Kamis, 15 Desember 2022

Pejalan Mimpi, Oleh: Maharvin Putra Nugroho

Apa cinta pertamamu? Hm yah, itu wajar kalau cinta pertama mu suka terhadap seorang wanita. Kau bertanya apa cinta pertama ku? Ahaha, cinta pertama ku terhadap buku novel yang kubaca saat masih di sekolah dasar. Hei sudahlah jangan menggapnya aneh aku serius, karena buku novel yang ku baca itu lah aku dapat menjadi diri ku yang sekarang. Apa kamu mau tahu bagaimana cerita nya? Baiklah tapi jangan tertawa okay.

Aku dulu bersekolah di SCARLET GAKUEN. Itu sekolah elit yang berada di Susaki. Banyak anak berprestasi di sana mulai dari yang jago olaraga, bidang seni, ilmu pengetahuan. Pengalaman ku bersekolah di sana biasa saja, maksudku setiap mata pelajaran yang di berikan selalu membuatku ngantuk, dan hampir setiap hari kelas sepi karena kebanyakan anak mengasah kemampuan mereka untuk berjalan di jalur prestasi mereka sediri. Karena kelas begitu membosankan, di kelas aku selalu belajar sendiri dan selalu menyelesaikan soal-soal yang tertera di buku paket atau pun lembar kerja siswa. Aku lebih suka belajar sendiri, dan karena itu jarang ada yang mengajak ku ngobrol atau singkat nya aku tidak memiliki teman yang tetap. Kebanyakan dari mereka hanya mengobrol dengan ku untuk urusan pribadi mereka, setelah selesai mereka kembali sibuk dengan teman nya yang lain.

Higga suatu hari kelas kami di tugas kan untuk menceritakan cerita atau alur yang terdapat di buku cerita. Aku tidak suka tugas ini, aku merasa kekanak-kanakan karena membaca buku cerita. Saat pulang aku mampir ke suatu perpustakaan yang tidak jauh dari sekolah. Perpustakaan itu besar sekali,aku sampai bingung ingin kemana terlebih dahulu. Karena kebingungan aku bertanya kepada perpustakawan yang sedang merapikan buku.

“Permisi Pak,apa ada buku cerita yang bagus di sini,” tanyaku.

“Oh ada,dari rak buku sini kamu belok ke kanan sampai melewati 3 rak buku dan belok kiri,” jawab perpustakawan itu.

“baiklah Pak, terima kasih,” Jawabku sambil menundukan kepala. 

Setelah mengikuti petunjuk dari pak perpustakawan tadi aku sampai di rak buku yang bertuliskan novel. Aku bingung, aku minta nya buku cerita dan kenapa malah ke rak buku novel. Sudah lah kata perpustakawan itu disini rak buku cerita. Mari kita lihat apa yang ada disini. 

Setelah melihat kesana sini, mata ku tertujuh kepada buku yang judulnya PEJALAN MIMPI. Tanpa pikir panjang aku mengambil buku tersebut karena ku pikir buku itu terlihat seperti bukan buku cerita anak-anak. Saat ku buka terdapat banyak judul dari bab buku itu yang terdapat kesan yang dalam. Dalam hati ku aku merasa penasaran dan jantung ku berdetak kencang. Karena penasaran dengan isi buku itu aku segera pergi ke meja perpustakawan untuk meminjam buku itu.

Sesampai di rumah aku membaca buku novel tersebut dan kesan tentang apa yang ku rasakan saat membaca ada banyak hal. Mulai dari rasa sedih,marah,bahagia,terharu. Buku ini sangat keren, itu yang ku katakan. Menceritakan tentang perjuangan seorang wanita yang berjuang menggapai mimpinya. Detak jantung ku semakin kencang, hingga aku lupa untuk makan malam. Setelah selesai membaca buku yang berjumlah 235 halaman itu dalam waktu 3 jam, aku bergegas bangun dari kasur dan turun ke lantai bawah dan menghampiri mama.

“Ma, impianku adalah menjadi penulis buku novel,” kataku kepada mama,mama hanya tersenyum manis kepada ku, sambil membawah sebuah piring makan malam,mama mencubit pipi ku dan berkata.

“Bagus,itu bagus sekali. Mama yakin kamu bisa mengejar impianmu itu. Dan kamu bisa membuat semua orang bahagia saat membaca karyamu,” jawab mama menaruh harapan kepada ku. Aku semakin yakin kalau aku bisa menjadi penulis novel yang hebat seperti penulis buku PEJALAN MIMPI. 

Hingga hampir setiap hari aku menulis cerita ku sediri,aku menulis banyak kata dan ide yang ada di pikiran ku. Aku menjadi semangat, aku jadi  ingin membaca buku novel yang lainya. Hingga pada suatu hari aku menulis cerita novel ku sendiri sambil membaca buku novel di kelas. Saat jam istirahat aku tidak bisa melepaskan pandangan ku dari buku ku.

“Hei lihat, tumben nih dia nggak membaca buku materi lagi,biasanya dia membaca buku yang cuma menyangkut pelajaran saja,” kata anak laki laki di belakangku. 

“Apa salahnya, buku ini bagus tahu,” jawabku.

“Ya itu hanya buku cerita anak anak saja,bukanya umur mu sudah bisa di bilang dewasa. Seharusnya kamu berhenti membaca buku cerita yang tidak nyata seperti itu,” ejek anak laki laki berambut pirang.

“Kalian jangan mengejek buku novel se enaknya ya,buku novel ini adalah karya hebat yang bisa membuat pembacanya merasakan apa yang tertulis di buku ini,” teriak ku ke gerombolan anak laki laki.

“Jangan marah begitu dong, memangnya apa penting nya novel itu untukmu,” tanya salah satu anak anak laki laki belanda.

“Asal kalian tahu ya, cita cita ku ingin menjadi penulis novel yang terkenal,” jawabku dengan lantang. Mereka menatap satu sama lain dan akhirnya mereka mulai tertawa dengan apa yang kukatakan.

“Ya ampun, kamu ini bersekolah di sekolah elit dan cita cita mu rendah sekali hahaha.” ejek si rambut pirang. Mereka semakin menjadi jadi, mengejek mimpiku. Aku sangat kesal, tapi tiba tiba Pak Qingxiu datang dan menampar ketiga anak laki laki itu.

“Kalian yang seharusnya malu, kalian di sekolah elit seperti ini masih bersikap seperti anak anak. Semua cita cita itu mulia, jadi jangan mengejek cita cita orang lain dan kamu anggap cita cita mereka rendah,” kata Pak Qingxiu marah kepada anak laki laki itu. Mereka mengangguk, setelah itu pak Qingxiu berbalik dan menghampiri ku.

