Rabu, 08 Juli 2015

DURJANA


 

kau adalah perempuanku, dan tak seorang pun akan memilikimu, Mariam...

 

 

 

Aku telah mencabik cinta, membanjiri sebuah hati dengan genangan nanah. Dan semua berawal pada suatu malam yang belum menetas pada keheningan.

Rasa itu tiba-tiba datang lalu mencekik leherku kuat-kuat, saat yang hanya sepersekian detik tersebut hampir membuatku kehilangan nyawa. Itulah pertama kali bertemu dengannya, perempuanku tengah melenggak-lenggok bak lintah kehausan, begitu menggoda saat tersenyum padaku sambil menjejakkan sukmanya kepada sang kelam.

“Permisi, Bang. Abang tahu di mana ya rumah Engkong Salim? Katanya dari sini sudah hampir dekat dengan rumah beliau.”

Aku terkesima menatap mata sipitnya yang indah berbinar-binar. Perempuan itu begitu cantik di bawah temaram sinar bulan purnama. Sejenak kunikmati pemandangan di hadapku dengan berkesap-kesip.

“Permisi, Bang ....”

“Ah, iya. Anu eh, maaf, Neng tadi bertanya apa ya?”

“Ih, Abang, Eneng tanya, rumah Engkong Salim di mana? Jangan melamun saja.” 

Aku terkekeh malu. Kugaruk kulit kepala, salah tingkah. “Maaf, Neng. Mari saya antar ke rumah Engkong Salim, dekat kok dari sini.”

Perempuan muda itu tersenyum. Wajah ayunya semakin tampak menggairahkan batin. Aku menelan ludah.

Namanya Mariam, cucu jauh Engkong Salim dari kota. Dalam perjalanan singkat kami, dia banyak berceloteh tentang kerinduannya pada desa. Sudah bertahun-tahun ingin hidup dalam remang-remang yang hening, jauh dari bising kota yang menjemukan. Dan Emak si Mariam akhirnya menunjukkan bahwa ada Engkong Salim yang masih kerabat tinggal di pedesaan. Di sini, di tanah kelahiranku.

“Mariam butuh ketenangan, Bang. Biar otak ini bisa lancar meghasilkan kisah-kisah nan cantik, yang bisa membuai penikmat karya Mariam,” celotehnya. Suara yang selalu terdengar merdu walaupun berkali-kali telah kudengar.

Ah, gadis kota Mariam. Lihatlah bulir-bulir itu. Malam pikuk menyinari tubuhmu yang putih susu. Belum pernah aku melihat gadis seayu dirimu. Ini desa kecil, dan kau bagaikan sebuah roh suci yang hinggap di dahan-dahan berlumut. Bertengger memamerkan sinarmu yang berpendar menyilau mata.

“Bang. Abang kenapa, kok dari tadi diam saja? Bosan ya sama cerita Eneng.”

“Ah, tidak. Aku Cuma kagum sama Eneng. Ternyata masih ada gadis kota yang kepengen tinggal di desa kecil.”

“Ah, Abang, inikan tuntutan pekerjaan.”

“Sama saja, Neng, bagi Abang.”

Malam semakin limbung. Suara jejangkrik bersahut-sahut menemani kaki-kaki yang menjejak jalanan lumpur yang mengeliat. Mariam masih saja bercerita, sementara aku tetap terpana dengan kecantikkannya.

 

***

 

“Kamu sudah lihat cucunya Engkong Salim belum? Cantiknya, gak ketulungan, Nir.” Norman menepuk punggungku lalu menempatkan pantat besarnya itu pada bangku panjang yang tengah kusinggahi di warung kopi Wak Ijah.

“Sudah,” desisku pada sela-sela kopi panas yang mengepul asap putih samar-samar di ujung hidung.

“Bah, kau ini, Nir. Cepat sekali kau.”

“Aku yang mengantarnya ke rumah Engkong dua malam lalu. Hanya kebetulan saja.”

Norman mencomot sebatang rokok lalu mengamitnya. “Bagaimana kabar perceraianmu, Nir? Sudah kelar belum?”

“Entahlah, jangan ditanya soal itu. Kepalaku sedang pening.”

“Mbak Sus itu orang yang baik, kamunya saja yang keterlaluan.” Mulutku berdecak, tidak suka dengan kata-kata Norman barusan. “Cobalah kau mencari pekerjaan, agar kau tidak hidup luntah-luntah seperti ini. Bisanya duduk di warung kopi sambil melamun kemana-mana. Masih untung Mbak Sus tidak menuntut apa-apa dari kamu. Lagian, memang ada yang bisa diharapkan dari suami pengangguran macam kamu. Kerja saja tidak mau.” sahutnya kembali.

“Mau kerja apa? Semua lowongan sudah penuh.”

“Itu, sawahnya Engkong Salim kan masih butuh penggarap. Kenapa tidak kau kerja saja di sana?”

