kau adalah perempuanku, dan tak seorang pun akan
memilikimu, Mariam...
Aku telah mencabik cinta, membanjiri sebuah hati dengan
genangan nanah. Dan semua berawal pada suatu malam yang belum menetas pada
keheningan.
Rasa itu tiba-tiba datang lalu mencekik leherku
kuat-kuat, saat yang hanya sepersekian detik tersebut hampir membuatku kehilangan
nyawa. Itulah pertama kali bertemu dengannya, perempuanku tengah
melenggak-lenggok bak lintah kehausan, begitu menggoda saat tersenyum padaku
sambil menjejakkan sukmanya kepada sang kelam.
“Permisi, Bang. Abang tahu di mana ya rumah Engkong
Salim? Katanya dari sini sudah hampir dekat dengan rumah beliau.”
Aku terkesima menatap mata sipitnya yang indah
berbinar-binar. Perempuan itu begitu cantik di bawah temaram sinar bulan
purnama. Sejenak kunikmati pemandangan di hadapku dengan berkesap-kesip.
“Permisi, Bang ....”
“Ah, iya. Anu eh, maaf, Neng tadi bertanya apa ya?”
“Ih, Abang, Eneng tanya, rumah Engkong Salim di mana?
Jangan melamun saja.”
Aku terkekeh malu. Kugaruk kulit kepala, salah tingkah.
“Maaf, Neng. Mari saya antar ke rumah Engkong Salim, dekat kok dari sini.”
Perempuan muda itu tersenyum. Wajah ayunya semakin tampak
menggairahkan batin. Aku menelan ludah.
Namanya Mariam, cucu jauh Engkong Salim dari kota. Dalam
perjalanan singkat kami, dia banyak berceloteh tentang kerinduannya pada desa.
Sudah bertahun-tahun ingin hidup dalam remang-remang yang hening, jauh dari
bising kota yang menjemukan. Dan Emak si Mariam akhirnya menunjukkan bahwa ada
Engkong Salim yang masih kerabat tinggal di pedesaan. Di sini, di tanah
kelahiranku.
“Mariam butuh ketenangan, Bang. Biar otak ini bisa lancar
meghasilkan kisah-kisah nan cantik, yang bisa membuai penikmat karya Mariam,”
celotehnya. Suara yang selalu terdengar merdu walaupun berkali-kali telah
kudengar.
Ah, gadis kota Mariam. Lihatlah bulir-bulir itu. Malam
pikuk menyinari tubuhmu yang putih susu. Belum pernah aku melihat gadis seayu
dirimu. Ini desa kecil, dan kau bagaikan sebuah roh suci yang hinggap di
dahan-dahan berlumut. Bertengger memamerkan sinarmu yang berpendar menyilau
mata.
“Bang. Abang kenapa, kok dari tadi diam saja? Bosan ya
sama cerita Eneng.”
“Ah, tidak. Aku Cuma kagum sama Eneng. Ternyata masih ada
gadis kota yang kepengen tinggal di
desa kecil.”
“Ah, Abang, inikan tuntutan pekerjaan.”
“Sama saja, Neng, bagi Abang.”
Malam semakin limbung. Suara jejangkrik bersahut-sahut
menemani kaki-kaki yang menjejak jalanan lumpur yang mengeliat. Mariam masih
saja bercerita, sementara aku tetap terpana dengan kecantikkannya.
***
“Kamu sudah lihat cucunya Engkong Salim belum? Cantiknya,
gak ketulungan, Nir.” Norman menepuk
punggungku lalu menempatkan pantat besarnya itu pada bangku panjang yang tengah
kusinggahi di warung kopi Wak Ijah.
“Sudah,” desisku pada sela-sela kopi panas yang mengepul
asap putih samar-samar di ujung hidung.
“Bah, kau ini, Nir. Cepat sekali kau.”
“Aku yang mengantarnya ke rumah Engkong dua malam lalu.
Hanya kebetulan saja.”
Norman mencomot sebatang rokok lalu mengamitnya.
“Bagaimana kabar perceraianmu, Nir? Sudah kelar
belum?”
“Entahlah, jangan ditanya soal itu. Kepalaku sedang
pening.”
“Mbak Sus itu orang yang baik, kamunya saja yang
keterlaluan.” Mulutku berdecak, tidak suka dengan kata-kata Norman barusan.
“Cobalah kau mencari pekerjaan, agar kau tidak hidup luntah-luntah seperti ini.
Bisanya duduk di warung kopi sambil melamun kemana-mana. Masih untung Mbak Sus
tidak menuntut apa-apa dari kamu. Lagian, memang ada yang bisa diharapkan dari
suami pengangguran macam kamu. Kerja saja tidak mau.” sahutnya kembali.
“Mau kerja apa? Semua lowongan sudah penuh.”
“Itu, sawahnya Engkong Salim kan masih butuh penggarap.
Kenapa tidak kau kerja saja di sana?”
Mendengar ucapan Norman, kali ini aku menggut-manggut.