“Jangan dengarkan mereka ya, impianmu sudah bagus, bapak yakin kamu bisa menjadi penulis yang hebat. Ciptakan karya mu dan capai lah impian mu itu,” kata Pak Qingxiu. Aku terharu dengan apa yang di katakana nya,karena aku sempat mengira impian ku hanya seperti selembar daun di pinggir jalan.

“Ah iya, bapak lihat kamu juga mulai menulis novel karya mu sendiri, bisa bapak melihat buku hasil karya mu?” tanya pak Qingxiu. Aku langsung  menyerahkan buku catatan novel ku ke Pak Qingxiu, dan setelah membacanya selama 3 menit, Pak Qingxiu terkesan dengan hasil karyaku.

“Ini sangat bagus, walau bapak membacanya hanya sebentar tapi bapak yakin kamu dapat menciptakan karya yang mengagumkan. Hei bagaimana kalau bapak daftarkan ke lomba menulis novel, nanti buku mu akan di cetak dan akan di baca banyak orang” tawar pak Qingxiu kepadaku.Aku awalnya ragu dan tidak yakin dengan diri ku sendiri,tapi ini kesempatan yang bagus untuk memulai awal dari perjalanan mimpi ku.

“Baik Pak, saya mau ikut lomba novel itu,aku akan berusaha yang terbaik,” jawabku dengan penuh semangat. Pak Qingxiu tersenyum mendengarnya. 

“baiklah akan ku hubungi penyelenggara lomba nya.Bapak selalu di ruangan bapak, kalau ada apa sesuatu yang susah akan bapak bantu,” kata pak Qingxiu, aku mengangguk dan semakin bersemangat untuk melanjutkan cerita novel ku. Saat kembali aku aku berlari ke arah mama dan segera memeluk nya.

“Mama coba tebak aku masuk lomba menulis novel loh, aku semakin dekat dengan impian ku sebagai penulis novel. Gimana? keren kan mama,” ucapku ke mama dengan nada bahagia.

“Duh kamu ini, mama sudah tau kalu kamu pasti bisa menjadi penulis yang hebat. Tapi apapun mimpi mu mama akan selalu mendukungmu,” ucap mama kepada ku. 



Sudah bulan ke 4 dari aku mengirim karya ku ke panitia lomba dan masih tidak ada kabar tentang hasil lomba ku. Aku di kelas tetap menunggu sambil membaca buku novel lainya.

“Tuh lihat, dia pasti tidak memenangkan lomba nya,” ucap anak laki laki pirang itu.

“Tentu saja,pak Qingxiu terlalu berlebihan untuk memanjakan diri nya. Sampai mengagumi karya anak sekolah dasar yang lawan nya anak anak yang lebih dewasa darinya,” ucap teman laki laki lainnya. Mendengar kata hinaan dan ejekan dari mereka membuat ku putus asa. Apa aku hanya melakukan hal percuma? aku mulai kehilangan harapan atau impian ku untuk menjadi penulis yang hebat. Aku mulai terjatuh di jalan impianku sendiri. aku telah mengecewakan harapan orang tuaku. 

“Lihat pasti dia tidak lolos lomba—“ tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, Pak Qingxiu berlari dari arah pintu koridor dan menujuh ke diri ku dengan nafas terengah engah.

“Ada apa Pak?”

“Penyelenggara lomba, ingin bertemu denganmu,” jawab pak Qingxiu. Aku kaget karena untuk apa penyelenggara lomba datang ke sekolah ku. Setelah sampai di ruang kepala sekolah, ada seorang pria yang wajah nya tidak asing bagi ku. Aku duduk di depan nya dan dia bertanya kepada ku.

“Apa benar kamu yang menulis buku novel yang berjudul Hujan Tidak Turun dari Langit ini?” tanya pria itu,aku pun mengangguk. 

“kamu memenangkan lomba menulis novel nak” ucap pria itu sambil menatap mata ku. aku terpaku diam dan kembali bertanya.

“ak,aku memenangkanya?” Tanya ku, dan pria itu juga menngangguk. Mulut ku tidak bisa mengeluarkan kata kata dan aku menangis terharu. Kepala sekolah itu berdiri dan mulai berbicara.

“nak,pria ini adalah luise graham. Penulis novel terkenal yang sudah mempubliskan banyak karya nya ke dunia.” Ucap kepala sekolah. Aku kaget dan berdiri sambil menaruh telapak tangan ku di meja.

“luise graham, penulis buku novel pejalan mimpi itu. Aku penggemar berat mu, nama ku lidya niulord.”ucap ku,luise terdiam dan tertawa.

“hahaha ternyata kamu penggemarku,aku senang memiliki penggemar yang hebat seperti mu.” Ucap luise

“Ah tidak biasa saja. Dibandingkan dengan Pak Luise aku masih pemula,dan aku termotivasi dari buku bapak luise. Ah iya boleh aku minta tanda tangan mu?” Tanya ku dengan penuh rasa senang.

“Panggil saja aku Luise, boleh aku akan memberi mu tanda tangan. Dan buku yang kamu baca pertama kali pejalan mimpi ya. Seperti nya kamu sudah menjadi seorang pejalan mimpi sesunggunya. Sekarang kamu sudah menggapai impian mu bukan?” Jawab luise. Aku kebingungan dan kembali bertanya.

“Apa maksudmu tentang sudah menggapai impian ku?” tanyaku balik.

“Hadiah dari lomba ini kamu akan dijadikan penulis resmi oleh diriku, dan mulai dari sekarang kamu adalah penulis.”

Aku mulai menangis haru setelah mendengar aku telah menjadi penulis novel secara resmi di usiaku yang masih di sekolah dasar. Dan setelah itu aku bisa membuktikan kalau perkataan mereka salah, aku telah membuktikan kepada mereka diriku yang perjuang untuk menggapai impianku. Mulai saat hari itu aku di tawarkan oleh Luise untuk ikut dengan nya keluar negeri untuk mengasah kealihannya dalam menulis. Setelah 3 tahun berguru bersama luise, aku kini sudah menjadi penulis terkenal.

“Dan ya itu lah ceritaku sebelum aku menjadi penulis yang terkenal. Apa kamu puas dengan ceritaku manager?” 

“Iya aku puas tapi aku sungguh kesal kepada anak yang mengejekmu. Anda hebat juga bisa menghirau perkataan mereka, dan sekarang kamu bisa membuktikan kalau kamu bisa,” kata managerku.

