Pukul sebelas siang. Terik matahari menyengat siapapun yang ada di muka
bumi. Tidak terkecuali aku. Walaupun seluruh kulitku sudah terbungkus kain,
sang matahari tetap tidak menyerah, bahkan untuk sedikit saja.
Hari ini lengkap. Semua sudah masuk ke dalam mobil. Dekik, Jimbon, Tole, Sasa,
Itong, dan aku, Cimeng. Kami berenam sudah siap hendak berangkat kerja. Jujur
sebenarnya aku sedang berdebar-debar. Ini tugas penting pertamaku, dan aku tidak
bisa berkonsentrasi.
Sial, seperti mau pingsan saja.
“Loe kenape, Meng? Muke loe keringetan, kaya abis nyemplung di empang aje.”
tanya Itong.
Gawat, dia menyadari kegugupanku. Pintar sekali dia, bisa melihat wajah berkeringatku
di balik cadar dan jilbab panjang ini.
“Ah, tidak. Buat apa aku gugup. Ini hanya keringat karena kepanasan.
Besok-besok biar kamu saja yang menggantikan posisiku menjadi wanita alim berkerudung
hitam seperti ini. Menyebalkan.” jawabku sewot.
Tole tertawa terbahak. Diiringi tawa kecil Sasa yang sedang sibuk menimang
bayi sebesar bantal dakronku di rumah. Entah anak siapa lagi itu yang disewa
kali ini. Besar sekali badannya. Ngeri rasanya punya bayi seperti itu.
Hihh.
“Kowe tenang aja, Meng. Kan dua hari lalu wes latihan toh? Lagi pula, nih
lihat cincin akikku ini,” Tole menyodorkan jari tangannya ke arah mukaku,
memamerkan cincin-cincin akik yang aneh, “di sini onok mantranya. Aku bisa buat
semua orang di sana nanti jadi tidak menyadari kehadiranmu, Meng. Percoyo wae,
Meng. Ini sakti!”
“Sakti opo?” sindirku gemas.
“Loh, ojok sembrono kamu, Meng. Ilmuku ini sudah bertahun-tahun tak asah.
Kalau tanpa pegangan seperti ini, kita gak bakal bisa sukses di pekerjaan
seperti ini.”
Iya deh, iya.
Tole dan Dekik memang senior kami. Tiga tahun lebih mereka bergelut di
bidang ini. Sedangkan aku, baru sebulan bergabung, dan baru kali ini terjun
lansung menjadi tokoh utamanya. Biasanya adalah Sasa, tetapi mereka bilang, aku
sepertinya punya bakat terpendam. Entahlah.
Kuakui mereka semua memang pemberani. Bernyali besar. Juga sangat pandai
dan cerdik. Sepertinya memang diciptakan dengan memiliki keahlian di bidang
begini. Heran. Kalau bukan karena pengangguran, tidak mungkin aku mau-maunya
diajak gabung sama mereka. Ini Jakarta, dan aku merantau dengan hanya bermodal
ijasah Sekolah Menengah Pertama. Dan itu susah sekali untuk bisa sebagai
jaminan hidup di ibukota.
“Sudah, sudah. Sebentar lagi kita sampai. Kamu, Meng. Kalau gugup tenangin
sama rokok dulu sana. Mumpung masih ada waktu sepuluh menit.” Dekik berseru
dari kursi depan. Di antara kawanan ini, memang Dekik-lah pemimpinnya.
Benar kata Dekik, aku kudu menenangkan dulu kegugupan ini. Sebentar lagi
tugas besar menanti di sana. Sebuah supermarket berkelas di Mall Taman Anggrek,
target besar kami hari ini.
***
Tole berdiri tegap dengan melipat tangan di belakang sebuah timbangan buah.
Matanya melirik kiri kanan, pun depan belakang. Melihat kondisi hilir mudik
penjaga. Seperti orang sakti saja. Jangan-jangan, cerita soal akik itu benar
adanya. Hmm, benar-benar dia ini. Membuatku jadi berpikir dua kali kalau mau
berbicara dengan dia, takut sama akiknya.