Bukan sebuah ide yang buruk. Bukankah setiap hari aku bisa melihat gadis
Tionghoa itu lagi. Iya, si cantik Mariam. Ah, bahkan hatiku sudah merasa engkau
itu adalah perempuanku.
***
Sang Raja Siang sudah bertahta di ubun-ubun kepala.
Tangan-tangan yang tidak dilindungi secarik kain, mulai merah legam terbakar
olehnya. Angin berkesiur, membelai tengkukku yang basah tersiram air peluh. Aku
sudah terlalu lelah. Mataku hampir meleleh dari lubangnya.
Kulihat perempuanku berjalan menenteng rantang kehijauan.
Roknya yang abu-abu melambai-lambai terjamah bayu. Senyumnya merekah. Pipiya
ranum memerah. Membuat jiwa lelakiku bangkit. Perempuanku tak pernah bosan
kutangkap dalam hati, dan menyimpan harum rambutnya pada sela-sela ingatan.
“Bang Munir!” Mariam berseru sambil melambai ke arahku.
Para pekerja lain tampak sedang tersiram cemburu. Tapi tak kuperdulikan.
Perempuan ini memang teruntukku.
“Ada sedikit makanan untuk Abang. Tadi Engkong bilang
kalau mulai hari ini kau membantu menggarap sawah. Mangkanya, aku bawakan ini
untuk Abang, sebagai ucapan terima kasih sudah membantu Mariam malam itu.”
Aku tersipu. Bopeng-bopeng di wajahku mungkin saat ini
tengah memerah. Ah, seperti sedang muda saja.
Mariam mengajakku duduk di dalam gubuk tempat kami para
pekerja biasanya beristirahat. Rantang hijau itu berisi nasi, oseng kangkung
dan beberapa lauk ayam dan tempe goreng. Sungguh sedap nian aroma makanan itu
tertangkap penciumanku. Tanpa menunggu lama, kulahap mereka bersamaan.
“Pelan-pelan, Bang. Nanti tersedak,” Mariam tersenyum
geli.
Aku sedikit meringis, “Kali ini kau sedang menulis cerita
tentang apa?”
Mariam sedikit tersipu. Matanya semakin menyipit saat dia
melempar senyum ke arahku seraya berkata, “Tentang perjuangan perempuan desa.
Mariam ingin mengungkap kekuatan hati mereka yang begitu setia terhadap sang suami.
Kepolosan dan keluguan mereka. Juga tentang kepiawaiannya melestarikan warisan
nenek moyang.”
Sejenak aku teringat tentang Susi, wanita yang telah
kunikahi tiga tahun lalu, yang kini tengah menuntut perceraian dariku. Benar
kata Mariam, wanita desa itu kuat, lugu dan setia. Sementara aku hanyalah
lelaki biadab yang tidak pernah mencintai itu semua.
Emakku juga begitu. Bahkan mampu mengurus ladang di
belakang rumah sambil menjaga ketujuh anaknya yang masih sekecil kencur. Namun
tetap saja, aku tak pernah juga mengagumi sosok Emak. Entahlah, apa yang sedang
salah di diriku. Bagiku, wanita-wanita desa ini membosankan. Berbeda dengan
perempuanku Mariam yang sejak pertama kali menatapnya, aku tak pernah bisa
menolak pesona kota yang begitu memikat mata.
Apa ini yang namanya cinta, sebenar-benarnya cinta?
Setiap hari, Mariam rutin membawakan aku rantang makanan.
Setiap hari itu pula hubungan pertemanan kami semakin dekat. Gadis duapuluh dua
tahun itu selalu mampu menyulam cerita baru. Aku tidak pernah bosan mendengarnya
berceloteh riang sambil melahap makanan.
Pada hari ke sebelas, Mariam datang dengan wajah
sumringah. Tampak kebahagiaan tengah dia peluk dengan suka cita. Aku
mengernyitkan keningku, mencoba menebak-nebak isi hati perempuanku. Ada apa
gerangan?
“Neng Mariam, hatinya lagi senang, ya? Kok dari tadi
Abang lihat tampaknya ....”
Mariam tersipu memalu. Pipinya bersemu merah muda.
Semakin tampak cantik saja dia. Dengan mata yang berkesap-kesip dan tertunduk layu,
Mariam berkata memelan, “Lusa, aku mau dipinang sama pacarku, Bang.”
Seketika itu pula sebuah kilat berkecepatan tinggi
menyambar kesadaranku. Aku sakit hati.
***
Ujung-ujung lalang diam didekap malam. Kebisuan
mencabik-cabik sepi di antara pematang sawah, meniduri kunang yang lalu lalang
di atas hamparan hijau padi-padian.
Mariam dibalut warna merah, anggun. Dengan wajah sendu
sayu duduk menekuk kaki. Kepalanya tengadah, memandang bulan masu di penghujung
langit. Aku yang menemani di sampingnya hanya bisa terdiam. Menyimpan kisah
sedih pada setiap kedipan mata yang tak ingin lepas memandang wajah ayu
perempuanku.