“Hahaha aku tidak akan bisa menjadi diriku yang sekarang kalau aku tidak menemukan bukunya Luise. Luise telah membuat ku menemukan jalan mimpi ku sendiri. aku sangat berhutang budi pada nya. Dan aku termotivasi untuk membuat buku novel yang membuat pembacanya pantang menyerah di jalan mimpinya. Aku ingin menjadi sosok yang telah membuktikan kalau usaha untuk mencapai mimpi dan cita-citamu tidak ada kata sia-sia saat kamu benar-benar niat dan ingin berusaha.” []




Maharvin Putra Nugroho

Saat ini bersekolah di SMP Hang Tuah 5 Candi. Lahir di Sidoarjo. Penyuka anime dan game.

Minggu, 16 September 2018

KUMPULAN FIKSIMINI: CARA PALING CEPAT MENEMUI KEKASIH

Gambar: Pinterest


Di Dalam Kereta Api yang Berjalan 
Sepasang mata ditemukan di langit-langit toilet. Orang-orang panik. Dengan santai, aku melirik Ayah yang mengenakan kacamata hitam.

Butuh Uang untuk Makan 
Sepasang suami-istri menjual cinta mereka ke pasar loak. 

Ketika Satpol PP Datang 
Belasan rumah liar di tepi sungai Cikapundung lari terbirit-birit, meninggalkan anak-anak mereka. 

Lupa 
Dasar laki-laki cabul, berani sekali kau tidur di ranjangku! maki Nenek sambil memukuli punggung Kakek dengan tongkat.

Sebuah Pernikahan yang Sakral 
Sebulan setelah sepasang kekasih itu terjun ke dalam sumur, terdengar suara ijab qabul dan tangisan bahagia sepanjang malam.

Pembunuh Berdarah Dingin Itu Akhirnya Tumbang 
Dari dalam dadanya yang tertembus peluruh polisi, keluar bongkahan-bongkahan es batu. 

Akibat Terlalu Takut Terlambat Bangun 
Setiap malam, Bandit tidur di dalam jam dinding rumahnya. 

Cara Paling Cepat Menemui Kekasih 
Ia melebur seluruh tubuhnya menjadi kata-kata, lalu mengirimnya melalui pesan Whatsapp. 

Bau Amis yang Tidak Bisa Hilang 
Ia tidak henti-hentinya mencuci tangan semenjak pagi buta. Ketika anaknya bertanya, ia menjawab, Tangan Ibu telah membuat ayahmu tidak pernah pulang lagi.

~ Ajeng Maharani 

Kamis, 24 Mei 2018

PEMUDA YANG TERSESAT DAN KOTAK TAWA

PEMUDA YANG TERSESAT 

Di hari ketika kami berpisah, Wulan tak mengucap apa pun tentang kehamilannya. Ia baru mengatakan segalanya sore ini, padahal lima bulan telah berlalu. Pagi itu, di terminal Purabaya, Wulan hanya memelukku erat dan tanpa kata-kata atau tangisan yang dibuat-buat agar nampak seperti perpisahan yang menyedihkan. Aku berpikir, semua karena kata-kata dan air mata sudah terlalu banyak kami hibahkan pada hari-hari kebersamaan kami, tapi ternyata aku salah. Ia sengaja menyimpan segala kepedihannya seorang diri.

Sekali lagi angin laut mempermainkanku. Aku mengerjab-kerjab, memandangi ombak-ombak kecil yang berlarian menerjang dinding batu tempatku terduduk dengan menggenggam erat ponsel. Wulan tidak memintaku kembali ke kotanya—padahal hanya butuh beberapa jam perjalanan saja. Ia hanya berkata, “Aku tidak apa-apa. Aku akan selalu menunggumu pulang. Aku dan anak ini akan menunggumu pulang suatu saat nanti.” Air mataku pecah. Aku masih ingin mengenang Wulan, tapi senja sudah tiba. Aku harus segera kembali pulang ke rumah Mak Muah.

Mak Muah adalah perempuan tua yang mengizinkan aku ikut tinggal di dalam rumahnya yang sederhana, selama aku singgah dan tersesat di desa pesisir ini. Ia seorang pendongeng yang andal. Ia hidup seorang diri. Suaminya sudah mati bertahun-tahun yang lalu, dan mereka tidak mempunyai anak. Ia hidup dalam kesendirian, kesepian yang melarat-larat.

Setiap habis sholat Isya, anak-anak akan berkumpul di teras rumah Mak Muah. Mereka duduk di bawah kaki perempuan tua itu, mengelilinginya bak acara selamatan. Anak-anak itu akan mendongak ke atas—Mak Muah duduk di atas kursi rotannya—manggut-manggut atau membuka mulutnya lebar-lebar. Ada juga yang terkantuk-kantuk, lalu merebahkan tubuh di lantai ubin hingga ibu atau bapaknya datang menjemput dan menggendongnya pulang.

Secangkir kopi dan dua potong pisang nangka goreng sudah kuhabiskan dengan lahap. Mak Muah pandai menyeduh kopi yang hitam dan kental. Ada rasa sedikit pedas, aku kira itu merica dan kapulaga yang ditumbuk halus dan dicampurkan dalam kopi bubuknya. Itu membuatku mampu terjaga semalaman hingga pagi buta nanti, karena aku akan ikut berlayar menjaring ikan. Pak Soleh, tetangga Mak Muah-lah yang bersedia menerimaku bekerja di perahunya. Aku terbiasa melakukan pekerjaan apa pun dalam setiap perjalananku, dan untung saja aku tidak mabuk laut.

Menjelajahi laut di tengah malam seperti memasuki lubang hitam pekat yang sewaktu-waktu bisa saja menelanku. Dingin dan berguncang-guncang. Aku harus terus mampu terjaga, laut bisa saja menjadi kuburan yang menakutkan.

Ketika aku masih kecil, aku dan Ayah sering ikut terjun ke dalam tambak milik penduduk sekitar ketika mereka memanen ikan. Kami akan mencari ikan-ikan mujair, yang kecil-kecil tentu saja, karena yang besar akan dijual sendiri oleh pemilik tambak. Ikan-ikan mujair itu kami pilih yang bertubuh gelap seluruhnya, rasanya lebih gurih daripada yang ekor dan siripnya berwarna kemerahan. Ibu akan mengolahnya menjadi dendeng mujair dan itu yang terenak bagiku, karena ketika aku pernah makan di rumah salah satu kawanku yang ibunya juga memasak dendeng mujair, rasanya hambar dan payah.

