SEJAK kulihat wajah ayah yang mengigil ketika tahu
kekuatan yang dimiliki ibu, aku belajar satu hal, bahwa manusia adalah makhluk
yang egois. Mereka tak mau menerima kenyataan atau mengakui saat ada seseorang
yang pernah dianggapnya lemah itu menjadi kuat.
Malam itu,
ayahku lari ketakutan. Meninggalkan ibu yang masih berdiri dengan mata
membuntang, sambil menggenggam sebuah pisau dapur. Kupeluk tubuh ibu dari
belakang, kemudian tangisan kami membuncah. Malam yang menggetarkan bagi kami.
Setelah itu, ibu mengajakku pergi dan hidup di tempat baru.
Ibu pernah
berkata, “Kau boleh menjadi diam, tetapi jangan menjadi lemah.” Aku paham.
Bertahun-tahun aku bersembunyi di balik kekuatanku sendiri. Kekuatan seorang
perempuan yang diturunkan ibu padaku. Hingga akhirnya, perempuan itu datang
berkunjung ke rumah kami.
***
NAMANYA Linggar. Datang di suatu siang bersama suaminya
ke rumah kami dengan alasan menjenguk anak ketigaku yang baru lahir bulan lalu.
Aku tak pernah merasa mengenal perempuan itu. Tapi lelakiku berkata, dia teman
kami ketika bersekolah dulu. Aku telah lupa. Tapi bukan itu yang membuatku
gelisah. Wajahnya yang bersemu merah jambu, lalu binar matanya yang ceria
tatkala berbincang dengan lelakiku, membuatku merasa kejanggalan ada dan tengah
terselip di antara keduanya.
Bahasa
tubuh Linggar begitu kentara jika dia sedang mengalami kecanggungan berada di
rumah ini bersama kami. Namun aku belum tahu, dikarenakan apakah sikap itu
terbuncah begitu kuat hingga mampu terbaca oleh mataku.
Satu jam
setelah Linggar berpamit pulang, aku menemukan email-email itu di notebook
milik lelakiku. Tubuh ini menggeligis karena amarah, sementara lelaki yang
telah kunikahi selama tujuh tahun itu bersujud di kaki sambil memohon ampunan.
Tak ada
rinai yang meleleh di sudut mataku. Tak ada kekata yang meluncur dari bibirku.
Semuanya beku, diam dan berkecai entah ke mana.
Dari email
yang kubaca, hubungan mereka telah terjalin kembali sejak aku hamil tua, enam
bulan yang lalu. Mereka bertemu di media sosial, mengenang kembali masa-masa
muda yang digadang-gadang indah bak pelangi yang menenggelamkan warnanya di
atas nirwana, lalu pergi berdua meninggalkan pasangan mereka masing-masing
untuk menikmati senja dan fajar di Pantai Jogan. Tak tanggung-tanggung, mereka
melakukan itu sudah dua kali dan berjanji akan terus rutin ke tempat kenangan
itu berdua.
Aku
meradang. Entah apa lagi yang bisa kukatakan. Tak ada. Kekecewaan itu sudah
terlalu pahit untuk diutarakan. Pada malam-malam pikuk, aku selalu tenggelam
dalam kehampaan. Rohku lepas, menjelma menjadi kunang-kunang lalu lesat
menerobosi kegelapan, berharap dijemput kematian.
Dalam
pengembaraan bawah sadar, aku selalu bertanya, mengapa lelaki itu begitu
mudahnya berkhianat? Mengapa perempuan itu begitu teganya merenggut kebahagiaan
yang seharusnya tak boleh lagi dia kecap? Namun walau seberapa sering aku
menaburkan lidah-lidah keluku dan bertanya pada hal yang tak mampu berkekata,
aku tetap tak menemukan jawaban.
Fajar
melata, aku kembali ke tubuhku dan mendapati lelaki itu sudah duduk menatapku
dengan wajahnya yang memilu.
“Kau
baik-baik saja?”
“Bagaimana
aku bisa baik-baik saja?”
“Bukankah
aku sudah meminta maaf dan takkan mengulangi perbuatanku?”
“Tapi
desah-desah napas kenanganmu bersamanya masih mengendap di batinku, Sayang.”
“Aku tahu,
tapi bisakah kau melupakan semuanya?”
“Itu tak
mungkin, kau tahu itu, kan?”
Kami diam.
Kerling matanya mengisyaratkan bahwa dia telah lelah dengan kebisuanku selama
ini.
“Kalau
begitu, terserah kau mau menjadi apa. Aku hanya sedih melihatmu seperti ini.”
Setelah berkata, lelaki itu kembali keluar kamar dan meninggalkanku yang telah
berhari-hari menyudutkan diri di kegelapan.
Denting
sang waktu tak lagi kudengar. Penat kepala mencabik kesadaranku. Di antara
limbung, aku berdiri lalu berjalan menuju kamar mandi. Mengguyur kepala ini
berkali-kali dengan air yang semakin dingin saat tengah malam. Berharap semua
ingatan tentang mereka ikut luruh dan raib bersama air yang mengalir masuk ke dalam
selokan.
Tangisanku
menjadi-jadi. Suara pompa air listrik melindapkan teriakan marah yang
kuserukan. Aku ingin hilang, ingin mati, ingin bebas dari kemurkaanku.
“Ibu,
bisakah kau jemput aku?” desisku di sela-sela air yang terus mengalir deras.
Diam, aku
terkulai di lantai kamar mandi. Sesak, kucoba meraih kembali napasku yang
hampir raib. Terbesit wajah ibu yang telah tiada. Aku ingat wajah murka ibu
yang mengusir ayah, ketika ketahuan berselingkuh dengan beberapa perempuan dan
menghabiskan semua uang simpanan. Iya, aku kini paham perasaan ibu.
Aku
melenguh sejenak. Berdiri dan berjalan menuju kamar tempat suami tertidur
lelap. Lantai rumah menjadi basah, aku tak peduli. Kulihat wajah lelaki
pengkhianat itu begitu tenang, seolah tak terjadi apa-apa antara kami.
Kebencian menepuk kembali pundakku. Ia berbisik, merayu dan meracau di cuping
telinga.
Kuhapus
air mata yang menggenang di pelupuk, lalu mengendap ke arah dapur. Lihatlah
lelakiku, apa yang bisa diperbuat oleh seorang perempuan saat ia terluka dan
memendam palak di hati.
-A.M.281114-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar