Sstt! Apakah kau pernah
bertemu alien?
Aku pernah! Wajahnya sudah
dikuasai oleh garis-garis keriput. Yaa ..., walaupun kuakui jika guratan
kecantikannya masih begitu kental ia miliki. Senyumnya juga manis. Tetapi,
jangan pernah berharap kalimat-kalimat yang mampu memabukkan hatimu akan keluar
dari bibirnya. Tidak akan pernah! Alien tua ini, justru akan lebih senang
mencabik-cabik harga dirimu, ketimbang memuji sedikit saja kebaikanmu.
Kau tahu siapa dia?
Dia ibu mertuaku. Tidak,
tidak. Jangan tertawa, aku sedang tak bercanda. Aku serius!
Pertama kali melihatnya, aku
sempat terpesona dengan keanggunan yang ia miliki. Rambutnya ikal sebahu.
Berwarna hitam legam—pasti karena pewarna rambut—dengan jambul yang dianyam
tinggi-tinggi ke arah belakang. Setiap kali ia bergerak, aroma parfum
stroberinya akan menyeruak ke cuping hidungmu.
Hari itu ia duduk tenang di
bangku kafe tempatku bekerja, sambil menatap lalu lalang manusia dari balik
kaca jendela. Saat kuhampiri dan mempertanyakan apa yang ingin dipesannya, ia
hanya menatapku, lama. Dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Setelah itu, ia
kembali melempar pupil matanya ke arah kaca jendela.
“Nanti saja, tunggu anakku!”
jawabnya dengan ketus.
Aku langsung tersentil rasa
jengkel. Bagaimana bisa wanita tua itu berkata tanpa memandang lawan bicaranya?
Nada suaranya pedas pula. Ia pasti sedang meremehkanku, bukan begitu?
Lalu tak beberapa lama
kemudian, sosok pemuda bertubuh tinggi tegap datang menghampiri kami. Tiba-tiba
dia menempatkan dirinya di sampingku, sambil melemparkan senyum yang selalu
kurindukan.
“Hai, Risma. Rupanya kalian
sudah saling bertemu, ya,” katanya.
Seketika sebuah bom berlabel shock therapy meledak di jantungku! Saat
itulah aku sadar, wanita tua yang tengah duduk di hadapanku itu adalah calon
ibu mertua.
Lima bulan setelah kejadian
itu, aku menikah dengan kekasihku, Hangga. Karena dia adalah anak satu-satunya,
kami pun memilih tinggal bersama kedua orang tuanya.
Rumah Hangga memang tidak
sebesar rumah-rumah di kompleks tempat dia tinggal. Namun halaman belakangnya
sangat luas. Ibu mertua memiliki rumah kaca, tempat ia merawat kebun stroberi.
Aku baru tahu, ternyata ibu seorang penggila buah mungil berwarna merah pekat
itu. Sampai-sampai ia rela menyisakan tanahnya untuk membangun rumah kaca.
Setiap pagi, setelah
menyiapkan sarapan, ibu selalu berkubang di kebun kesayangannya. Bahkan ia bisa
berlama-lama di sana sampai matahari duduk di atas kepala. Jika sudah demikian,
tak seorang pun berani menghalau atau sekedar mengingatkannya untuk
beristirahat. Bukannya diberi senyum atau ucapan terima kasih, malah akan
dicibir habis-habisan.
Seminggu-dua minggu, aku masih
belum terlalu peduli. Karena aku pun tengah sibuk bekerja di kafe. Hingga
akhirnya, rasa penasaranku menggelitik. Ada apakah gerangan di kebun itu? Maka,
hari ini kuendapkan kedua kaki menuju tempat beliau menghabiskan waktunya.
Pelan-pelan kutajamkan mata, mengintip ibu dari sela-sela rumah kaca.
Kosong. Tak tampak seorang pun
di dalam sana. Hanya kumpulan tanaman perdu yang beraroma harum dan legit.
Sejenak aku menelan ludah. Degup jantungku masih berdetak kencang. Lalu,
tiba-tiba ....
“Ngapain kamu di situ!”