Di sini, setelah pulang berlayar dan menjual hasil tangkapan kami di pelelangan ikan, Pak Soleh selalu memberiku sepotong atau dua potong ikan laut yang besar-besar. Ikan-ikan aneh yang belum pernah kumakan. Kemarin pagi aku mendapatkan tiga ekor ikan yang kulit tubuhnya keras, yang bahkan tidak bisa ditembus oleh pisau. Pak Soleh bilang itu jenis ikan karang, di Lamongan ikan itu terkenal dengan sebutan togeg, tapi nama umumnya adalah ikan ayam-ayam.

Aku mengamatinya dengan cermat dan tekun, merasa aneh dengan mata bulatnya yang besar dan bibir yang teramat tebal. Aku terus berpikir tentang bagaimana caranya agar aku bisa makan ikan yang bahkan tidak bisa kupotong-potong dan dibersihkan kulitnya yang sekeras batu itu.

Sesampainya di rumah Mak Muah, kuutarakan keanehan itu padanya, dan perempuan tua itu tertawa penuh pingkal, memperlihatkan gigi-giginya yang cokelat merah karena terlalu sering bersenggama dengan sirih, pinang, dan cengkeh. Ia berkata, “Togeg itu ndak perlu dibersihkan kulitnya, Le. Iki yo mung dibakar wae, mengko kulitnya bisa buka sendiri.”

Dan benar saja, ketika ikan itu dibakar di atas bara arang, kulitnya yang keras jadi melepuh dan pecah-pecah. Aku tinggal membukanya pelan-pelan. Dagingnya yang putih dan kesat itu ternyata jauh lebih enak daripada ikan bandeng, dan ikan togeg tidak memiliki duri-duri kecil yang tumbuh di daging-dagingnya seperti ikan bandeng. Aku lahap menyantapnya. Mak Muah hanya membuatkan sambal kecap dengan potongan bawang merah dan perasan jeruk limau, tapi bagiku itu sangatlah nikmat.

Suatu waktu—mungkin empat hari lalu, sebelum aku menerima ikan togeg—aku juga pernah mendapatkan ikan hiu yang masih kecil. Tubuh hiu itu memiliki bintik-bintik hitam. Pak Soleh bilang, daging hiu rasanya manis, dan ia benar. Mak Muah membuatkan kuah pedas dengan banyak potongan tomat hijau dan cabai yang dibiarkan utuh begitu saja. Keringatku sampai habis, dan Mak Muah lagi-lagi tertawa terpingkal-pingkal. Ia pikir tingkahku yang kepedasan itu lucu, mirip dengan mendiang suaminya.

Kini, malam hampir mencapai puncaknya dan anak-anak sudah pulang satu per satu, meninggalkan Mak Muah yang masih saja duduk di atas kursi rotannya yang digoyang-goyang pelan. Aku rebah di atas dipan kayu, di samping kursi rotan perempuan itu. Mataku sibuk menerawang di langit-langit teras ketika bunyi dering ponsel berbunyi. Itu pasti dari Wulan lagi. Setiap malam, Wulan selalu menyiapkan cerita-cerita baru, menemani kerinduanku padanya, sampai ia merasa lelah dan berujar ingin segera tidur.

“Hai,” ucapnya menyapa. Aku tersenyum dan bangkit dari dipan, mengambil posisi duduk. Mak Muah melihatku dengan senyum-senyum kecil. Ia tahu hubunganku dengan Wulan, tapi aku belum mengatakan perihal bayi kami.

“Ada cerita lucu hari ini,” ujar Wulan. Nada suaranya sudah lebih ceria daripada tadi sore. Kali ini ia berkisah tentang muridnya, Liona. Wulan adalah seorang guru TK. Ketika aku singgah di kotanya, aku bertemu dirinya di alun-alun kota, ketika ia dan Liona tengah menikmati pertunjukan boneka kayuku.

Perjumpaan itu adalah sebuah ketidaksengajaan yang membahagiakan. Kami saling jatuh cinta. Ia bahkan tidak mempedulikan siapa diriku. Sudah kukatakan aku tidak mungkin menjalin sebuah hubungan yang serius, karena aku akan selalu berjalan dan tersesat, mencari tawa-tawa bocah dan memasukkannya ke dalam sebuah kotak. Kotak yang kutahu tidak akan pernah penuh oleh tawa, jadi aku harus terus mengumpulkannya dengan bertingkah konyol, menjadi badut gendut yang pura-pura terpeleset, atau badut bodoh yang melompat-lompat lalu berputar-putar sambil melempar bola-bola ke atas dan pura-pura tidak bisa menangkapnya satu-satu.

Suara-suara ceria Wulan terus menggema di telingaku. Saat seperti ini, aku tidak pernah menyela ceritanya. Bagi diriku, ucapan Wulan seolah dongeng pengantar tidur dan aku sangat menyukainya.

Malam semakin larut. Mak Muah sudah terkantuk-kantuk. Percakapanku dengan Wulan akhirnya harus berakhir ketika Pak Soleh keluar dari pintu rumahnya dan memandangku. Inilah saatnya aku kembali menebas lautan yang pekat, dingin, dan berguncang-guncang.


KOTAK TAWA

Wulan mengetuk-ketukan tumpukan buku-buku itu di atas ubin, lalu melesakkannya ke dalam rak paling bawah, menatanya sedemikian rupa hingga pantat buku itu lurus dan menghadap sempurna ke depan. Ia mengamati tumpukan buku-buku itu sejenak, sambil mengelus-elus perutnya yang sudah semakin membuntal. Tangan kanannya kemudian meraih bolpoin dan sebuah buku besar, lalu menuliskan sesuatu di sana. Aku tidak bisa melihat, apa yang sedang dituliskannya. Jarak antara tubuh basahku dan dirinya terlalu jauh. Aku juga tidak ingin mengganggunya.

Sesekali kulihat Wulan berhenti menulis, mengalihkan pandangannya pada ponsel hitam yang diletakkan di samping kirinya. Ia menungguku. Aku tahu ia begitu menungguku. Saat-saat demikian itu tiba-tiba terasa hening. Dan kesunyian yang menyedihkan seperti itu, menguar hingga ke tempatku berdiri. Membuatku terenyuh.

Kuremas kotak tawa di genggamanku. Kotak itu masih belum penuh juga. Dulu, di hari ketika kakekku meninggal, ayahku berkata dalam isakan tangisnya, bahwa ia telah membuat bapaknya itu pergi dengan kekecewaan yang teramat dalam. Aku bertanya pada ayahku, dan ia menjawab kalau ia tidak bisa mengumpulkan tawa. Kakek ingin Ayah melakukan itu tapi Ayah dulu menolaknya dengan kasar, dan itu membuat kakekku terluka dan sedih.

