Rabu, 08 Juli 2015

LELAKI DI BALIK KACA

 
Baginya, mudah sekali untuk tertawa lantang saat melihat kelakuan wanita berkerudung ungu itu. tapi dia hanya mengulum senyum yang tertahan.
 

Diamati terus sosok yang kikuk dan ceroboh di seberang. Sudah berkali-kali wanita cantik itu menjatuhkan bolpoinnya ke tanah. Entah karena benda hitam itu yang licin, atau karena tangannya yang terlumuri minyak.
 

Penah sekali, dahinya membentur meja saat ia menunduk dan memungut bolpoinnya di tanah. Dahinya dikucak berkali-kali. Kedua alis yang menungging di atas mata itu berkerut. Ia tampak sangat kesakitan sekali.
 

Lelaki di balik kaca kafe miliknya tak henti-henti tertawa kecil. Netranya terus terjerat oleh tingkah laku wanita itu. hingga akhirnya, karena hati yang sudah tak mampu lagi menahan rasa penasaran, lelaki itu datang menghampiri.
 

“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanyanya.
 

Wanita itu tampak sedikit terkejut. Bola matanya membulat. Ia tak percaya jika ada seorang lelaki yang menyapanya. Hatinya gugup.
 

“Ah, ehm ..., se-sepertinya tak ada.”
 

“Kulihat Anda sangat disibukkan dengan bolpoin itu.” Lelaki itu menempatkan tubuhnya di kursi. Jala matanya menangkap jari-jemari wanita di hadapannya. “Apa yang sedang Anda lakukan? Menulis? Menarik sekali!”
 

“I-iya. Sedikit,” ujar wanita itu. Ia memundurkan kursinya sedikit ke belakang.
 

“Apa Anda seorang penulis?”
 

Rona wajah lelaki itu berseri-seri. Hampir mirip seperti seorang anak kecil yang baru menemukan mainan kesayangannya di kolong tempat tidur.
 

“Iya. Ah, maksudku ..., belum.”
 

Lelaki itu tersenyum. Membuat wanita cantik itu semakin malu dan gugup. Ini bukan hal yang biasa baginya. Bertemu dengan lelaki yang baru dikenal. Apalagi, seorang lelaki yang bertingkah sok dekat seperti ini.
 

Dia menopang dagu dengan tangan kanannya. Menatap mata wanita itu dengan binar yang secerah warna langit. “Tapi, saya yakin, Anda pasti bisa menjadi penulis yang hebat, jika Anda tak pernah menyerah untuk terus berlatih.”
 

Ah ..., jiwa wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu meleleh sudah. Kalimat yang baru saja ia dengar adalah sesuatu yang telah dirindukannya selama ini.
 

***
 

“Apa saja yang kau lakukan setiap hari? Menulis? Buat apa?!”
 

Nada suaminya membuat ia tergugu. Ia hanya bisa menunduk. Bergeming pada sebuah hati yang memerah.
 

“Hentikan kegiatan konyol itu! aku tak suka,” kata suaminya lagi. Tatapan pria itu nyalang. Penuh amarah.
 

Ia hanya bisa menelan ludah.
 

Itu kisahnya tiga tahun lalu. Saat ia masih menyandang status sebagai istri dari Tuan Berhati Dingin. Pria yang membunuh karakter istrinya, hanya karena merasa tak suka diungguli oleh bakat wanitanya itu. Dia tak senang ketika melihat istrinya dielu-elukan orang lain. Cemburu. 
 

Setiap hari, wanita itu harus meradang luka. Dipenggal dengan kalimat-kalimat suaminya yang tajam, atau terkena hantaman keras di pelipis matanya. Kadang ia lelah. Ingin menghentikan keburukan yang ia dapatkan selama ini. Namun dalam hati, ia hanya bisa menaburkan doa-doa. Agar kelak, pria yang sangat dicintainya itu bisa merubah sikapnya yang temperamental.
 

Suatu hari, jalan panjangnya untuk bertahan harus terhenti. Saat itu ia menemukan berbagai chat mesra suaminya dengan banyak wanita perparas cantik dan berfoto seronok di Blackberry-nya. Bahkan wanita-wanita itu mau berbagi foto yang seharusnya tak layak dipertontonkan pada lelaki selain suaminya.
 

Ia pun mendecap istighfar. Mencoba menenangkan jiwanya yang terpanggang amarah. Tetapi, ketika hal ini diutarakan baik-baik ke hadapan suaminya, pria itu malah terbakar.
 

“Ini salahmu sendiri, yang tak becus mengurus suami! Aku sudah pernah bilang padamu, kan? Aku tak suka kegiatan menulismu, tapi kau masih sembunyi-sembunyi melakukannya. Aku pun tak suka saat kau mengenakan kain panjang yang menutupi seluruh tubuhmu itu. Apa-apaan, aku jadi bosan melihat rupamu yang seperti itu!”
 

Badai kemarahan itu menggulungnya seketika itu juga. Jiwanya mati. Lumpuh dan bernanah. Derai-derai air matanya membanjiri seluruh wajah. Ia pun rengsa. Sudah tak kuat lagi menahan semua yang telah ia pendam selama ini.
 

Akhirnya, dengan keteguhan hati, ia pun mengakhiri pernikahannya bersama pria itu.
 

***
 

“Helloo ... Anda melamun?”
 

Suara lelaki tinggi tegap yang tengah duduk di hadapannya itu membuyarkan kenangannya yang baru saja bergelayut manja di ingatan. Ia memekik tertahan karena terkejut. Matanya berkesap-kesip. Ia kemudian tersenyum.
 

“Ah, tidak. Hanya teringat suatu kisah masa lalu.”
 

“Kenalkan, saya Rizal. Anda?” tanya lelaki itu sambil menyodorkan tangannya. Sebuah tato berpola triball kecil menyambul di pergelangan tangannya.
 

Wanita itu tak menyambut uluran tangan si lelaki. Ia hanya mengamitkan kedua telapak tangannya di depan dada. “Alia,” jawabnya kemudian, diiringi sebuah senyuman.
 

Lelaki itu mahfum dengan laku wanita itu.
 

“Ah, maaf,” ujarnya, sambil menarik kembali tangannya.
 

“Tak apa. justru akulah yang harus meminta maaf, karena menolak uluran tangan Anda.”
 

Lelaki itu berdiri. “Lain kali, saat Anda mengunjungi cafe ini kembali, saya akan memberikan polpoin yang lebih bagus dari milik Anda. Tentu saja, yang tak licin seperti itu,” ucapnya.
 

“Terima kasih.”
 

Setelah membalas ucapan wanita yang telah berhasil menculik sedikit potongan hatinya itu, dia pun memohon diri untuk kembali. Berjalan meninggalkan wanita itu, kembali ke meja kerjanya.
 

Sesekali dia masih suka melirik, dari balik kaca kafe yang sebening embun. Tanpa dia sadari, wanita bernama Alia itu pun, sekarang lebih sering mendaratkan jala matanya pada bayangan di balik kaca.
 

Sebuah rasa, telah menyungging sedikit hati Alia.
 
 
 
 

AM—270714

Tidak ada komentar:

Posting Komentar