Di area lorong kosmetik, Dekik dan Sasa berpenampilan sebagai pasangan
suami istri yang mesra. Sasa mendorong kereta bayi raksasanya. Sementara Dekik
menggandeng erat tangan wanita cantik berambut merah itu. Kereta bayi miliknya
sudah dirancang sedemikian hingga agar muat menempatkan berpuluh-puluh jenis
kosmetik incaran kami. Catatan target mereka panjangnya amit-amit. Shampoo,
lotion, pelembab wajah, masker. Ah, entah apalagi, yang pasti semua merk
ternama.
Aku tak mau ambil pusing, itu bukan tugasku. Tugasku adalah lorong susu
bayi.
“Susu Fadhil apa ya, Umi? Abba kok lupa.” Jimbon yang berperan sebagai
pasangan suamiku sudah mulai menikmati aktingnya. Mencoba berpura-pura kalau
kami ini benar-benar membutuhkan susu untuk anak kami, yang sebenarnya sih
tidak nyata.
Ditanya Jimbon, akupun beraksi. Menjawab dengan menyebutkan salah satu merk
susu kaleng ternama. Aksi kami benar-benar meyakinkan. Sampai-sampai, saat kami
mencari-cari letak barang yang dimaksud, seorang SPG menunjukannya dengan
ramah.
“Sebelah sini, Ba.” Katanya sambil menuntun kami ke gondola yang dimaksud.
“Wah, stoknya kok cuman ini saja mbak? Kami butuh dua karton bisa?” Jimbon
mencoba mengalihkan perhatian si mbak SPG. Ini memang sudah trik kami. Berpura-pura
meminta barang lebih banyak dari yang dipajang di space gondola, agar penjaga
pergi ke gudang. Lorong sepi, kemudian kami bisa leluasa beraksi.
“Ada, Ba. Tunggu sebentar, akan saya ambilkan di gudang.”
Bagus! Berhasil. Selalu seperti ini. Dan SPG itupun pergi meninggalkan
kami.
“Terima kasih, Mbak.” Jawab Jimbon sambil melirik ke arahku.
Aku tahu maksudnya. Dengan sigap kujongkokan kaki. Di sini ada lima kaleng
susu seberat delapan ratus gram. Besar. Dan itu cukup untuk bersembunyi dengan
tenang di balik rok panjangku yang super lebar. Tidak akan ketahuan. Hanya
butuh sedikit perjuangan saat berjalan nanti.
Lirik sana lirik sini. Demikian juga dengan Jimbon. Lalu dengan secepat
kilat, secepat mata kalian berkedip, semua sudah berhasil kumasukan.
***
Jimbon tertawa terbahak. Giginya yang sebesar jagung lengkap dengan warna
kuningnya terlihat dengan jelas sekali. Dia sedang senang. Juga geli. Bercerita
tentang kejadian di dalam supermarket tadi.
“Kalau kalian melihat betapa bodohnya SPG tadi, kalian pasti juga akan
tertawa. Mudah sekali dia dikelabui. Pasti setelah keluar dari gudang, wanita
itu mencak-mencak karena kaleng-kaleng susunya sudah lenyap.”
“Aku memang tak salah menilaimu, Meng. Kau memang punya bakat. Tanganmu
cekatan, dan kutahu itu sejak melihat cara dan gayamu.”
Aku tersenyum saja. Ada sedikit bangga di hati.
***
Hari ini aku hanya tiduran di dalam mobil. Tidak ikut kawananku berburu.
Badanku sakit, rasanya mau remuk semua tulang-tulang ini. Mata
berkunang-kunang, kepala pun terasa sangat pening. Bahkan hendak bangun dan
buang air kecil saja rasanya enggan.
Sebenarnya aku hendak ingin istirahat saja di rumah kontrakan kami. Tetapi
Dekik melarang. Dia butuh ada yang menjaga mobil di area parkir, yang biasanya
dibebankan pada Itong, supir kami.
Dalam ketenangan istirahatku, tiba-tiba datang Itong dan Tole
menggedor-gedor pintu mobil. Wajah mereka penuh peluh dan tersirat kesan
ketakutan. Tampaknya telah terjadi sesuatu.