Kakekku adalah seorang badut keliling. Ia mempunyai kotak tawa. Kotak itu berwarna biru langit dan kini telah menjadi milikku. Aku yang akhirnya memutuskan meneruskan impian Kakek: mengumpulkan tawa. Atau lebih tepatnya: membuat anak-anak tertawa. Dan sekarang, aku ingin menyerahkan kotak ini pada anakku, agar kelak bocah itu juga tahu, bahwa di dunia ini masih ada begitu banyak anak-anak yang membutuhkan tawa. Aku ingin, kelak bocah itu akan mengerti dan melanjutkan impianku dan Kakek.

Wulan menoleh ke arahku. Mengerjab sedih. Wajahnya terlihat murung. Aku jadi merasa bersalah. Aku ingin berlari ke arahnya dan memeluknya, tapi tentu saja itu mustahil.

Kuletakan kotak tawa itu di depan pintu, mengenai genangan air yang menetes dari tubuhku. Aku berjalan menjauh. Jejak-jejak air menapak di halaman sekolah tempat Wulan mengajar. Perasaan damai itu menyusup ke dada. Keinginanku sudah terpenuhi, dan sekarang, saatnya aku menjumpai malaikat kematian yang telah menungguku di sana. Di bawah laut yang paling gelap, tempat jasadku tenggelam, terhempas badai laut yang menggila. []


Sidoarjo, 2018

Minggu, 20 Mei 2018

APA ITU HEMOFILIA DAN BAGAIMANA KITA MENGHADAPINYA



Beberapa hari ini, saya tengah menyelesaikan sebuah naskah novel yang diangkat dari kisah nyata sang penulis, seorang perempuan hebat yang memperjuangkan hemofilia. Sebagai seorang editor freelance, tentu saja saya harus memahami betul apa yang tengah saya hadapi, dan dalam hal ini adalah Hemofilia. Saya pun mulai melakukan riset tentang kelainan genetik tersebut, dan ingin berbagi di dalam blog pribadi saya ini.

Hemofilia adalah suatu kelainan genetik, di mana pasien mengalami gangguan pembekuan darah.

Di dalam darah kita, terdapat beberapa faktor pembeku yang memiliki tugas untuk menghentikan pendarahan. Ketika kita mengalami pendarahan, akan muncul cabikan atau sobekan pada salurah darah, atau yang sering kita sebut pembuluh darah. Dengan cepat, pembuluh darah itu bereaksi mengetatkan diri (menyempit). Suatu sel darah kemudian mulai bekerja menutup sobekan tersebut. Sesaat berikutnya barulah faktor pembeku darah bereaksi untuk merajut penutup luka cabikan.

Faktor-faktor pembeku darah tersebut bekerja secara berurutan, seperti halnya efek domino. Faktor yang satu bekerja setelah faktor yang lain, dan pada saat rangkaian kinerja itu berakhir, perdarahan akan berhenti.

Apabila salah satu faktor pembeku itu hilang atau tidak dapat berfungsi dengan baik, proses pembekuan tak akan berlangsung sempurna, sehingga darah bakal terus mengucur. Itulah yang terjadi pada pasien hemofilia.

Apabila mutasi gen tersebut terjadi pada faktor pembekuan VIII (8), maka pasien disebut sebagai penderita Hemofila A. Suntikan yang diberikan untuk penderita hemofilia A adalah octocog alfa yang dirancang untuk mengontrol faktor pembekuan VIII (8). Pemberian suntikan ini dianjurkan setiap 48 jam. Efek samping yang mungkin timbul: gatal, ruam kulit, nyeri dan kemerahan pada area suntikan.

Dan, apabila mutasi gen tersebut terjadi pada faktor pembekuan IX (9), maka pasien disebut menderita Hemofilia B. Suntikan yang diberikan untuk penderita hemofilia B adalah nonacog alfa yang dirancang untuk mengontrol faltor pembekuan IX (9). Penyuntikan dilakukan 2 kali dalam seminggu. Efek samping: mual, pembengkakan pada area yang disuntik, pusing, dan rasa tidak nyaman.



Para penderita yang mendapatkan suntikan ini harus melakukan pemeriksaan kadar inhibitor secara teratur, karena obat faktor pembekuan darah terkadang dapat memicu pembentukan antibodi sehingga obat kurang efektif.

Hemofilia, yang sering disebut sebagai "The Royal Diseases" ini--penyakit hemofilia adalah identik dengan kaum ningrat di Inggris. Karena ingin menjaga kemurnian darah bangsawannya, terkadang kaum ningrat itu menikah dengan keturunan yang masih dekat. Karena dekatnya garis keturunan sering memunculkan masalah genetik pada keturunannya, termasuk Hemofilia. Salah satunya adalah Ratu Victoria Inggris yang diduga sebagai pembawa sifat (carrier)—sebenarnya sudah bisa dideteksi sejak dini, yakni pada bayi. Biasanya, akan muncul lebam-lebam tanpa sebab. Apabila penderita mengalami sedikit saja benturan, maka akan mengakibatkan luka memar yang sulit menghilang. Hemofilia memang tidak dapat disembuhkan, tapi kita bisa mencegahnya agar tidak terjadi pendarahan fatal.



Penderita kelainan ini kebanyakan adalah laki-laki, karena hemofilia menyerang kromosom X, sehingga perempuan hanya bertindak sebagai pembawa gen (carier) saja, dan berpotensi menurunkan hemofilia kepada anaknya. Dan inilah yang tengah dialami oleh penulis novel yang tengah saya handle. Ia membawa gen tersebut dan menurunkannya kepada kedua anaknya. Cerita perjuangan seorang ibu yang mengharukan dan penuh semangat.

Mari kita kembali membahas Hemofilia.

Hal-hal apa saja yang mampu membahayakan pasien Hemofilia?

Terjadinya perdarahan di kepala, tenggorokan, perut, dan sekitar paha, bisa sangat membahayakan hidup pasien Hemofilia. Padahal, perdarahan tidak selalu terjadi di luar, tetapi bisa juga di dalam. Meski tak tampak oleh mata, gejala dari perdarahan itu bisa dikenali. Apabila penderita Hemofilia mengalami keluhan berikut, segeralah pergi ke dokter untuk mendapatkan pertolongan segera.
° Perdarahan di kepala. Tanda-tandanya: sakit kepala hebat, muntah berulang kali, mengantuk terus, bingung, tak dapat mengenali orang atau benda di sekitarnya, penglihatannya kabur atau ganda, keluar cairan dari hidung atau telinga, terasa lemah pada tangan, kaki, dan wajah.
° Perdarahan di tenggorokan. Tanda-tanda: sulit bernapas atau menelan, bengkak.
° Perdarahan di perut. Tanda-tanda: muntah darah, terdapat darah pada feses, sakit perut tak kunjung sembuh, penderita tampak pucat dan lemah.
° Perdarahan di paha. Tanda-tanda: nyeri di daerah paha atau agak ke bawahnya, mati rasa di daerah paha atau tidak mampu mengangkat kaki.