Mendengar ucapan Norman, kali ini aku menggut-manggut. Bukan sebuah ide yang buruk. Bukankah setiap hari aku bisa melihat gadis Tionghoa itu lagi. Iya, si cantik Mariam. Ah, bahkan hatiku sudah merasa engkau itu adalah perempuanku.

 

***

 

Sang Raja Siang sudah bertahta di ubun-ubun kepala. Tangan-tangan yang tidak dilindungi secarik kain, mulai merah legam terbakar olehnya. Angin berkesiur, membelai tengkukku yang basah tersiram air peluh. Aku sudah terlalu lelah. Mataku hampir meleleh dari lubangnya.

Kulihat perempuanku berjalan menenteng rantang kehijauan. Roknya yang abu-abu melambai-lambai terjamah bayu. Senyumnya merekah. Pipiya ranum memerah. Membuat jiwa lelakiku bangkit. Perempuanku tak pernah bosan kutangkap dalam hati, dan menyimpan harum rambutnya pada sela-sela ingatan.

“Bang Munir!” Mariam berseru sambil melambai ke arahku. Para pekerja lain tampak sedang tersiram cemburu. Tapi tak kuperdulikan. Perempuan ini memang teruntukku.

“Ada sedikit makanan untuk Abang. Tadi Engkong bilang kalau mulai hari ini kau membantu menggarap sawah. Mangkanya, aku bawakan ini untuk Abang, sebagai ucapan terima kasih sudah membantu Mariam malam itu.”

Aku tersipu. Bopeng-bopeng di wajahku mungkin saat ini tengah memerah. Ah, seperti sedang muda saja.

Mariam mengajakku duduk di dalam gubuk tempat kami para pekerja biasanya beristirahat. Rantang hijau itu berisi nasi, oseng kangkung dan beberapa lauk ayam dan tempe goreng. Sungguh sedap nian aroma makanan itu tertangkap penciumanku. Tanpa menunggu lama, kulahap mereka bersamaan.

“Pelan-pelan, Bang. Nanti tersedak,” Mariam tersenyum geli.

Aku sedikit meringis, “Kali ini kau sedang menulis cerita tentang apa?”

Mariam sedikit tersipu. Matanya semakin menyipit saat dia melempar senyum ke arahku seraya berkata, “Tentang perjuangan perempuan desa. Mariam ingin mengungkap kekuatan hati mereka yang begitu setia terhadap sang suami. Kepolosan dan keluguan mereka. Juga tentang kepiawaiannya melestarikan warisan nenek moyang.”

Sejenak aku teringat tentang Susi, wanita yang telah kunikahi tiga tahun lalu, yang kini tengah menuntut perceraian dariku. Benar kata Mariam, wanita desa itu kuat, lugu dan setia. Sementara aku hanyalah lelaki biadab yang tidak pernah mencintai itu semua.

Emakku juga begitu. Bahkan mampu mengurus ladang di belakang rumah sambil menjaga ketujuh anaknya yang masih sekecil kencur. Namun tetap saja, aku tak pernah juga mengagumi sosok Emak. Entahlah, apa yang sedang salah di diriku. Bagiku, wanita-wanita desa ini membosankan. Berbeda dengan perempuanku Mariam yang sejak pertama kali menatapnya, aku tak pernah bisa menolak pesona kota yang begitu memikat mata.

Apa ini yang namanya cinta, sebenar-benarnya cinta?

Setiap hari, Mariam rutin membawakan aku rantang makanan. Setiap hari itu pula hubungan pertemanan kami semakin dekat. Gadis duapuluh dua tahun itu selalu mampu menyulam cerita baru. Aku tidak pernah bosan mendengarnya berceloteh riang sambil melahap makanan.

Pada hari ke sebelas, Mariam datang dengan wajah sumringah. Tampak kebahagiaan tengah dia peluk dengan suka cita. Aku mengernyitkan keningku, mencoba menebak-nebak isi hati perempuanku. Ada apa gerangan?

“Neng Mariam, hatinya lagi senang, ya? Kok dari tadi Abang lihat tampaknya ....”

Mariam tersipu memalu. Pipinya bersemu merah muda. Semakin tampak cantik saja dia. Dengan mata yang berkesap-kesip dan tertunduk layu, Mariam berkata memelan, “Lusa, aku mau dipinang sama pacarku, Bang.”

Seketika itu pula sebuah kilat berkecepatan tinggi menyambar kesadaranku. Aku sakit hati.

 

***

 

Ujung-ujung lalang diam didekap malam. Kebisuan mencabik-cabik sepi di antara pematang sawah, meniduri kunang yang lalu lalang di atas hamparan hijau padi-padian.

Mariam dibalut warna merah, anggun. Dengan wajah sendu sayu duduk menekuk kaki. Kepalanya tengadah, memandang bulan masu di penghujung langit. Aku yang menemani di sampingnya hanya bisa terdiam. Menyimpan kisah sedih pada setiap kedipan mata yang tak ingin lepas memandang wajah ayu perempuanku.

