja kebaikanmu.

Kau tahu siapa dia?

Dia ibu mertuaku. Tidak, tidak. Jangan tertawa, aku sedang tak bercanda. Aku serius!

Pertama kali melihatnya, aku sempat terpesona dengan keanggunan yang ia miliki. Rambutnya ikal sebahu. Berwarna hitam legam—pasti karena pewarna rambut—dengan jambul yang dianyam tinggi-tinggi ke arah belakang. Setiap kali ia bergerak, aroma parfum stroberinya akan menyeruak ke cuping hidungmu.

Hari itu ia duduk tenang di bangku kafe tempatku bekerja, sambil menatap lalu lalang manusia dari balik kaca jendela. Saat kuhampiri dan mempertanyakan apa yang ingin dipesannya, ia hanya menatapku, lama. Dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Setelah itu, ia kembali melempar pupil matanya ke arah kaca jendela.

“Nanti saja, tunggu anakku!” jawabnya dengan ketus.

Aku langsung tersentil rasa jengkel. Bagaimana bisa wanita tua itu berkata tanpa memandang lawan bicaranya? Nada suaranya pedas pula. Ia pasti sedang meremehkanku, bukan begitu?

Lalu tak beberapa lama kemudian, sosok pemuda bertubuh tinggi tegap datang menghampiri kami. Tiba-tiba dia menempatkan dirinya di sampingku, sambil melemparkan senyum yang selalu kurindukan.

“Hai, Risma. Rupanya kalian sudah saling bertemu, ya,” katanya.

Seketika sebuah bom berlabel shock therapy meledak di jantungku! Saat itulah aku sadar, wanita tua yang tengah duduk di hadapanku itu adalah calon ibu mertua.

Lima bulan setelah kejadian itu, aku menikah dengan kekasihku, Hangga. Karena dia adalah anak satu-satunya, kami pun memilih tinggal bersama kedua orang tuanya.

Rumah Hangga memang tidak sebesar rumah-rumah di kompleks tempat dia tinggal. Namun halaman belakangnya sangat luas. Ibu mertua memiliki rumah kaca, tempat ia merawat kebun stroberi. Aku baru tahu, ternyata ibu seorang penggila buah mungil berwarna merah pekat itu. Sampai-sampai ia rela menyisakan tanahnya untuk membangun rumah kaca.

Setiap pagi, setelah menyiapkan sarapan, ibu selalu berkubang di kebun kesayangannya. Bahkan ia bisa berlama-lama di sana sampai matahari duduk di atas kepala. Jika sudah demikian, tak seorang pun berani menghalau atau sekedar mengingatkannya untuk beristirahat. Bukannya diberi senyum atau ucapan terima kasih, malah akan dicibir habis-habisan.

Seminggu-dua minggu, aku masih belum terlalu peduli. Karena aku pun tengah sibuk bekerja di kafe. Hingga akhirnya, rasa penasaranku menggelitik. Ada apakah gerangan di kebun itu? Maka, hari ini kuendapkan kedua kaki menuju tempat beliau menghabiskan waktunya. Pelan-pelan kutajamkan mata, mengintip ibu dari sela-sela rumah kaca.

Kosong. Tak tampak seorang pun di dalam sana. Hanya kumpulan tanaman perdu yang beraroma harum dan legit. Sejenak aku menelan ludah. Degup jantungku masih berdetak kencang. Lalu, tiba-tiba ....

“Ngapain kamu di situ!”

Sebuah hardikan memukul keterkejutanku. Sosok manusia alien itu sudah berdiri di belakang. Lengkap dengan topi putih, sarung tangan karet berwarna hijau, celemek kain bermotif bunga-bunga, dan sebuah sekop berkarat di tangannya yang berlumuran tanah basah.

Mengerikan!

“A—anu ... Itu, ee ....”

Sialan, mengapa aku segitu gugupnya menghadapi ibu mertua sendiri? Rasanya seperti mau menangis.

“Anu, anu! Kalau mau lihat ya masuk ke dalam, jangan ngintip kaya maling!”

Glek! Kutelan rasa jengah dalam-dalam. Dengan senyum terpaksa dan menggarukkan kepala, aku pun mengikuti langkah ibu. Masuk ke dalam kebunnya. Begitu kakiku menginjak tanah, aroma yang sedari tadi hanya sekedar menggelitik hidung, sekarang menguasai udara sekitar. Segar, lembut dan manis. Aku hampir tak mempercayainya jika perasaanku bisa begitu tenang di sini.

“Kau suka stroberi?” tanya ibu. Kulihat tangannya sedang menarik lembut sebuah stroberi yang telah merah mengkal dari ujung tangkai.

“Ehm, sedikit, Bu. Tidak terlalu suka,” jawabku. Seketika mata ibu melotot. Baiklah, aku pasti telah salah bicara. Sebentar lagi ia pasti akan mengeluarkan jurus omelannya yang ketus dan menusuk-nusuk itu.

Kulihat ibu sudah hendak membuka mulutnya. Aku pun siap-siap melepaskan jurus maklum sebesar Kamehame mulik Sun Go Kong, tokoh kartun kesayanganku.

“Cih, kasihan sekali kamu,” desisnya. Nah, benarkan apa yang sudah kuduga. Pelan tapi mencabik.

Setelah membuang kalimat itu, ibu kembali menatap stroberinya. Tanpa kuduga, wajah ibu memendarkan kelembutan. Bola matanya membesar, berbinar-binar bak seekor kucing yang akan diberi makan oleh majikannya. 

“Stroberi itu seperti layaknya kita, manusia. Dia akan memberikan rasa terbaiknya jika kau memberikan dia kasih sayang yang tulus, Risma.”

Aku terkesima. Iya, beneran! Saat ini ibu terlihat sangat indah di mataku. Sudah tak mirip lagi seperti makhluk aneh dari luar angkasa yang tak bisa kupahami itu. Kini, ia menjelma seperti peri buah yang cantik jelita. Ya ..., tentu saja peri tanpa sayap, tetapi masih tetap dengan wajah tua dan perkakas berkebun yang lengkap.

“Ini makanlah.” Ibu menyodorkan sebuah stroberi ke bibirku. Buah itu hendak kuraih, namun ibu mencegahnya. Dia berniat untuk menyuapiku dengan tangannya sendiri. Akhirnya kubuka juga mulutku dan mengunyah buah merah itu pelan-pelan.

Rasanya manis dengan sedikit asam yang mengigit. Buah stroberi termanis yang pernah kumakan. Tanpa sadar kuteteskan air mataku. Tiba-tiba hatiku menjadi terharu. Ada sebuah rasa menusuk lembut di dalamnya.

Cinta ..., dan sedikit ketekunan dari tangan seorang ibu yang hangat. Benar-benar rasa stroberi yang ajaib!

“Dasar cengeng!” sahut ibu. Mimik wajahnya sudah berubah kembali menjadi alien tua yang tak kusukai.

“Kalau mau nangis jangan di sini. Ini tempatku memelihara anak-anakku. Nangis saja sana di kamarmu.”

Ibu masih terus mencacau sambil membelakangiku. Tak mengapa. Sungguh, aku sudah tak mengapa.

“Bu, besok-besok Risma boleh tidak menemani Ibu di sini?”

“Terserah!”

Ya, ya ... Aku dengar dia berkata dengan nada yang seperti biasanya. Ketus. Namun aku pun melihat, sebuah senyum tersungging di bibirnya.
 
 

 

 

AM—180514

Tidak ada komentar:

Posting Komentar