Meski sebaiknya tidak mengalami luka berdarah, bukan berarti anak Hemofilia harus berdiam diri. Banyak hal bisa mereka lakukan. Yang penting, mereka juga menjaga diri, antara lain dengan kiat-kiat berikut:
° Mengonsumsi makanan sehat dengan gizi seimbang.
° Rutin berolahraga, tapi pilih yang bermanfaat untuk menguatkan otot dan melindungi persendian. Anak Anda boleh berenang, jalan kaki, atau bersepeda santai. Jangan memilihkan olahraga keras dan penuh benturan.
° Sikat gigi dengan sikat yang lembut, setiap kali usai makan.
° Periksakan gigi dan gusi tiap 6 bulan atau setahun sekali ke dokter. Ungkapkan bahwa anak Anda mengidap hemofilia.

Harapan hidup pasien hemofilia tidak berbeda dengan orang sehat pada umumnya. Memang untuk bertahan hidup, pasien harus rutin menerima transfusi darah sepanjang hidupnya. Pemberian transfusi disesuaikan dengan keadaan dan akan dihentikan kalau pembekuan sudah terjadi. Umumnya diberikan sekitar 10 kantong darah per jam, dan setiap kantong berisi 30 cc.

Saya juga membaca beberapa keluhan, atau lebih tepatnya curhatan para penderita Hemofilia dalam menjalani kehidupan mereka. Besarnya biaya pengobatan sudah menjadi hal yang menjadi momok, tetapi tidak hanya hal itu. Penolakan sosial pun kerap mereka terima. Seperti misalnya, gagal menikah atau menjalin hubungan dengan lawan jenis karena pasangan tidak siap menerima keadaan fisik mereka, dan juga ditolak oleh banyak perusahaan ketika melamar kerja dan mengutarakan bahwa mereka seorang pasien Hemofila. Hal semacam ini sesungguhnya tidak perlu terjadi, jika masyarakat paham benar tentang kelainan genetik ini dan mengetahui bagaimana cara bertindak, baik pencegahan dan pengobatan.

Kita tidak perlutakut, atau bahkan mengucilkan penderita Hemofilia. Kita, sebagai masyarakat normal, hanya butuh untuk belajar lebih banyak lagi. Mereka juga manusia. Mereka butuh dukungan dan butuh diterima. Jangan takut akan terjadi hal-hal yang fatal, selama kita benar-benar tahu dan menghindari apa yang wajib dihindari. Dan ini telah dibuktikan oleh penulis hebat yang novelnya tengah berada di tangan saya itu. Selama mengedit naskah ini, saya jadi terharu dan respect. Saya belajar banyak hal. Terutama pada: bersabar dan berikhtiar pada setiap ujian yang Allah berikan kepada kita. []


Ajeng Maharani

Penulis dan Freelance Editor
Jika Anda membutuhkan jasa edit dan layout naskah, atau mencetak buku, silakan menghubungi saya di WA: 0896-7946-2559 atau telepon melalui: 0856-0737-2626


#WiCa_Day4
#ResolusiRamadhan1439H
#FLPSidoarjo

Rabu, 14 Juni 2017

DANGAL: HIDUP ADALAH SEBUAH PERJUANGAN


Judul film : Dangal
Genre : action, biography, drama
Aktor : Amir Khan, Fatima Sana Shyaikh, Sakshi Tanwar, Sanya Malhotra
Sutradara : Nitesh Tiwari
Rilis : 23 Desember 2016
Durasi : 2 jam 41 menit

Sudah sangat lama saya ingin menonton film ini, tetapi selalu saja gagal karena alasan-alasan. Pagi ini, saya pun berhasil menuntaskan keinginan tersebut. 

Kepiawaian Amir Khan sudah tidak perlu diragukan lagi. Pertama kali melihat akting aktor besar ini, saya menonton film Mann, yang menguras air mata. Di zaman saya kecil, Amir Khan kerap menjadi peran yang cengeng dan sedikit lembek, berbeda dengan aktor-aktor lainnya, seperti Sanjay Dutt dan Sunil Doel. Tapi semakin ke sini, ia semakin berani mengolah kemampuan aktingnya dengan peran-peran unik, seperti dalam film PK yang konyol, kritis, dan blak-blakan. 




Film Dangal mengisahkan tentang seorang mantan atlet gulat nasional, bernama Mahavir Sigh Phogat, yang melepas impiannya--memperoleh medali emas untuk India dalam kejuaraan internasional--agar keluarganya mampu bertahan hidup. Ternyata, kehidupan seorang atlet nasional di India tidak jauh beda dengan di negara kita: miskin dan tidak mendapatkan apapun dari negara. Negara seolah tutup mata, belum lagi birokrasi departemen yang manaungi para atlet itupun banyak dihuni oleh oknum-oknum yang hanya bisa mengenyangkan perut mereka sendiri. Dalam keadaan seperti inilah, Mahavir Sigh Phogat bertahan dan berjyang mati-matian dengan dana sendiri saat melatih kedua putrinya, hingga menjadi pegulat profesional. 

Mahavir Sigh tidak begitu saja melepaskan mimpi itu. Ia berkata pada istrinya, "Jika bukan aku, maka anakkulah yang akan mendapatkan medali emas untuk negara ini." Dan itulah awal konflik film ini dimulai. 




Keinginan Mahavir Sigh untuk mempunyai anak lelaki ternyata tidak dikabulkan oleh dewa mereka. Keempat bayi yang lahir dalam keluarga itu semuanya perempuan. Mahavir Sigh kecewa dan putus asa. Ia pun menurunkan semua medali yang diperolehnya dan tidak bersemangat dalam menjalani kehidupannya. Tahun demi tahun. Hingga pada akhirnya peristiwa itu terjadi. 

Pada suatu hari, tetangganya datang dalam keadaan marah. Mereka mengadukan kedua putrinya yang menghajar anak-anak lelaki mereka hingga babak belur. Bukannya marah, Mahavir Sigh malah takjub dan bangga. Seolah ada secerca sinar harapan yang jatuh tiba-tiba dari atas langit dan membuat kepalanya yang sempat kosong itu terisi kembali dengan mimpi-mimpi. 

Mahavir Sigh pun mulai melatih kedua putrinya itu tentang cara-cara menjadi seorang pegulat. Seluruh desa mencemoohnya. Kedua putrinya pun dikucilkan dan diolok-olok. Tapi selayaknya orang gila yang tidak mau menoleh ke arah mana pun, Mahavir Sigh tidak peduli pada semuanya. Walaupun kedua putrinya itu tidak menyukai apa yang dilakukan ayahnya: merampas kebahagiaan masa kanak-kanak dan menggantinya dengan latihan yang keras dan melelahkan. 

Lalu apa yang terjadi kemudian? Apakah Mahavir Sigh berhasil mengantarkan kedua putrinya ke ajang gulat internasional dan mewujudkan impiannya? 

Film besutan Nitesh Tiwari ini sarat dengan petuah-petuah kehidupan. Pemainnya pun berakting dengan sangat totalitas. Film ini menyentuh, lucu, inspiratif, sekaligus memprihatinkan. Memprihatinkan yang saya maksud adalah, kenyataan bahwa kita sebagai orang tua terkadang lupa bahwa anak pun memiliki kehendaknya sendiri, bagaimana mereka ingin menjalani hidup mereka. Kita selalu hadir sebagai penentu, sebagai doktrin, yang terkadang timbul karena keegoisan kita sendiri. Kebanggaan kita sendiri. Memang sebagai orang tua kita ingin anak sukses, tapi kadangkala kita hanya sedikit lupa akan keinginan anak itu sendiri. Tapi bukan berarti film ini buruk. Justru film ini, bagi saya, mengajarkan banyak hal baik dalam segala sudut pandang; hubungan ayah dan anak, hubungan seluruh anggota keluarga, semangat serta sikap pantang menyerah untuk mewujudkan mimpi, kepercayaan, cinta kasih, dan kejujuran. 

'Hidup adalah sebuah perjuangan yang sangat panjang dan melelahkan, dan ada kalanya, di saat itu, kita harus berani berjuang seorang diri.'


#NulisRandom2017 #Day14 #NulisBuku #AjengMaharani 

Jumat, 09 Juni 2017

KISAH TENTANG ORANG-ORANG SAKIT DAN REALITA YANG BERPURA-PURA BAIK-BAIK SAJA


Judul: Ia Tengah Menanti Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan (Kumpulan Cerita)
Penulis: Ajeng Maharani 
Penerbit: Basabasi
Penyunting: Gunawan Tri Atmodjo
ISBN: 978-602-391-352-7

Cerita-cerita dalam buku kumpulan cerpen 'Ia tengah Menanti Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan', menurut saya berisi orang-orang yang sakit.  Seperti kata Freud,  kita semua sebetulnya sedang sakit,  hanya saja kita tidak menyadarinya. Sebagian dari kita pura-pura bahwa kondisi kita baik-baik saja. 

Kita hang-out bersama teman-teman,  membicarakan film, musik,  buku,  game,  atau ketertarikan kita pada asmara untuk memenuhi lubang yang semenjak dahulu kala ada di dada kita. As long as we live,  shits happen, dan cerita-cerita di dalam buku ini berusaha mengutarakan hal tersebut dengan caranya. 

'Maysa Rindu Menyusu pada Batu' misalnya,  ia secara hiperbolik berusaha mengkritisi kondisi sosial masyarakat kita.  Utamanya mengenai hubungan ibu dan anak.  Di samping banyaknya pasangan muda yang belum terlalu mengerti tentang tanggung jawab seorang ibu,  juga di masyarakat mulai terjadi asimilasi di mana peran ibu sekadar menyediakan apa yang bisa membuat anaknya bertahan hidup. Menilik kasus-kasus yang kerap saya jumpai meski tidak terlalu ekstrim, namun perilaku annoying ibu terhadap anaknya kerap terjadi.  Lihatlah di sekeliling kita, bisa kita temukan dengan mudah ibu-ibu yang asyik melakukan kegiatan sendiri dan memarahi anaknya begitu sang anak melakukan kesalahan. Kelihatannya sederhana dan remeh tetapi tugas seorang ibu tak hanya mencukupi kebutuhan material anaknya,  melainkan juga memiliki tanggung jawab terhadap perkembangan emosi sang anak serta perilakunya. Ibu memang tahu apa yang terbaik untuk sang anak,  tetapi tahukah ia bahwa kadang sang anak berbuat nakal hanya untuk mendapat perhatian? 

Cerita Maysa memang tidak menampilkan hal tersebut karena Maysa justru tergolong melankolis,  dan ia melampiaskan perasaan sedihnya itu pada khayalan yang ia buat berdasarkan perkataan ibunya. Bukankah melawan atau menurut sama-sama bentuk perhatian terhadap sesuatu? 

Dalam mbah Sumitroh, Ajeng Maharani bercerita mengenai budaya warok yang telah menghilang dan hampir tak berbekas. Zaman telah melindasnya. Dengan piawai penulis yang satu ini menampilkan kegelisahan seseorang yang melenceng dari kodratnya dan risiko-risiko yang bakal ditanggung pelaku atas kelakuannya. Meskipun dalam kasus ini termasuk tindakan kriminal sih,  tetapi kupikir jika itu terjadi pada sepasang kekasih pun, reaksi masyarakat yang buas akan tetap sama. 

Selain dua cerita di atas,  buku ini juga merangkum kasus-kasus KDRT dalam beberapa ceritanya.  Lumayan kelam dengan benturan karakter di sana-sini. 

Kita tidak sedang membicarakan agama ketika membicarakan sebuah buku, kita sedang membicarakan sebuah realitas. Tetapi selama kita tidak memahami bumi,  kita tidak akan pernah bisa memahami langit. Dan buku ini berhasil menunjukan cuilan demi cuilan realitas yang terjadi di sekitar kita melalui analogi kisah-kisah di dalamnya. 


~ Peresensi:
Damar Hening Sunyiaji, penikmat buku dan sastra

#NulisRandom2017 #Day9 #NulisBuku #AjengMaharani 

Kamis, 08 Juni 2017

NOBELIA DAN JANIN-JANIN DALAM GENDONGANNYA (bagian satu)


Oleh: Ajeng Maharani 

Ia membuka mata dan kesenyapan  itu menyergap. Ia tidak tahu pukul berapa ketika itu, tapi ia menyadari satu hal: suaminya tidak pulang lagi hari ini. 

Dibukanya ponsel yang telah ia matikan. Tidak ada chat dari lelaki itu. Keterlaluan. Sudah empat hari berjalan, dan di malam itu, ia merasakannya dengan benar, pelan-pelan, darah di dadanya mendidih. 

