Baginya, mudah sekali untuk
tertawa lantang saat melihat kelakuan wanita berkerudung ungu itu. tapi dia
hanya mengulum senyum yang tertahan.
Diamati terus sosok yang
kikuk dan ceroboh di seberang. Sudah berkali-kali wanita cantik itu menjatuhkan
bolpoinnya ke tanah. Entah karena benda hitam itu yang licin, atau karena
tangannya yang terlumuri minyak.
Penah sekali, dahinya
membentur meja saat ia menunduk dan memungut bolpoinnya di tanah. Dahinya
dikucak berkali-kali. Kedua alis yang menungging di atas mata itu berkerut. Ia
tampak sangat kesakitan sekali.
Lelaki di balik kaca kafe
miliknya tak henti-henti tertawa kecil. Netranya terus terjerat oleh tingkah
laku wanita itu. hingga akhirnya, karena hati yang sudah tak mampu lagi menahan
rasa penasaran, lelaki itu datang menghampiri.
“Ada yang bisa saya bantu,
Mbak?” tanyanya.
Wanita itu tampak sedikit
terkejut. Bola matanya membulat. Ia tak percaya jika ada seorang lelaki yang
menyapanya. Hatinya gugup.
“Ah, ehm ..., se-sepertinya
tak ada.”
“Kulihat Anda sangat
disibukkan dengan bolpoin itu.” Lelaki itu menempatkan tubuhnya di kursi. Jala
matanya menangkap jari-jemari wanita di hadapannya. “Apa yang sedang Anda
lakukan? Menulis? Menarik sekali!”
“I-iya. Sedikit,” ujar wanita
itu. Ia memundurkan kursinya sedikit ke belakang.
“Apa Anda seorang penulis?”
Rona wajah lelaki itu
berseri-seri. Hampir mirip seperti seorang anak kecil yang baru menemukan
mainan kesayangannya di kolong tempat tidur.
“Iya. Ah, maksudku ...,
belum.”
Lelaki itu tersenyum. Membuat
wanita cantik itu semakin malu dan gugup. Ini bukan hal yang biasa baginya.
Bertemu dengan lelaki yang baru dikenal. Apalagi, seorang lelaki yang
bertingkah sok dekat seperti ini.
Dia menopang dagu dengan
tangan kanannya. Menatap mata wanita itu dengan binar yang secerah warna
langit. “Tapi, saya yakin, Anda pasti bisa menjadi penulis yang hebat, jika
Anda tak pernah menyerah untuk terus berlatih.”
Ah ..., jiwa wanita berusia
dua puluh sembilan tahun itu meleleh sudah. Kalimat yang baru saja ia dengar
adalah sesuatu yang telah dirindukannya selama ini.
***
“Apa saja yang kau lakukan
setiap hari? Menulis? Buat apa?!”
Nada suaminya membuat ia
tergugu. Ia hanya bisa menunduk. Bergeming pada sebuah hati yang memerah.
“Hentikan kegiatan konyol
itu! aku tak suka,” kata suaminya lagi. Tatapan pria itu nyalang. Penuh amarah.
Ia hanya bisa menelan ludah.
Itu kisahnya tiga tahun lalu.
Saat ia masih menyandang status sebagai istri dari Tuan Berhati Dingin. Pria
yang membunuh karakter istrinya, hanya karena merasa tak suka diungguli oleh
bakat wanitanya itu. Dia tak senang ketika melihat istrinya dielu-elukan orang
lain. Cemburu.
Setiap hari, wanita itu harus
meradang luka. Dipenggal dengan kalimat-kalimat suaminya yang tajam, atau
terkena hantaman keras di pelipis matanya. Kadang ia lelah. Ingin menghentikan
keburukan yang ia dapatkan selama ini. Namun dalam hati, ia hanya bisa
menaburkan doa-doa. Agar kelak, pria yang sangat dicintainya itu bisa merubah
sikapnya yang temperamental.
Suatu hari, jalan panjangnya
untuk bertahan harus terhenti. Saat itu ia menemukan berbagai chat mesra
suaminya dengan banyak wanita perparas cantik dan berfoto seronok di Blackberry-nya. Bahkan wanita-wanita itu
mau berbagi foto yang seharusnya tak layak dipertontonkan pada lelaki selain
suaminya.
Ia pun mendecap istighfar.
Mencoba menenangkan jiwanya yang terpanggang amarah. Tetapi, ketika hal ini
diutarakan baik-baik ke hadapan suaminya, pria itu malah terbakar.
“Ini salahmu sendiri, yang
tak becus mengurus suami! Aku sudah pernah bilang padamu, kan? Aku tak suka
kegiatan menulismu, tapi kau masih sembunyi-sembunyi melakukannya. Aku pun tak
suka saat kau mengenakan kain panjang yang menutupi seluruh tubuhmu itu.
Apa-apaan, aku jadi bosan melihat rupamu yang seperti itu!”
Badai kemarahan itu
menggulungnya seketika itu juga. Jiwanya mati. Lumpuh dan bernanah. Derai-derai
air matanya membanjiri seluruh wajah. Ia pun rengsa. Sudah tak kuat lagi
menahan semua yang telah ia pendam selama ini.
Akhirnya, dengan keteguhan
hati, ia pun mengakhiri pernikahannya bersama pria itu.
***
“Helloo ... Anda melamun?”
Suara lelaki tinggi tegap
yang tengah duduk di hadapannya itu membuyarkan kenangannya yang baru saja
bergelayut manja di ingatan. Ia memekik tertahan karena terkejut. Matanya
berkesap-kesip. Ia kemudian tersenyum.
“Ah, tidak. Hanya teringat
suatu kisah masa lalu.”
“Kenalkan, saya Rizal. Anda?”
tanya lelaki itu sambil menyodorkan tangannya. Sebuah tato berpola triball kecil menyambul di pergelangan tangannya.
Wanita itu tak menyambut
uluran tangan si lelaki. Ia hanya mengamitkan kedua telapak tangannya di depan
dada. “Alia,” jawabnya kemudian, diiringi sebuah senyuman.
Lelaki itu mahfum dengan laku wanita itu.
“Ah, maaf,” ujarnya, sambil
menarik kembali tangannya.
“Tak apa. justru akulah yang
harus meminta maaf, karena menolak uluran tangan Anda.”
Lelaki itu berdiri. “Lain
kali, saat Anda mengunjungi cafe ini kembali, saya akan memberikan polpoin yang
lebih bagus dari milik Anda. Tentu saja, yang tak licin seperti itu,” ucapnya.
“Terima kasih.”
Setelah membalas ucapan
wanita yang telah berhasil menculik sedikit potongan hatinya itu, dia pun
memohon diri untuk kembali. Berjalan meninggalkan wanita itu, kembali ke meja
kerjanya.
Sesekali dia masih suka
melirik, dari balik kaca kafe yang sebening embun. Tanpa dia sadari, wanita
bernama Alia itu pun, sekarang lebih sering mendaratkan jala matanya pada
bayangan di balik kaca.
Sebuah rasa, telah
menyungging sedikit hati Alia.
AM—270714
Tidak ada komentar:
Posting Komentar