“Ada apa?” tanyaku.
“Wes, mengko wae tekone, Meng. Kita harus cepat pergi, sekarang!”
Dihardik Tole, aku tahu kalau kami benar-benar dalam masalah. Tanpa babibu,
aku minggir dari kursi supir yang langsung diambil alih oleh Itong. Namun, belum
sempat mobil dilajukan, kami melihat Jimbon berlari-lari terseok-seok, menyeret
kedua kakinya yang berat.
Aku tahu kaki itu telah berisi barang curian kami. Celana jeans milik
Jimbon yang model komprang itu memang dirancang agar bisa muat menyembunyikan
beberapa kosmetik di dalamnya. Di balik celana itu sudah dilapisi kain tebal
dengan karet di ujungnya, sehingga apapun yang masuk tidak akan keluar dari
sela-sela kaki.
Jimbon masih berlari dalam langkah yang berat. Tampak sangat susah sekali
laju jalannya. Kami berseru-seru agar dia cepat melajukan larinya. Tetapi
tiba-tiba, dari balik rimbunan mobil yang sedang terpakir rapi, berlari pula
empat satpam berpawakan tinggi tegap.
Busyet. Jantungku langsung berdebar-debar. Mungkin wajahku pun mulai
memucat. Ini baru namanya ketakutan. Gila apa? Aku tidak mau tertangkap!
“Wes, Tong. Jalan aja, cepat! Biarkan si Jimbon. Kita urus saja mereka
nanti.”
Itong menganggukan kepala, kemudian melajukan mobil. Dari kaca jendela
mobil yang gelap, aku melihat Jimbon, menyerah dalam pelariannya.
Tersengal-sengal, berusaha merangkul nafas kembali.
Tidak ada kecewa dalam matanya. Jimbon tahu benar, ini sudah resiko. Dan
kepergian kami meninggalkannya adalah keputusan tepat. Karena kami nantinyalah
yang akan mencari jalan untuk membebaskan mereka bertiga.
***
Dekik dan Jimbon akhirnya dipenjara.
Ketika kami menjenguk di penjara--berpura-pura sebagai keluarga dekat
Dekik--keadaannya sangat mengenaskan. Bibirnya bengkak. Pipi memar membiru. Lalu pelipis mata sobek. Memang sudah
dibalut perban, tetapi sisa-sisa darah yang mengering masih saja menempel di
sela-selanya.
Dia sudah tak mampu bicara lagi. Semua tubuhnya terasa nyeri. Sungguh beban
yang ditanggung Dekik sangat besar. Dia lebih memilih diam saat disiksa
daripada memberi tahu siapa saja kawanannya yang ikut andil dalam pencurian di
supermarket.
Keadaan Jimbon juga hampir sama. Hanya saja, dia masih lumayan. Tampaknya tidak sehancur wajah Dekik yang sudah hampir bisa dikatakan sebagai pelampiasan polisi-polisi gila. Sementara itu, Sasa berhasil kami bebaskan dengan uang jaminan, yang tentu saja tidak sedikit jumlahnya.
Aku kasihan melihat kondisi Sasa. Rambutnya yang merah indah bak
artis-artis dangdut itu sudah petal di sana sini. Tampaknya dia shock setengah
mati. Selama di dalam mobil dia hanya menangis dan menangis. Bercerita tentang
perlakuan tak senonoh dari oknum polisi, juga beberapa kekerasan yang dia
dapatkan.
Melihat keadaan Sasa dan mendengar cerita-ceritanya, hatiku jadi menciut.
Perasaan ketakutan itu mulai muncul. Sebuah pertanyaan mencuat dalam batinku, akankah kuteruskan pekerjaan gila ini?
Aku jadi ragu ....
Perjalanan sore ini sangat mencekam. Mungkin, bagi yang lain juga begitu.
Tetapi entahlah. Bukankah mereka telah lama bergelut di bidang ini?
Ah, rasa capek itu tiba jua. Rasanya ..., aku ingin berhenti dan pergi
sejauh mungkin ....
Nda, 090514