Sebuah hardikan memukul
keterkejutanku. Sosok manusia alien itu sudah berdiri di belakang. Lengkap dengan
topi putih, sarung tangan karet berwarna hijau, celemek kain bermotif bunga-bunga,
dan sebuah sekop berkarat di tangannya yang berlumuran tanah basah.
Mengerikan!
“A—anu ... Itu, ee ....”
Sialan, mengapa aku segitu
gugupnya menghadapi ibu mertua sendiri? Rasanya seperti mau menangis.
“Anu, anu! Kalau mau lihat ya
masuk ke dalam, jangan ngintip kaya maling!”
Glek! Kutelan rasa jengah dalam-dalam.
Dengan senyum terpaksa dan menggarukkan kepala, aku pun mengikuti langkah ibu.
Masuk ke dalam kebunnya. Begitu kakiku menginjak tanah, aroma yang sedari tadi
hanya sekedar menggelitik hidung, sekarang menguasai udara sekitar. Segar,
lembut dan manis. Aku hampir tak mempercayainya jika perasaanku bisa begitu
tenang di sini.
“Kau suka stroberi?” tanya
ibu. Kulihat tangannya sedang menarik lembut sebuah stroberi yang telah merah
mengkal dari ujung tangkai.
“Ehm, sedikit, Bu. Tidak
terlalu suka,” jawabku. Seketika mata ibu melotot. Baiklah, aku pasti telah
salah bicara. Sebentar lagi ia pasti akan mengeluarkan jurus omelannya yang
ketus dan menusuk-nusuk itu.
Kulihat ibu sudah hendak
membuka mulutnya. Aku pun siap-siap melepaskan jurus maklum sebesar Kamehame
mulik Sun Go Kong, tokoh kartun kesayanganku.
“Cih, kasihan sekali kamu,”
desisnya. Nah, benarkan apa yang sudah kuduga. Pelan tapi mencabik.
Setelah membuang kalimat itu,
ibu kembali menatap stroberinya. Tanpa kuduga, wajah ibu memendarkan
kelembutan. Bola matanya membesar, berbinar-binar bak seekor kucing yang akan
diberi makan oleh majikannya.
“Stroberi itu seperti layaknya
kita, manusia. Dia akan memberikan rasa terbaiknya jika kau memberikan dia
kasih sayang yang tulus, Risma.”
Aku terkesima. Iya, beneran!
Saat ini ibu terlihat sangat indah di mataku. Sudah tak mirip lagi seperti
makhluk aneh dari luar angkasa yang tak bisa kupahami itu. Kini, ia menjelma
seperti peri buah yang cantik jelita. Ya ..., tentu saja peri tanpa sayap,
tetapi masih tetap dengan wajah tua dan perkakas berkebun yang lengkap.
“Ini makanlah.” Ibu
menyodorkan sebuah stroberi ke bibirku. Buah itu hendak kuraih, namun ibu
mencegahnya. Dia berniat untuk menyuapiku dengan tangannya sendiri. Akhirnya
kubuka juga mulutku dan mengunyah buah merah itu pelan-pelan.
Rasanya manis dengan sedikit
asam yang mengigit. Buah stroberi termanis yang pernah kumakan. Tanpa sadar
kuteteskan air mataku. Tiba-tiba hatiku menjadi terharu. Ada sebuah rasa
menusuk lembut di dalamnya.
Cinta ..., dan sedikit
ketekunan dari tangan seorang ibu yang hangat. Benar-benar rasa stroberi yang
ajaib!
“Dasar cengeng!” sahut ibu.
Mimik wajahnya sudah berubah kembali menjadi alien tua yang tak kusukai.
“Kalau mau nangis jangan di
sini. Ini tempatku memelihara anak-anakku. Nangis saja sana di kamarmu.”
Ibu masih terus mencacau
sambil membelakangiku. Tak mengapa. Sungguh, aku sudah tak mengapa.
“Bu, besok-besok Risma boleh
tidak menemani Ibu di sini?”
“Terserah!”
Ya, ya ... Aku dengar dia
berkata dengan nada yang seperti biasanya. Ketus. Namun aku pun melihat, sebuah
senyum tersungging di bibirnya.
AM—180514
Tidak ada komentar:
Posting Komentar