“Kapan kau akan kembali ke kota,” tanyaku pelan.
“Besok siang.”
Cepat sekali. Waktuku bersamamu hanya beberapa jam saja.
Mariam, aku tidak rela kau pergi.
“Abang tahu, dulu di kota, aku dan kekasihku pun sering
menatap malam seperti ini. Duduk berdua, bergandengan tangan, dan membicarakan
impian kami.”
Hentikan ....
“Dia sangat suka membuat puisi romantis tentang bulan dan
bintang. Mengatakan jika mereka itu adalah sebuah harapan cintanya kepadaku.
Jika bintang menghilang, sinarnya mati dan tertelan oleh ruang kehampaan, dia
bilang jangan takut. Karena bintang baru pasti akan terlahir kembali, dan dia
akan jauh lebih bersinar. Lebih indah. Seperti itulah cintanya kepadaku.”
Hentikan! Kau sudah
membuat jiwaku berdarah, hai perempuan!
“Dan aku adalah rembulan, yang akan selalu setia menemani
sinar-sinar bintang bertahta di langit malam.”
Pikiranku berkabut. Malam yang gelap itupun semakin pekat
dan berbau amarah. Perempuan itu akhirnya kuterkam, kulumat dalam-dalam. Tahu
apa dia tentang cinta yang sedang bergemuruh di dadaku saat ini? Tahu apa!
Aku yang sudah mencintainya sejak pertama kali dia
menjejakkan kakinya ke tanah cokelat yang mengliat di desaku ini, sudah
kutekankan jika dia adalah milikku. Milikku! Dan tak boleh seorang pun
memilikinya selain ragaku.
Lalu bagaimana bisa dia dengan begitu cantiknya
bersemu-semu mengatakan jika dia mencintai lelaki lain? Dia bahkan telah
membunuh mati hatiku. Mencabiknya berkali-kali lalu menggantungnya pada
pohon-pohon randu yang mati di samping pematang sawah Kakeknya. Jika sudah
begitu, aku akan bernafas dengan apa?
Lenguh nafas perempuanku kembang kempis. Jiwa-jiwa yang
tersudut pada renjanaku membuncah tak keruan arah. Aku meregang, menusuk, pun
mencakar keayuannya.
Dia menangis namun tetap tak kudengarkan. Memohon dan
memohon tetapi namun bahkan suaranya tak lebih keras dari suara kunang-kunang
malam yang berseliweran di antara kami.
Malam semakin cekat menggoda kebusukanku. Perempuanku lunglai.
Tubuhnya rengsa dimakan peluh, raib, dicolong keheningan desir sang bayu.
Sementara aku, masih saja memaksa menanamkan benih pada rahimnya yang masih
kosong.
***
Waktu telah berlalu, jatuh pada malam kedua. Perempuanku
menjadi patung batu yang membisu. Sedikitpun tak terdengar suara cantik yang
dulu berderu-deru menceritakan tentang sebuah mimpi. Engkongnya bingung mencari
sebab musabab. Bertanya siapa yang telah merenggut mahkota rapat milik sang
cucu pada malam yang begitu durhaka.
Melihat sosok Mariam, aku menyesal. Telah menyumpalkan
nanah pada hatinya yang indah. Ah, perempuan. Ijinkan aku memilikimu selamanya.
Kan kubahagiakan jiwamu yang membatu itu.
Tidak, jangan lelehkan air matamu kembali. Kau telah
menyakiti cintaku yang telah keropos ini. Kumohon, bisakah kau memaafkan aku?
***
Malam keempat pun menetas. Kutipu Engkong Salim,
menawarkan diri untuk menikahi cucu perempuannya yang telah menjadi patung
karena ulah durjana seorang lelaki pengecut.
Pernikahan kami sederhana, tetapi aku sangat bahagia.
Janjiku akan membahagiakanmu, hai perempuan, kini hampir terlaksana. Kan
kuperbaiki semua kesalahanku padamu.
Lalu, malam pengantinpun tiba. Kau yang secantik rembulan
masih saja tak bersuara. Aku maklum, Mariam. Pun juga pada tetesan air mata
yang terus menggenang di sudut-sudut deritamu, yang akan terus mencekik
kenangan kita pada satu malam itu.
Lihatlah, aku bersujud pada kedua kakimu yang putih
memucat. Kudekati keningmu, hendak mencium harum sukmamu. Maafkan aku
perempuanku.. Maafkan aku.
Ahk, tetapi sungguh aku tak menyangkah. Ternyata dalam
hening kediamanmu itu, kau telah menumpuk dendam pada lelaki yang telah
menggagahimu malam itu.
‘Pagi buta, ketika sang fajar belum berada pada
peraduannya, sepasang suami istri yang baru saja menikah semalam, roboh. Saling
menusuk dengan sebilah pisau.. semuanya hening, tak seorangpun tahu, kisah
sedih yang bersembunyi pada bilik-bilik dendam yang menggoda seorang gadis,
untuk mengakhiri segalanya.’
AM—010414
Tidak ada komentar:
Posting Komentar