Puluhan makian terlahir sempurna di dada itu. Mereka mengalir layaknya sungai yang beringas, menuju ke kepalanya. Mereka meletup-letup di dalam sana. Ingin meledak. Matanya hampir saja pecah, tapi ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menangis lagi. Tidak akan, demikian desis batinnya. Ia harus bisa menjadi kuat. Sangat kuat. Ia tahu ia tidak sedang sendirian. Mereka, bocah-bocah itu, berkata dengan keluguannya, "Nggak mau ikut Ayah. Ikut Ibu. Kami sayang Ibu, nggak sayang Ayah. Ayah jahat." Dan itulah kekuatannya. Dengan itu pulalah ia akan berjuang untuk menyelamatkan hak-hak anaknya. Nanti, ketika ia dan suaminya akan berhadapan dengan seorang hakim. 

Ia sebenarnya ingin bertanya pada perempuan itu: sedemikian rendahnyakah seorang perempuan yang jatuh cinta hingga kamu menghalalkan tubuhmu pada suami perempuan lain dan dengan bahagia tinggal seatap bersamanya, dengan bahagia pula merampas waktu yang seharusnya masih milik istri dan anak-anaknya, dan dengan bahagia pula melakukan itu semua tanpa merasa berdosa? 

Sedemikian rendahnyakah seorang perempuan yang tengah jatuh cinta itu? 

Tapi ia, Nobelia, hingga detik ini, masih juga tidak layangkan pertanyaan-pertanyaan itu. 

Ia pernah berujar kepada suaminya perihal perkara ini pada suatu siang yang masih belia. "Tolong, jangan paksa aku menjadi manusia yang buruk di mata anak-anakku. Bisa saja aku memaki perempuan itu, mendatangi rumahnya dan berkelahi jika aku mau. Tapi aku tetap gigih pada keinginanku yang telah kuucapkan padamu, aku ingin kita berpisah dalam keadaan baik-baik saja dan melanjutkan hubungan ini sebagai seorang sahabat, demi anak-anak. Tapi lihat, apa yang sudah kalian lakukan? Kalian sengaja melupakan mereka. Kalian dengan seenaknya bertingkah dan anak-anak itulah yang menjadi korban. Apa kamu tahu bagaimana rasanya ketika mereka bertanya, 'Di mana Ayah, Bu? Kok nggak pulang?' Juga, 'Tante Amel itu apanya Ayah? Kok peluk-peluk Ayah?' Coba pikir, bagaimana rasanya?"

Lelaki itu hanya diam saja dan menatapnya sayu. 

"Aku diam karena aku butuh tenang. Aku diam karena aku menghormati kalian sebagai manusia dan berharap kalian pun menghormati kami yang ada di sini. Hak-hak kami. Bukankah aku sudah menawarkan poligami tetapi Amel yang tidak mau? Kamu bilang dia tidak bisa membagi dirimu. Bukankah itu konyol? Dia yang mencurimu, kenapa justru dia yang tidak bisa membagi dirimu?" 

Ia menarik napasnya yang sesak di siang itu, kemudian melanjutkan, "Baiklah, tidak apa-apa. Aku pun bersyukur akhirnya bisa lepas dari kamu setelah bertahun-tahun tersiksa dan sabar pada semua pengkhianatanmu. Tapi tolong dengan sangat, jangan buat diriku lebih marah dari hari ini. Kendalikan nafsu kalian berdua. Beri anak-anak waktu yang seharusnya memang milik mereka. Jangan tinggalkan mereka. Memangnya, Amel sudah lupa ya kalau kamu ini masih suami perempuan lain dan seorang ayah dari empat anakmu?"

"Tidak, dia masih ingat, kok."

"Nah!! Lalu, kenyataannya?"

Lelaki itu diam kembali. Senyap. Hanya ada suara siang yang pecah dari jendela kamarnya yang terbuka. Semilir angin yang membara merayapi dinding-dinding hijau pastel, membuat kipas angin berdebu yang tengah berputar di atas rak susun tidak mampu menyejukkan. 

"Aku berubah pikiran," ujar Nobelia kemudian, memecah hening. 

"Apa maksudmu?"

"Anak-anak akan ikut bersamaku semua. Aku yang akan merawat mereka. Dan rumah ini, aku yang akan menjaganya. Ini hak anak kita. Setelah resmi bercerai, kamu yang keluar dari sini, bukan aku."

Nobelia mengucapkan itu dengan keyakinannya. Ia menatap suaminya teguh. Tidak gentar. "Aku telah siap. Mungkin di persidangan nanti, kita akan menjadi lebih buruk daripada hari ini, tapi aku telah siap," lanjutnya. 

"Kok gitu, sih? Dulu kamu setuju membagi anak kita. Kenapa sekarang berubah pikiran?" 

Ia menarik napas dalam-dalam. Bola mata lelaki di hadapannya itu mulai memunculkan kekecewaan. Ia mahfum. 

"Karena aku telah melihat kalian berdua, beberapa bulan ini."

Lelaki di hadapannya itu mengerutkan dahi.

"Kalian terlalu asyik dengan cinta kalian. Kamu dan hubungan barumu itu."

"Bu, apa selama ini Ayah tidak tanggung jawab sama anak-anak?"

"Tanggung jawab, kok."

"Lalu?"

"Kamu memang tidak luput dari tanggung jawabmu pada materi, tapi kebutuhan anak itu tidak cukup hanya sekadar materi, kamu tahu benar itu. Kamu bilang kalau kamu dan Amel baru akan menikah dua tahun lagi. Untuk apa? Untuk menjaga nama baik dia, gitu? Kalau kalian langsung nikah setelah kita cerai, terus Amel pasti disebut sebagai pihak ketiga sama orang-orang di sekitar kalian dan kalian takut sama itu, gitu? Terus bagaimana nasib anak-anak yang ikut kamu nanti? Aku sudah pernah tanya ini, kan? Lalu kamu jawab, 'Kan mereka sudah besar, sudah bisa ditinggal.' Besar seperapa? Mereka baru sembilan dan delapan tahun loh. Kalau kamu setiap hari kerja, sibuk pacaran seperti sekarang, terus pulang tengah malam setiap hari seperti biasanya, bagaimana keadaan mereka nanti? Siapa yang mau mengawasi, membimbing, memasak, ngajak ngobrol mereka? Kamu tega seperti itu?" 

Nobelian meneteskan air mata.

"Aku tidak mau anakku diterlantarkan akibat hubungan egois kalian. Tidak. Biar aku yang menjaga mereka. Bagaimana nasib atau rencana-rencana hubungan kalian berdua bukan urusanku, tapi mereka berempat adalah tanggung jawabku. Titik. Dan aku akan berjuang untuk itu."


- bersambung -