Sekali lagi kau memaki—kepada wanita yang
bahkan belum pernah menyakitimu—dengan lantang di hadapan bayangmu sendiri.
Dadamu terpanggang emosi. Urat-uratmu meregang hebat. Lalu kau
berteriak-teriak, “aku bukan wanita murah!”
***
Hari itu kau teringat benar—saat kau
tengah menikmati dosamu yang begitu kau banggakan. Sebelum kau menemui dirinya,
selama hampir satu jam kau patut dirimu di hadapan cermin. Sudah cantikkah,
sudah wangikah ..., itulah yang selalu kau tanyakan dalam hatimu. Setelah kau
rasa sudah cukup pantas untuk memamerkan pesonamu yang seharusnya hanya untuk
suamimu, kau akhirnya rela beranjak dari kamar. Berjalan dengan menyedapkan
langkahmu, untuk menemui lelaki yang seharusnya bukan hakmu untuk berkasih-kasih
dengannya.
Kau lihat lelaki itu—Rama—hadir
melambaikan tangannya di dalam sebuah mobil hitam. Kau lempar senyum yang
termanis—seperti seorang penari jalang yang menyebarkan pikatnya—ke arah Rama.
Lalu masuk ke dalam mobil, bercengkrama sebentar dengannya, hingga akhirnya
melaju menyibak pagi pukul sepuluh.
Hatimu tenang. Sedamai pepohonan jati—yang
kalian lalui—berdiri diam dalam gemingnya. Kau tidak sedikitpun mengkuatirkan
keberadaan suamimu. Karena sebuah sekenario telah kau siapkan di mukanya. Kala
itu kau hanya menikmati debaran yang meletup-letup, akan rasa cinta terlarang
antara kau dan Rama.
Hari itu kau lupa, bahwa seorang istri
yang baru saja melahirkan putrinya seminggu lalu, tengah menanti suaminya yang
telah kau curi. Kau berpura-pura tuli, buta dan mati. Kau hanya ingin dimengerti,
akan sebuah rasa yang muncul kembali saat pertemuanmu dengan Rama.
***
Kini kau membenamkan kebencian kepada
istri Rama, yang telah membuatmu terpisah dengan kekasihmu. Kau yakin kau
begitu menyedihkan. Hidup dalam kesakitan karena ulahmu sendiri, mencabik-cabik
waktu yang kau pikir tak pernah adil pada pilihanmu.
Kau bahkan dengan begitu sombongnya
mengumbar tanya, apa yang salah pada perasaanmu? Bukankah cinta datang tanpa
kau harapkan? Mengetuk dengan paksa hati yang telah kau serahkan kepada lelaki
halalmu. Kau bahkan tak mampu menghadapi gejolaknya. Lalu salahkah dengan
ketidakmampuan itu?
Wajahmu mengisut. Ketika istri kekasihmu
memberimu stempel dahi sebagai wanita murahan, kau berteriak di sela-sela
kebencianmu. Bagimu, wanita itu tak tahu apapun tentang perasaanmu! Pikirmu,
kau hanyalah manusia biasa, yang kapan pun juga akan melakukan kesalahan.
Lalu kau hanya terpekur dengan keegoanmu.
Bergelut manja dengan rasa banggamu yang mengagung-agungkan rasa cinta dan
kenanganmu dengan kekasih itu. Bagimu, sudahlah ..., bukankah kau telah
mendapatkan kebahagiaan?
Dan bukankah lelaki halalmu selalu
memiliki kata maaf teruntuk kelakuan konyolmu? Maka, kau akhirnya memilih untuk
tertawa. Iya. Tertawa dan tertawa, walaupun kau sadar bahwa kelak, karma akan
bertamu dalam jalan hidupmu.
Karma ..., karena telah menyakiti hati
menusia lain.
Karma ..., yang akan menempatkan
kesombonganmu pada tempat terkelam.
Kelak, dia akan datang ....
Nda,
090514
Tidak ada komentar:
Posting Komentar