Oleh : Ajeng Maharani
Lebaranku yang paling berkesan?
Tunggu, menurutmu bagaimana arti sebuah kesan
itu? Apakah sesuatu yang berwarna-warni yang bisa membuat wajahmu tercengang
dan matamu berbinar-binar? Atau sesuatu yang kau alami, yang tak bisa kau
lupakan, lalu datang bertubi-tubi dalam mimpi indahmu? Hmm, baiklah. Mungkin
pendapatku sedikit berbeda tentang sesuatu yang berkesan.
Begini, bagi diriku tidak semua yang berkesan itu
harus tentang hal-hal yang indah. Bukan. Dan dengan senang hati aku akan memutar kembali rangkuman
memori di otak dan mundur ke beberapa tahun yang telah silam, ketika aku masih
duduk di bangku sekolah dasar. Iya, aku masih anak-anak waktu itu, namun
hal-hal yang indah bagiku justru telah banyak terjadi di sana.
Mungkin kalian belum tahu, dan aku pun belum
pernah mengatakannya, bahwa ayahku sebenarnya adalah seorang seniman gagal. Aku
katakan gagal karena ia begitu mudahnya menanggalkan mimpinya menjadi seorang
pelukis, dan memutar kemudi menjadi seseorang yang menyatukan kain-kain untuk
bisa dikenakan di tubuh pelanggannya. Kakekku pensiun terlalu cepat, maksudku
ia pensiun karena stroke yang menyerang kaki dan pinggangnya, sedangkan
anak-anaknya masih membutuhkan biaya untuk sekolah. Dan ayahku yang memiliki
jabatan sebagai anak lelaki pertama merasa memiliki kewajiban untuk membantu
ayahnya. Karena alasan itulah ayahku tak lagi melukis. Bagiku yang telah
mempunyai sebuah mimpi seperti saat ini, setiap mengingat tetang itu – lukisan
dan kuas-kuas yang diabaikan – adalah hal yang sangat menyedihkan. Tapi, ini
bukan saatnya membicarakan itu, bukan? Aku akan melanjutkan kisah lebaranku
yang paling berkesan.
Sebagai anak seorang penjahit rumahan, ada
istilah konyol yang sering aku utarakan pada teman-teman sejawatku dulu;
‘Menjadi anak penjahit itu artinya ketika ayahmu mendapatkan pelanggan maka
akan ada sepotong ayam dalam piring makanmu, dan ketika ayahmu tidak
mendapatkan pelanggan, maka kau hanya akan makan nasi kecap dengan kerupuk atau
nasi garam dengan parutan kelapa.’ Dan memang seperti itulah kenyataannya yang
terjadi. Tapi tunggu, itu bukan berarti hidupku begitu menyedihkan. Tidak. Aku
sangat bahagia. Dan kebahagiaan itu semakin meletup-letup saat Idul Fitri tiba.
Hei, aku masih anak-anak ketika itu, dan anak-anak mana yang tidak berteriak
kegirangan saat suara takbir melambung dan menggema di udara? Tapi satu hal,
aku yakin kegembiraanku saat itu adalah letupan yang paling dashyat di antara
ratusan anak-anak di kampungku.
Kau tidak percaya? Baiklah, akan aku jabarkan
alasannya mengapa kukatakan aku sangat bahagia waktu itu.
Bagi kami, keempat anak ayahku, Idul Fitri adalah
suatu keajaiban. Sesuatu yang akan mengganti sepatu-sepatu butut dengan yang
lebih licin. Sesuatu yang kami namakan ‘baju baru yang hadir setahun sekali’
akan melekat di tubuh-tubuh kecil kami – ayahku memang penjahit, namun ia
jarang sekali membuatkan baju baru untuk bepergian kecuali saat lebaran tiba.
Sesuatu yang akan membuat ibu mengajak kami berkeliling pertokoan kaki lima dan
berbelanja kebutuhan lebaran. Mencoba sandal dan sepatu cantik, melihat
baju-baju berenda yang dipamerkan para manekin, dan melihat bagaimana ibu
berjuang menawar harga kemudian berbinar-binar ketika terjadi kesepakatan antara
dirinya dan pedagang. Sesuatu yang juga akan mengisi kantong-kantong kami
dengan lembaran-lembaran uang baru, dan ketika sudah terkumpul lebih banyak
dari yang pernah kami genggam, berduyun-duyun kami empat bersaudara akan
mengunjungi toko buku untuk membeli komik Jepang terbaru – hal yang masih
terlalu mahal bagi kami waktu itu. Aku dan adik-adikku penggila komik, namun
kami tidak memiliki uang cukup (kecuali ketika lebaran tiba) untuk membeli
komik baru.
Kau bisa bayangkan, bukan, bagaimana bahagianya
kami saat itu? Lebaran, sepatu dan baju baru, tumpukan uang dalam genggaman
kecilku, buku komik, jalan-jalan. Dan itu semua bukan hal yang menyedihkan. Tidak.
Itu justru menjadi sesuatu yang selalu kutunggu setiap tahunnya!
Dengan kebanggaan yang dibuat-buat kami akan
berkeliling kampung, mengunjungi rumah demi rumah. Ada begitu banyak kue di
atas meja tamu – aneka macam kue yang beberapanya belum pernah kami makan dalam
keseharian kami. Gelas-gelas tinggi
berisi sirup, madumongso dengan bungkusnya yang berwarna-warni, kacang mete, ketupat
dengan opor ayam yang aromanya menggelitik liur kami, juga wajah-wajah semringah.
Orang-orang tiba-tiba saja berubah menjadi lebih
ramah dan bahagia saat lebaran tiba. Aku suka sekali dengan hal itu. Kami
berempat bukan termasuk anak-anak yang nakal, namun bukan berarti kami tidak
pernah mendapatkan teriakan dari para tetangga hanya karena sedikit pola
keisengan anak-anak. Dan pikiranku saat melihat mereka tersenyum, itu artinya
aku dan adik-adikku telah dimaafkan.
Kebanyakan dari mereka akan mengatakan hal yang
sama, “Aduh, cantik-cantiknya.” lalu mengacak rambut kami dengan penuh kasih
sayang dan kami menciumi punggung tangan mereka. Ayah dan ibu akan berbasa-basi
sedikit dengan tuan rumah, sementara kami berempat duduk dengan tenang sambil
asyik menikmati kue dan sirup. Setiap ada kue yang enak, aku dan adik-adikku
selalu bersekongkol untuk menyerbunya terlebih dahulu. Kebanyakan yang bernasip
malang itu adalah nastar, kastangel, dan lidah kucing. Dan kami akan lebih senang
lagi ketika tuan rumah berkata, “Ayo, nggak apa-apa, habiskan. Kapan lagi ada
kue nastar di rumah Budhe.”
Kalau aku pikir sekarang, betapa memalukannya
kami ketika itu, tapi itulah anak-anak, bukan? Anak-anak selalu polos, selalu
tahu mana yang enak dan pantas untuk dinikmati. Dan kami lebih tahu lagi mana
tetangga yang akan memberikan uang lebih banyak setiap tahunnya. Itu artinya,
rumah mereka tidak boleh kami lewatkan!
Saat
lebaran, ayah selalu memboyong kami ke Surabaya, tempat nenek kami berada –
kakek sudah lama meninggal, mungkin ketika umurku baru tujuh tahun, tapi
entahlah, aku agak lupa. Saudara sepupuku banyak – ayahku tujuh bersaudara –
semua berkumpul di hari pertama lebaran. Ramai. Iya, seperti taman kanak-kanak,
lengkap dengan tumpukan suara-suara bising mereka.
Kami sering saling pamer baju baru. Kebiasaanku
melihat detail demi detail baju dan sepatu mereka kemudian membandingkannya
dengan milikku. Lucu sekali waktu itu. Kadang aku senyum-senyum sendiri ketika
punyaku lebih bagus, tapi tentu saja, aku lebih sering murung karena lebih
jelek.
Di menit-menit kebersamaan itulah adik-adik
ayahku selalu riuh membicarakan anak-anak mereka. Dan aku selalu bangga karena
di antara cucu nenek aku yang paling pintar. Aku akan mendapatkan hujan pujian,
tapi aku lebih suka berpura-pura diam, sedikit senyum malu-malu, dan duduk
dengan baik-baik di antara mereka.
Acara kumpul-kumpul seperti ini jarang terjadi.
Beberapa adik ayah sudah hidup di lain kota. Dan Idul Fitri adalah satu-satunya
momen yang menyatukan mereka semua. Akan ada banyak cerita yang keluar dari
bibir-bibir mereka yang merekah. Apakah itu tentang anak, kesuksesan karir,
rumah tangga mereka, apapun itu. Namun tetap saja di antara hingar-bingar tawa,
aku masih menunggu uluran tangan yang memberikan uang.
Jadi begitulah. Kau sekarang akhirnya tahu
mengapa aku yang masih kecil begitu gembira saat lebaran tiba. Karena bagiku
itulah surga. Saat di mana semua wajah berubah bahagia, tersenyum dengan tulus,
dan ramah. Saat di mana aku dan adik-adikku dimaafkan atas kesalahan-kesalahan
kami. Juga saatnya aku berburu komik terbaru dari uang yang aku dapatkan.
Menyenangkan, bukan?
Nah, inilah kisahku. Lalu ... mana kisahmu?
Sidoarjo, 290715
Gemes sama masa lalu ...
BalasHapus