“Kapan kau akan kembali ke kota,” tanyaku pelan.

“Besok siang.”

Cepat sekali. Waktuku bersamamu hanya beberapa jam saja. Mariam, aku tidak rela kau pergi.

“Abang tahu, dulu di kota, aku dan kekasihku pun sering menatap malam seperti ini. Duduk berdua, bergandengan tangan, dan membicarakan impian kami.”

Hentikan ....

“Dia sangat suka membuat puisi romantis tentang bulan dan bintang. Mengatakan jika mereka itu adalah sebuah harapan cintanya kepadaku. Jika bintang menghilang, sinarnya mati dan tertelan oleh ruang kehampaan, dia bilang jangan takut. Karena bintang baru pasti akan terlahir kembali, dan dia akan jauh lebih bersinar. Lebih indah. Seperti itulah cintanya kepadaku.”

Hentikan! Kau sudah membuat jiwaku berdarah, hai perempuan!

“Dan aku adalah rembulan, yang akan selalu setia menemani sinar-sinar bintang bertahta di langit malam.”

Pikiranku berkabut. Malam yang gelap itupun semakin pekat dan berbau amarah. Perempuan itu akhirnya kuterkam, kulumat dalam-dalam. Tahu apa dia tentang cinta yang sedang bergemuruh di dadaku saat ini? Tahu apa!

Aku yang sudah mencintainya sejak pertama kali dia menjejakkan kakinya ke tanah cokelat yang mengliat di desaku ini, sudah kutekankan jika dia adalah milikku. Milikku! Dan tak boleh seorang pun memilikinya selain ragaku.

Lalu bagaimana bisa dia dengan begitu cantiknya bersemu-semu mengatakan jika dia mencintai lelaki lain? Dia bahkan telah membunuh mati hatiku. Mencabiknya berkali-kali lalu menggantungnya pada pohon-pohon randu yang mati di samping pematang sawah Kakeknya. Jika sudah begitu, aku akan bernafas dengan apa?

Lenguh nafas perempuanku kembang kempis. Jiwa-jiwa yang tersudut pada renjanaku membuncah tak keruan arah. Aku meregang, menusuk, pun mencakar keayuannya.

Dia menangis namun tetap tak kudengarkan. Memohon dan memohon tetapi namun bahkan suaranya tak lebih keras dari suara kunang-kunang malam yang berseliweran di antara kami.

Malam semakin cekat menggoda kebusukanku. Perempuanku lunglai. Tubuhnya rengsa dimakan peluh, raib, dicolong keheningan desir sang bayu. Sementara aku, masih saja memaksa menanamkan benih pada rahimnya yang masih kosong.

 

***

 

Waktu telah berlalu, jatuh pada malam kedua. Perempuanku menjadi patung batu yang membisu. Sedikitpun tak terdengar suara cantik yang dulu berderu-deru menceritakan tentang sebuah mimpi. Engkongnya bingung mencari sebab musabab. Bertanya siapa yang telah merenggut mahkota rapat milik sang cucu pada malam yang begitu durhaka.

Melihat sosok Mariam, aku menyesal. Telah menyumpalkan nanah pada hatinya yang indah. Ah, perempuan. Ijinkan aku memilikimu selamanya. Kan kubahagiakan jiwamu yang membatu itu.

Tidak, jangan lelehkan air matamu kembali. Kau telah menyakiti cintaku yang telah keropos ini. Kumohon, bisakah kau memaafkan aku?

 

***

 

Malam keempat pun menetas. Kutipu Engkong Salim, menawarkan diri untuk menikahi cucu perempuannya yang telah menjadi patung karena ulah durjana seorang lelaki pengecut.

Pernikahan kami sederhana, tetapi aku sangat bahagia. Janjiku akan membahagiakanmu, hai perempuan, kini hampir terlaksana. Kan kuperbaiki semua kesalahanku padamu.

Lalu, malam pengantinpun tiba. Kau yang secantik rembulan masih saja tak bersuara. Aku maklum, Mariam. Pun juga pada tetesan air mata yang terus menggenang di sudut-sudut deritamu, yang akan terus mencekik kenangan kita pada satu malam itu.

Lihatlah, aku bersujud pada kedua kakimu yang putih memucat. Kudekati keningmu, hendak mencium harum sukmamu. Maafkan aku perempuanku.. Maafkan aku.

Ahk, tetapi sungguh aku tak menyangkah. Ternyata dalam hening kediamanmu itu, kau telah menumpuk dendam pada lelaki yang telah menggagahimu malam itu.

 

 

 

‘Pagi buta, ketika sang fajar belum berada pada peraduannya, sepasang suami istri yang baru saja menikah semalam, roboh. Saling menusuk dengan sebilah pisau.. semuanya hening, tak seorangpun tahu, kisah sedih yang bersembunyi pada bilik-bilik dendam yang menggoda seorang gadis, untuk mengakhiri segalanya.’

 

 

 

AM—010414

Tidak ada komentar:

Posting Komentar